Muslim Asal Indonesia Kelola Rumah Singgah Bagi Perempuan Korban KDRT di AS
TRANSINDONESIA.co | Sebuah komunitas Islam di San Diego, California, berusaha meningkatkan kesadaran tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Mereka bahkan menyediakan tempat penampungan bagi perempuan Muslim imigran yang menjadi korbannya.
Jamilah Granza sedang sibuk mengemas boks makanan untuk dibagikan selama Ramadan. Perempuan Muslim asal Indonesia ini adalah anggota ICNA (Islamic Circle of North America), sebuah organisasi akar rumput Muslim di kawasan Amerika Utara.
“Kami berusaha memastikan bahwa setiap orang mendapatkan berkah yang sama selama Ramadan. Jadi kita bisa fokus pada doa, bukan pada apa yang akan kita berikan kepada keluarga untuk berbuka setelah seharian berpuasa,” jelasnya.
Menyiapkan iftar adalah bagian dari kegiatan Ramadan di Masjidul Taqwa, San Diego, dan Jamilah adalah salah satu relawannya. Namun, Jamilah juga menjalankan misi lain, yakni membangkitkan kesadaran akan pentingnya mengatasi KDRT. Di masjid itu, Jamilah dan sejumlah pemuka Muslim menyediakan tempat perlindungan bagi perempuan imigran Muslim korban KDRT, yang biasa disebut rumah singgah. Granza adalah pengelola rumah singgah itu.
“Stigma yang kita bawa dari kampung halaman kita masih begitu melekat dalam kehidupan kita sehari-hari, sehingga kita biasanya tidak berbicara tentang kekerasan dalam rumah tangga yang kita alami sendiri, karena di rumah itu dianggap normal. Kita tidak banyak tahu apa yang menjadi hak kita di negara ini,” jelasnya.
Sabrina adalah salah seorang korban KDRT yang ditampung di rumah singga Jamilah.
Sabrina meminta VOA tidak menggunakan nama belakangnya karena alasan keamanan. Suaminya ternyata masih tinggal di kawasan itu. Ia mengaku datang ke California dari Bangladesh pada tahun 2021 dengan visa yang didapat suami barunya sebagai analis data.
Sabrina mengatakan suaminya mengambil paspornya, tidak mengizinkannya memiliki ponsel dan secara teratur mengurungnya di dalam rumah. Menurutnya, ia hamil sewaktu suaminya melakukan kekerasan. Saat diambil gambarnya, Sabrina meminta agar VOA tidak memperlihatkan seluruh wajahnya.
“Ia mabuk, sangat mabuk, pada malam itu. Dan ia kehilangan akal sehatnya, saya kira, tidak ada pembenaran untuk tindakannya itu. Ia memukuli saya di rumah, meninju perut saya. Saat itulah saya merasa tidak kuat lagi. Saya sebetulnya menelepon ambulans, bukan polisi, tapi mereka datang bersama polisi, dan ia ditangkap,” jelasnya.
Sabrina melahirkan seorang putri pada bulan Maret, Samara, yang dalam bahasa Arab berarti “dilindungi oleh Tuhan”. Tidak seperti Sabrina, Jamilah mengatakan banyak perempuan Muslim imigran tidak berbicara bahasa Inggris, sehingga menyulitkan mereka untuk meninggalkan pelaku kekerasan.
“Mereka takut karena pelaku mungkin mengancam mereka dengan urusan imigrasi, ‘Saya akan mengirimmu pulang,’ dan kembali ke negara asal mungkin bukan pilihan baginya, jadi ia menerima penyiksaan itu berulang kali,” lanjutnya.
Semua enam tempat tidur di penampungan ICNA di San Diego sudah terisi. Jamilah mengatakan, rumah singgah itu berusaha membantu perempuan imigran korban KDRT menjadi mandiri di negara baru mereka.
Sabrina sedang menyelesaikan status keimigrasiannya dan mengatakan ia ingin mendapatkan pendidikan untuk bisa membantu perempuan yang menghadapi masalah yang sama. [voa]