Tunggak Jarak Mrajak Tunggak Jati Mati Refleksi Suksesi Kepemimpinan

TRANSINDONESIA.co | Pohon jarak nampak rapuh, penuh getah, namun berapa kali dipatahkan atau ditebang sekalipun akan tetap hidup kembali.

Sebaliknya pohon jati yang begitu kuat, dipangkas atau ditebang ia akan mati. Pepatah jawa tentang ” Tunggak Jarak Mrajak, Tunggak Jati Mati “, mengingatkan kita semua bahwa mengandalkan kekuatan manusia atau dunia dengan pangkat, jabatan, kekuasaan, kekayaan, kepandaian sekalipun ada kelemahannya. Seperti pohon jati ditebang kemudian mati.

Sebaliknya orang yang biasa biasa saja nampak lemah bahkan tanpa pangkat, jabatan, kekuasaan maupun kepandaian sekalipun, tatkala dalam belas kasih Yang Maha Kuasa akan terus hidup tumbuh dan berkembang, sekalipun ditebang. Itu menunjukan bahwa fox populi fox Dei, suara rakyat, suara Tuhan. Sekalipun dilecehkan dilemahkan, dimarginalkan bahkan dimatikan kehidupannya sekalipun tetap akan ada. Ratu iku anane mung winates, kawulo tanpo winates.

Kekuasaan itu terbatas dan amanat dari rakyat. Alangkah durhaka dan durjananya tatkala yang diberi amanat malah berkhianat. Jumawa semau maunya seakan semua milik pribadinya, merasa sebagai matahari yang mempunyai segala sumber energi. Semua sumber daya dieksploitasi digunakan bagi diri dan kroninya. Mereka yang demikian lupa, orang Jawa mengatakan lali. Lali dalam bahasa jawa dikatakan gila karena tidak waras. Kaum gila kekuasaan, jabatan biasanya lali jiwa dan menghalalkan segala cara. Pikiran perkataan dan perbuatannya tak jauh dari harta, wanita, tahta.

Kaum tinggi pangkat derajat dan kastanya kuat dalam dunia namun sekali sengat terkapar hingga menggelepar gelepar. Kuasa membutakan membuat lupa karena dipuja dihormati di sana sini, sehingga lupa diri. Rasa dirinya mematut sebagai malaikat maut, dewa yang berkuasa, lupa dunia ini fana. Menginjak sana sini, tabur pesona dengan kata kata manis dan mulia namun penuh bisa. Tak akan ada sesuatu yang dikata bijaksana, adanya mengancam, memerintah, marah bagai hantu blau mengerikan bagi siapa saja di bawahnya. Sebaliknya untuk melanggengkan kuasanya rela menjilat ke atas bagai ular dengan lidah bercabangnya.

Gaya katak berenang pun dilakukan menginjak ke bawah, menyepak ke samping dan menjilat ke atas. Semakin tinggi semakin tidak rukun, semakin tidak solid, baperan, mudah terluka dan mudah melukai engan introspeksi diri terus menerus mengembangkan dendam dan iri dengki. Tak ada lagi sahabat yang ada hanya penjilat. Di sinilah ditunjukkan tunggak jati mati.

Sebaliknya kaum andahan, kaum biasa bahkan rakyat jelata yang biasa menderita, justru memiliki empati, kepekaan kepedulian dan bela rasa. Mereka tulus hati tanpa kepentingan. Bersahabat ketawa ketiwi, cuawakan tanpa jaim, berbagi apa saja nyah nyoh. Solid dan rukun. Slow tidak baperan, terbuka, jujur dan guyub saling membantu. Sahabat sejati, bagai bersaudara seumur hidup. Setia kawan pun ditumbuh kembangkan. Di sinilah sejatinya tunggak jarak mrajak.

Karya kartunis Pramono Pramudjo mengingatkan kita semua untuk tetap waras dalam karikatur yang kritis namun penuh canda tawa.

“Ayo ngguyu …. yen ngguyu mas ojo seru seru”

lagu ayo ngguyu ini mengingatkan bahwa tertawa itu membuat bahagia dan merupakan penggeli hati. Tertawa bukan karena sebab. Tertawa tanpa sebab dpt dikategorikan kurang sesendok kewarasannya alias gila. Tertawa disebabkan ada sesuatu yang lucu. Kelucuan dari perilaku sikap tutur kata bahkan langkah yang diambil atau yang dilakukan sedikit atau banyak memamerkan ketololannya.

Tertawa bisa saja karena ada yang dijadikan korban untuk bulan bulanan dalam suatu dialog. Tertawa juga krn adanya plesetan atau parodi atau sindiran atau dari kata kata, gambar atau suara yang menjungkirbalikkan logika. Kejujuran keluguan pun dapat menjadi stimuli orang untuk tertawa. Tertawa bisa saja melihat mendengar atau merasakan sesuatu yang aneh dan tidak lazim. Dari politik, ekonomi sosial budaya ideologi bahkan hal hal yang akademik pun bisa menjadi penggeli hati.

Tertawa bisa saja hanya ikut ikutan tanpa tau sebabnya apa. Atau tertawa yang dipaksa atau diancam untuk tertawa. Sehingga yang didapatinya tertawa dalam tangisan. Tertawa menjadi petaka tatkala ada yang tersinggung hingga tersungging. Tertawa bisa salah sasaran dianggap menghina atau merendahkan.

Biasanya kaum feodal yang ajaib cara berpikirnya menerapkan tertawa secara terbatas bahkan patah patah seperti gerakan robot. Ada juga yang merasa dekat dengan hal gaib yang anti tertawa penuh ketegangan dengan bau mistis seolah dunia sudah menjadi bagian alam gaib. Ada juga pemimpin yang otaknya entah kemana senyum saja tidak mampu apalagi tertawa.

lagu ayo ngguyu mengingatkan kita kalau tertawa ojo seru seru. Karena kalau seru (keras) maka akan saru (tidak pantas). Chrysnanda Dwilaksana

Tegal parang 060823

Share