TRANSINDONESIA.co Oleh: Muhamad Joni
Opini nomor ke satu setengah ini jangan dibaca setengah. Justru mimbar dialektika membaca yang tak tertera.Menakwil disebalik berita. Demi mengedarkan nalar perumahan. Ikhtiar backlog perumahan dianjokkan. Demi kencang ‘mengisi bak air sampai penuh’ backlog perumahan. Nomor ini melanjutkan “esai-merdeka bertitel: ‘Sekitar Perumahan Layak-Terjangkau, Bersungguh Mengisi Air Sampai Penuh (1)’.
Saat menuliskan ini saya sudah mencoba setangkup ‘kopi gendjot’ di alun-alun kidul Yogjakarta –racikan pemuda Arif Nur Aziz, 20, yang menyajikan kopi Gayo 5 menit jelang tengah malam. Namun belum mencoba ‘nasi pecel bu Is’ –yang cukup ternama: ratingnya berbintang: 4,5. Kedua sektor “kopi & pecel” lokal itu layak dan terjangkau. Keduanya diwartakan. Tersedia di situs mesin pintar pencari data. Keduanya contoh pejuang keluarga, memperjuangkan “gizi” kehidupan dan arti kemerdekaan.
Menjelang 78 tahun menjadi negara bangsa (nation state) yang merdeka (1945-2023), Indonesia masih “berkelahi” dengan banyak waktu. Ini waktu lebih berkeringat mengentaskan kemiskinan perumahan. Mengapa? Karena Indonesia masih terbelit hambatan struktural membumikan takwil kemerdekaan; mengentaskan kemiskinan perumahan dan permukiman; yang genjotannya nyata dan dramatik, bukan hanya data dan statistik. Belitan sekitar perumahan layak dan terjangkau makin mencemaskan –dalam lingkup pembangun perkotaan (urban development). Di tengah beban-beban kota tanpa UU Perkotaan.
Sekitar perumahan layak dan terjangkau makin menarik ditelisik dengan mimbar diskusi yang empati kepada anak negeri yang –siap ataupun tak siap– kudu siap menuju 100 tahun merdeka pada tahun 2045. Dengan mimbar diskusi, nalar dan pemihakan ketika membedah badan bank tanah yang belum fokus alokasikan lahan untuk perumahan, walau PP badan bank tanah sudah ada. Dengan realitas pembiayaan yang terbatas dan belum menjangkau utuh target MBR (masyarakat berpenghasilan rendah), utamanya MBR informal dan pekerja mandiri. Walau “bak yang tak penuh-penuh” itu sudah mulai diisi dengan aliran “air” baru: ‘rent to own’ (RTO) yang dikombinasikan dengan ‘contractual saving housing’. Demi menjangkau MBR informal dan pekerja mandiri seperti pedagang andal ‘kopi gendjot’, pun ‘pecel pincuk gumilang’.
Menurut data BPS, backlog Provinsi DI Yogjakarta, pada 2021 sekitar 23,47 persen rumah tangga (RT) di sana tinggal di rumah bukan milik, masih menyewa. Artinya: dari 1,120 juta RT, ada 262 ribu RT menghuni rumah bukan milik sendiri. Coba tanya, mereka hendak pindah dan memiliki rumah? Atau cukup menikmati hunian baru yang layak saja, tanpa “tekat merdeka” hendak memiliki? Ketika membuka Musyawarah nasionl (Munas) Relestat Indonesia XVII, (9/08) lugas Presiden Joko Widodo meminta REI membantu rakyat kecil untuk memiliki hunian sehat dan layak. Diksi yang dipakai “memiliki”.
Bagaimana menakwil seruan Presiden? Majelis Pembaca. Jangan membaca belitan soal perumahan rakyat hanya statistik backlog sahaja. Ada antitesis disebalik tesis backlog itu sendiri. Nalar ikhwal backlog yang harus diuji lebih dari sekadar angka. Itu takwil pertama. Ulasan ini tentu tidak bisa dibuat seserhana apalagi singkat, yang dijawab hanya dengan penyediaan fisik sejuta rumah sahaja.
Walau teks Proklamasi 17 Agustus 1945 itu singkat, namun dirancang dan ditakwilkan “setjara revolusioner” , begitu Bung Hatta dalam bukunya ‘Sekitar Proklamasi’ (1971). Masih merujuk Mohammad Hatta –yang menyusun dan membacakan teks Proklamasi pada malam buan puasa, “..musti ada komplemennja jang menjatakan Revolusi Nasional. Lalu saya diktekan kalimat jang berikut: ‘hal-hal jang mengenai pemidahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja’. (Hatta, hlm.87-88).
