Si Lumba Lumba dan Raja Gila Pakaian: Lucu Lucuan dalam Pemilu
TRANSINDONESIA.co | Pemilu menjadi ikon peradaban suatu bangsa dalam suksesi kepemimpinan. Keseriusan, ketegangan di dalam pemilu sejatinya banyak hal lucu yang tanpa sadar dilakukan. Cara menentukan calon saja kelucuan sudah nampak dan tanpa disadari menjadi brandingnya. Menjelek jelekan, menyerang lawan, dengan berbagai cara memanaskan situasi. Para pendukungpun tak jarang dengan bangga melabel dirinya relawan. Saya jd teringat lagu anak anak yang berjudul si lumba lumba yang dinyanyikan Bondan Prakosa. Apapun yang dilakukan oleh Si Lumba Lumba dimulai dengan: “makan dulu”.
Melihat cara cara pendekatan primordialisme ini juga lucu dan dilakukan demi mendapat legitimasi dan solidaritas. Mengedepankan keturunan, ras, suku, agama dan golongan inipun dilakukan. Topeng bopeng banyak digunakan mengemas diri agar nampak suci, sederhana, merakyat menjadi branding. Kepura puraan menjadi kelucuan yang ajaibnya dipuja puja dan dijadikan idola. Ini tak beda dengan kisah Raja Gila Pakaian karya pengarang HC Anderson dari Swedia. Raja yang jumawa, tamak dan penuh amarah sangat ditakuti rakyatnya. Tertipu oleh penjahit yang mengaku designer ajaib yang karyanya hanya bisa dilihat oleh orang cerdas dan bijaksana. Orang orang bodoh dan jahat tidak mampu melihat apa apa.
Seluruh punggawa, rakyat hingga sang Raja ketakutan dikatakan bodoh dan jahat maka semua mengelu elukan sang Raja yang telanjang sambil berkeliling kota. Sampai seorang anak kecil dalam gendongan ibunya berkata: “ibu, Raja kita apakah sudah gila, berkeliling dengan telanjang? ” Si ibu terkejut dan sontak semua menyadari atas kelucuan dan kegilaannya. Sayang si penjahit sudah pergi jauh ke negeri orang.
Kisah si Lumba Lumba dan Raja yang Gila Pakaian mengingatkan kita akan Pemilu yang sarat potensi lucu yang penuh kepura puraan. Banyak kaum terpelajar, akademisi, orang orang bijak menjadi lucu dan dungu tatkala pendekatannya ” makan dulu dan takut tidak kebagian kekuasaan”.
Para kartunis dan karikaturis mengingatkan banyak hal bagi kewarasan Indonesia sekalipun dalam pemilu yang lucu. Karya karya mereka menggelitik, kritis namun tetap lucu. Apa saja dicatat di dalamnya yang sarat simbol simbol kehidupan. Kedalaman karya kartun dan karikatur bukan sebatas pada teknis menggambar semata, melainkan kepekaan dan kecerdasannya menangkap peristiwa yang menurutnya lucu, wagu, dungu sebagai model kartun dan karikaturnya. Opini mereka begitu lugas, cerdas, dan mampu menunjukan sesuatu yang memalukan tetapi malah dibangga banggakan. Tak jarang mereka ketakutan apalagi rezimnya baperan, ketulusan dan kejujurannya dalam mendalami atau mengkaji suatu peristiwa melalui karya karyanya malah bisa menjerumuskan dalam kesengsaraan hidup dan kehidupannya.
Kartun dan karikatur yang sudah terbit dalam berbagai media menunjukkan betapa dalam catatan sejarah bangsa ini terus saja ada yang lucu. Tatkala mengingat monolog Butet Kartarajasa tentang ” Matinya Tukang Kritik” karena segala sesuatu sudah paripurna. Tukang kritik yang imortal terpaksa harus mati.
Lucu lucuan dalam pemilu bisa saja menjadi hiburan, juga inspirasi bagi para seniman, budayawan bahkan ilmuan. Kartunis, karikaturis menjembatani upaya mencerdaskan, mewaraskan, melalui apa yang digambarkan dalam kelucuan.
Kartun dan karikatur bisa saja dikatakan opini yang menjadi tajuk atau pengungkapan issue penting yang terjadi pada masyarakat. Memahami karya karya para kartunis dan karikaturis sebenarnya juga belajar atas rentang peristiwa yang menjadi head line atau tajuk dari media atas peristiwa yang diliputnya. Memahami kedalaman suatu karya kartun dan karikatur jelas melihat apa yang ingin disampaikan sebagai early warning, kepekaan dan kepeduliannya bahkan dilihat dari keberpihakannya pada : keadilan, kebenaran dan kemanusiaan hingga peradaban. Chrysnanda Dwilaksana
Senja Tegal Parang 130823