BERSAMA RAKYAT, CEGAH BAHAYA ABSOLUTISME DIM 153 PASAL 14A RUU KESEHATAN
TRANSINDONESIA.co | Waspadai sisipan dalam RUU. Acapkali ada penyamaran kepentingan. Secara formal mamang RUU Kesehatan itu RUU Inisiatif DPR RI. Walau ada warta yang lain lagi.
Tentu saja harus ada garis politik hukum Parlemen –yang clear dan terbaca implisit– dalam RUU Kesehatan.
Pembentukan UU menurut Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, DPR-lah memegang kekuasaan untuk membentuk UU, sedangkan Presiden berhak mengajukan RUU (Jimly Asshiddiqie). Alias, pembentukan UU adalah ‘Parliament Heavy’.
Sebab itu, diundangkan atau tidak oleh Pemerintah, UU yang diketuk absah dan sah DPR RI adalah by law mengikat dan berlaku umum. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 ini basis analisis opini mini ini.
Sebagai mitra Parlemen membentuk UU, Pemerintah mengajukan 3.020 DIM RUU Kesehatan. Walau terkesan DIM yang banyak namun setelah bedah tipis-tipis, soal krusialnya juga lebih banyak. Malah serius dan beresiko kepada validitas prinsip negara hukum demokratis.
Saya terbelalak kepada banyak DIM. Lebih terbelalak lagi dengan DIM 153, Pasal 14 A. Ini DIM yang menjadi jantung dari ribuan DIM lain. Kesan saya DIM 153 itu adalah maksud aseli yang terkubak. Motif yang terkuak.
Pasal 14A itu perihal yang paling kontras berbeda antara garis politik hukum DPR dalam RUU Kesehatan dengan kehendak Pemerintah Pusat. Menkes mengusung enam transformasi kesehatan.
Pemerintah Pusat juncto Menkes melalui DIM 153 Pasal 14 A RUU Kesehatan itu, membangun garis politik hukum yang hendak MEMBERANGUS tuntas tak bersisa lembaga mandiri dan otonom: Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), Kolegium, Organisa Profesi (OP) tenaga medis dan kesehatan. Yang habis kikis. Hendak diganti dengan lembaga baru bentukan Menkes. Palang pintunya adalah usulan substansi baru Pemerintah: Pasal 14A DIM 153.
Dari DIM 153 dan segenap DIM turunannya, saya menganalisis bahwa Menkes hendak menjadi institusi Konsil a.k.a KKI. Juga hendak menjelma diri sebagai yudikatif badan peradilan disiplin medis –yang sekarang masih eksis dengan MKDKI.
Alamak bahkan Menkes hendak menjadi lembaga peninjauan kembali (“PK”) peradilan disiplin, yang disamarkan dengan frasa “pemeriksaan pengaduan”. Eksekutif kesehatan itu hendak merambah ranah yudikatif disiplin tenaga medis/ kesehatan.
Bahkan dengan Pasal 14A itu terus berlanjut dengan puluhan DIM yang menghapuskan Kolegium. Juga, kekeuh tak hendak menganggap OP dalam RUU Kesehatan sejak DIM 37 Pasal 1 Angka 37.
Miris juga, tak hendak memberi perlindungan hukum kepada seluruh tenaga medis/ kesehatan yang bekerja; sebab hanya melindungi subyek yang benar dan sesuai standar layanan saja (DIM 1892 Pasal 282 ayat 1 huruf a). Lepas dari apapun duduk perkara, apakah negara bertindak maju: aktif-positif hanya membela secara hukum, jika tenaga medis/kesehatan terbukti benar saja?
Mengapa bukan membela untuk semua (legal protection for all), padahal semua berhak dilindungi dan dibela.
Politik hukum RUU Kesehatan ini juga Pro Gugat kepada tenaga medis/kesehatan (DIM 2099; Pasal 326). Mediasi yang pasalnya khusua dibuatkan, seakan berasumsi basis hubungan pasien dengan tenaga medis/ kesehatan bukan relasi kepercayaan namun seakan relasi murni hubungan bisnis (DIM 2100; Pasal 327).