Beberapa kejap lagi, 78 tahun proklamasi kemerdekan RI. Proklamasi yang menurut Hatta demarkasi pemindahan kekuasaan dilakukan dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkatnya, akan tetapi kemiskinan perumahan rakyat masih melanda. Pun hanya backlog sahaja, belum tuntas dientas dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkatnya.
Lebih sewindu Program Sejuta Rumah (PSR) jilid 1&2, kantor statistik nasional mencatat defisit perumahan alias backlog masih tinggi: 12,7 juta (2020). Walau PSR berlomba dengan target, rupanya backlog belum turun, malah naik 0,8 juta jika dibandingkan angka 14 tahun ke belakang.
Dengan latar proklamasi dan statistik backlog pada paragraf di atas, maka patut dan layak membaca dalam-dalam dan dengan seksama penjelasan proklamator-cum-Wakil Presiden perdana Mohammad Hatta, yan berpesan tentang ikhtiar sungguh-sungguh kepada perumahan sehat pada mimbar Kongres Perumahan Sehat 1950. Yang dikaitkan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo dari mimbar Musyawarah Nasional Realestat Indonesia (REI), Rabu (9/8). Presiden meminta REI memperkuat kolaborasi dengan pemerintah untuk penyediaan program sejuta rumah guna mengatasi kekurangan perumahan (Kompas, 10/08) –hasil reportase BM Lukita Grahadyarini.
Pernyataan top executive Indonesia itu ditulis media dengan diksi “meminta”. Hal itu patut dan wajar dijawab dengan sungguh-sungguh kepada perumahan rakyat. Malah disebalik diksi bergaya persuasi alias ajakan itu beta membacanya lebih dari itu: seruan turut bertanggungjawab! Ya.., tanggungjawab masyarakat perumahan yang perlu direspon dengan langkah sungguh-sungguh seruan itu kepada masyarakat perumahan? Apa ulasannya yuncto legal-reasoning nya? Sabar. Teruslah membaca.
Majelis Pembaca, Yth. Walau PSR patut diberi apresiasi, kemiskinan perumahan bukan hanya penyediaan unit rumah. Bukan cuma statistik berjuta-juta rumah. Bukan cuma backlog sebagai sajian angka. Apalagi soal capaian angka produksi rumah, yang masih ada rumah tidak terisi penghuni. Pernah dengar warta-berita ikhwal hunian “terlunta” a.k.a. housing stock yang ditinggalkan kosong? Juga, penyediaan rumah tak tepat sasaran ke lapisan terbawah MBR.
Patut dicatat di sini, isu sekitar backlog sebagai suatu tesis, menyisakan antitesis: housing stock atawa rumah kosong. Banyak lagi antitesis ikhwal backlog yang diwartakan seakan satu-satunya soal perumahan. Padahal, seperti narasi Kang Yayat Supriatna, rumah swadaya alias swakarsa lebih jumbo. Secara sosiologis, masyarakat adalah pengembang utama dalam profil perumahan nasional. Partisipasi pelaku pembangunan sedemikian dikenal dengan pengembang komunitas, yang perlu atensi dan intervensi pemerintah.
Soal backlog perumahan memang lebih populer dalam radar media bahkan pengamat, namun ada serangkai itu ada beban perkotaan dalam belitan soal perumahan: kawasan kumuh perkotaan (KKP), dan rumah tidak layak huni (RTLH). Dari sisi penyediaan rumah formal untuk MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) di perkotaan, ada signal merah lain yang juga struktural: daya beli, daya cicil, daya sewa. Saya meminjam ketiga persoalan daya yang tadi itu dari Ketua Umum The HUD Institute Zulfi Syarif Koto yang acap disapa ‘Pak HUD’.
Tersebab itu, intervensi pemerintah (dan pemerintah daerah/ pemda) musti kuat memerangi (to combat) kemiskinan perumahan rakyat. Bukan hanya urusan suatu kementerian saja, tapi termasuk dan tidak terbatas Kementerian PUPR. Mengendus dimensi soal sekitar perumahan rakyat yang bersifat struktural, maka menjawabnya bukan dengan cara-cara biasa (ordinary effort). Bukan hanya program, namun extraordinary effort sebagai gerakan! Ya.., dikerjakan “setjara” gerakan. Gerakan perumahan rakyat itu bukan frasa yang asing dan diksi yang bengal.
