PB HMI Soal Konflik Rempang: Komunikasi Mestinya Kolektif Bukan Representatif

TRANSINDONESIA.co | Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) menyayangkan cara-cara represif dan tidak humanis oleh aparat gabungan, TNI, Polri, dan Satpol PP, menangani konflik Rempang, Kepulauan Riau. Komunikasi yang kurang baik antara pemerintah dengan masyarakat Rempang, dipicu dengan adanya penggusuran masyarakat melayu tua dari tanah kelahirannya hingga kini belum ada titik temu jalan keluar.

“Keseriusan Pemerintah maupun pihak terkait yang ingin membuka peluang investasi ke Rempang, komunikasi mestinya dilakukan secara kolektif ke masyarakat, bukan representatif dengan hanya melibatkan beberapa orang saat sosialisasi,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Hubungan Internasional PB HMI Bayhaq Jefo, dalam keterangannya diterima redaksi, Jumat 22 September 2023.

Menurutnya, hal demikian perlu dilakukan mengingat lahan terdampak pematokan hingga penggusuran oleh PT MEG dialami oleh banyak masyarakat melayu tua yang leluhurnya sejak jauh hari telah mendiami bahkan memiliki tanah di wilayah setempat.

Sayangnya sertifikat kepemilikan tanah yang telah diwariskan secara turun temurun, menurut pengakuan warga setempat akhir-akhir mengalami perubahan berkala sejak Rempang secara administratif menjadi kewenangan BP Batam.

“Selain miskomunikasi, hemat kami konflik ini juga dipicu maladministrasi oleh pemerintah setempat dalam  hal klaim kepemilikan lahan,” sebut Jefo panggilan akrabnya.

Sementara menurut Jefo, Presiden Jokowi sebelumnya pernah mengatakan bahwa konsensi perusahaan dapat dicabut apabila tidak memberikan kepastian hukum pada warga yang telah menghuni bertahun-tahun lahan yang akan menjadi bagian dari pendirian perusahaan.

Kendati besarnya arus penolakan atas penggusuran yang terjadi, PB HMI di satu sisi juga mendukung adanya investasi untuk pembangunan yang lebih baik.

“Kami mendukung investasi terutama yang berkaitan dengan PSN (Proyek Strategis Nasional), namun diharapkan harus tetap sejalan dengan prinsip keadilan bagi masyarakat tanpa sedikitpun mengeyampingkan hak-haknya yang melekat,” ujar Jefo.

Apalagi diketahui bahwa nilai investasi Kawasan Rempang Eco-City ditaksirkan mencapai Rp. 380 Trilun hingga tahun 2080 dan oleh BP Batam diperkirakan dapat menyerap sekitar 306 ribu tenaga kerja ke depannya.

Jefo pun menyinggung besarnya potensi investasi dan konflik yang terjadi di Rempang tentu mendapat perhatian di dunia internasional. Belum lagi posisi strategis pulau Rempang yang berdekatan dengan Laut Cina Selatan sebagai jalur perdagangan yang saling diperebutkan oleh negara-negara maju.

“Secara geopolitik maupun geo strategi, negara-negara raksasa ekonomi dunia tentu akan saling memberikan pengaruhnya di sekitar jalur ini. Rempang pun berpotensi terdampak,” ungkapnya.

Meskipun sejauh ini penentangan yang terjadi murni atas penolakan masyarakat, bisa jadi momentum konflik ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak dari dunia internasional untuk menggagalkan investasi di pulau Rempang.

Demi memastikan investasi berjalan seiring dengan penerimaan masyarakat adat melayu di Rempang, “pembangunan industri modern berbasis kearifan lokal dengan lingkungan tradisional sepertinya patut dicoba oleh pemerintah,” usul Jefo. [amh]

Share