Majelis Pembaca. Ayo kita sadari posisi tenaga medis/ kesehatan dalam konstitusi. Bukankah hanya tenaga medis/ kesehatan saja yang bisa menjadi aktor garis depan –yang memiliki otoritas medis– dalam pelaksanaan tugas negara atas Pasal 28H ayat (1) UUD 1945?
Mustinya tenaga medis/ kesehatan berhak atas perlindungan hukum untuk semua. Bahkan, hak imunitas hukum tertentu yang by law.
Mengapa? Sebab mereka lah pelaksana tugas nyata dan konkrit dalam pemenuhan (to fulfill) hak atas layanan kesehatan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Mereka “agent” pelaksana konstitusi layanan kesehatan rakyat. Bahkan, ketahuilah: kaum profesi penolong (helping profesion) bersumpah itu, sangat amat patut berhak atas “kasih sayang” dan kesejahteraan sosial dari Keuangan Negara.
Majelis Pembaca. Ini petisi dan seruan tulus dari saya: Muhammad Joni, sahabat dokter, pengusung tagar kebajikan: #terimakasihdokterindonesia.
Pasal 14A (yang substansinya usulan baru Pemerintah) berikut ratusan turunan DIM itu, sudah CITO, diagnosa kerjanya gawat darurat. Seakan hanya Pemerintah aktor tunggal penyelenggaraan sektor kesehatan. Dengan cara menghapuskan KKI, MKDKI, Kolegium, OP dari lingkup pengaturan RUU Kesehatan. Itu bukti historis dan yuridis yang tercatat sebagai jejak digital.
Mari renungkan ini dalam-dalam di bulan ramadhan. Itu bukan hanya nyata-nyata melawan garis politik Parlemen dalam RUU Kesehatan inisiatif, yang mana pembuatan UU merupakan ‘Heavy’ Parlemen. Namun dengan DIM 153 Pasal 14A akan memberangus
sumberdaya, tulang punggung, mitra strategis bahkan “angkatan” ketahanan nasional pada garda nasional (dan nasionalis) di garis depan tenaga medis / kesehatan bersama lembaga kesehatan.
Ketahuilah. Mereka itulah yang sudah berjasa bagi rakyat, yang terbukti bekerja tabah dalam resiko, ajeg dalam tata kelola, dan gayeng dalam spirit kerja. Termasuk kisah sukses Indonesia mengatasi Pendemi COVID 19, adalah sumbangsih karya berbudi luhur mereka tenaga medis/ kesehatan.
Bekerja dengan semangat Kebersamaan dan Kolaborasi, seperti pernyataan Presiden Jokowi.
Mari cenungkan. Ajak akal dan hati. Bawa serta rasional pun buang jauh emosi keruh. Akankah rakyat kini dan nanti hendak dibawa ke era buram dunia kesehatan juncto praktek kesehatan? Akankah demi seakan transformasi, sendi reformasi kesehatan juncto praktek kedokteran dihabisi?
Yth. Pemerintah.
Bukankah ketika membuat DIM RUU Kesehatan wajib mematuhi kaidah hukum konsritusi dari amanat sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi RI?
Sebagai negara hukum demokratis (democratische rechstaat, vide Pasal 1 ayat 2 UUD 1945), ABSOLUTISME KEKUASAAN harus ditegah.
Konstitusionalisme –yang anti tesis dari absolutisme kekuasaan– harus dihidupkan-hidupkan. Kudu dirawat dan didokterkan dari serangan bahaya “kesehatan” konstitusionalisme.
Suara dan aspirasi yang paling keras sekalipun bahkan advokasi hak konstitusi ke Parlemen dan ekstra Parlemen itu pun bukan sekadar hak konstitusional dan hak hukum yang sah, namun itu sebuah tanggungjawab. Dari stakeholder kesehatan bersatu padu bersama rakyat. Bersama rakyat itu indah dan kuat.
Akankah kita sepikan partisipasi bermakna dan demokratis hanya dengan angka belaka? Apakah kita rela jika absolutisme kekuasaan hendak dilakonkan arogan? Bukankah negara ini musti “eman-eman” dan berlaku prudential terhadap kepatuhan konstitusi?
Demi tugas mulia mencegah absolutisme kekuasaan, yang jika tak ditegah, akan terjadi dan menjadi. Salam sehat.
Tabik.
Muhammad Joni, SH.MH.
Advokat Pro Kesehatan Rakyat.