Jika membaca jejak sejarah kebijakan perumahan rakyat, metode gerakan itu telah jamak disahkan sebagai kebijakan dan program. Dalam buku ‘Ekonomi Politik Program Sejuta Rumah – Membangun untuk Siapa?, dari karya kedua Pak HUD Zulfi Syarif Koto telah mendaftar jamak jejak kebijakan dan program perumahan: Program Satu Rumah Sehat untuk Satu Keluarga, Kampung Improvement Programme (KIP), Program Pembangunan Bertumpu pada Kelompok (P2BK). Juga, pernah ada Gerakan Nasional Perumahan dan Permukiman Sehat (GNPPS), Program Bantuan Kredit Lunak Bank Indonesia, Program Gerakan Nasional Pembangunan Sejuta Rumah (GNPSR). Jangan abaikan Gerakan Nasional Pengentasan Permukiman Kumuh (GENTAKUMUH), Program 1000 Tower dan 350.000 Rusunawa Pekerja di perkotaan, dan yang berjalan kini: Program Sejuta Rumah (PSR).
Gerakan adalah bahasa kebijakan yang positif, memiliki nalar akademis dan timbangan praksis. Gerakan ialah: setjara lugas dan kencang bersama-sama, bukan sekadar seruan. Tak usah segan menyebutkan gerakan analog dengan seksama dan tempo sesingkatnya. Tersebab itu, pernyataan Presiden di mimbar Munas REI 2023 patut dicerna mendalam dan ekstra bijaksana. Jangan keliru membaca sambutan, bukan hanya sebagai seruan. Walau media menulisnya dalam pilihan kata judul persuasif: Presiden meminta!
Segenap menteri dan pejabat setingkat menteri yang wajib mengikuti visi Presiden, –berikut jajaran eselon kementerian yang bertautan dengan urusan perumahan rakyat dan kawasan permukiman– patut dan layak bila menerjemahkan amanat Presiden itu sebagai kebijakan eksekutorial. Lebih daripada sekadar seruan, namun kebijakan publik yang tangguh (dan workable). Seruan itu ditakwil sebagai bagian utuh visi Presiden.
Tentu saja, seruan itu bukan hanya tertuju untuk Kementerian PUPR subsider Ditjen Perumahan Rakyat saja. Namun segenap menteri kabinet terkait perumahan. Pun demikian eksplisit kepada masyarakat REI –yang disimbolisasi sebagai sebagai representasi pelaku usaha– dengan nakhoda baru Ketua Umum DPP REI 2023-2026 Joko Suranto. Amanat Presiden yang diwartakan media dengan titel: ‘Bantu Rakyat Punya Hunian Layak’ itu layak dibaca sebagai seruan kolaborasi dengan masyarakat pengembang pro perumahan rakyat subsider MBR.
Ajakan turut masuk dalam tanggungjawab yang mulia, sahih dan sudah dijalankan. Sebab, qua normatif maupun faktual, pelaku pembangunan/pengembang berperan penting dalam PSR. Saya pernah mendengar narasi pak Soelaeman Soemawinata, –mantan Ketum DPP REI– justru peran pengembang cq REI dalam PSR dinilai kebijakan khas dan pelajaran unik dalam amatan pengembang swasta di belahan dunia lain. Ada tanggungjawab pengembang dalam ekologi perumahan rakyat.
Peran pelaku usaha swasta itu sahih dan eksplisit dibunyikan dalam UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan UU No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Tersebab itu, pernyataan Presiden itu beralasan ditakwil lebih dari sekedar seruan. Patut dan layak dikonkritkan sebagai kebijakan publik yang tangguh membantu hunian layak bagi rakyat.
Amanat itu tak hanya patut dan layak, namun juga terjangkau alias bisa dikerjakan –apabila kita bersungguh-sungguh, mengikuti pesan bijak Bung Hatta pada mimbar Kongres Perumahan Sehat 1950. Namun, patik mencerna intrinsik pernyataan Presiden Jokowi lebih dari seruan. Itu dalil amaliah tanggungjawab –yang sahih dan workabke dalam menjalankan amanat konstitusional. Dengan lebih banyak dan luas lagi ikhtiar ‘Sekitar Perumahan Layak-Terjangkau’, sebagai suatu gerakan! Bertindak seksama untuk sosok Gen Z: Arif Nur Aziz pun bu Is pejuang keluarga dari ranah sektor informal “kopi&pecel”. Dari kebijakan ke tindakan. Dari mimbar ke ikhtiar. Menggenjot persoalan perumahan yang kucel dengan seksama. Tabik. (Bersambung#2).
(*) Muhammad Joni, SH., MH., Advokat Pro Perumahan Rakyat, Sekjen PP Ikatan Alumni USU