Smart City dengan Pendekatan Smart Policing dan Smart Management, Model bagi Polres sebagai KOD

TRANSINDONESIA.co | Oleh: Irjen Pol Prof. Chrysnanda Dwilaksana

Tingkat Polres sebagai KOD (kesatuan operasional tingkat dasar) menjadi tumpuan atas pengelolaan kamtibmas atau keteraturan sosial tingkat kota atau kabupaten. Implementasi program dari tingkat Mabes maupun Polda yang langsung bersentuhan kepada masyarakat ada pada level Polres, Polsek, Pospol hingga Bhabinkamtibmas. Penyelenggaraan manajemen maupun operasional dengan atau tanpa upaya paksa dalam mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial (pemolisian / policing) pada birokrasi maupun masyarakat yang bersifat rutin, khusus maupun kontijensi di era kenormalan baru model “smart policing dengan smart management” merupakan suatu solusi dalam mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial.

KOD, dimaknai sebagai kesatuan operasional yang lengkap model pemolisiannya baik dengan : a. Pendekatan wilayah ( polsek, pospol hingga babinkamtibmas),

b. Pendekatan fungsi ( fungsi utama, fungsi pendukung dan fungsional),

c. Pendekatan dampak masalah yang dikelola bagian operasional, dengan lintas wilayah, lintas fungsi maupun lintas stake holder.

Konteks smart policing sebagai model “super cops” bukan super kewenangan melainkan super dalam kompetensi untuk melayani masyarakat dengan standar prima, melalui harmoninya antara model conventional policing, Electronic policing ( E policing) maupun forensic policing.

Conventional policing, lebih menekankan pada : law enforcement, crime fighter maupun model reaktif.

E policing model pemolisian di era digital yang menjembatani antara aktual dengan virtual melalui adanya back office / operation room/ pusat K3i ( komunikasi, komando pengendalian, koordinasi dan informasi) atau posko elektronik yang didukung aplikasi yang berbasis artificial intellgent (AI) dan network yang berbasis internet of things ( IoT). Dukungan elektronik akan membantu sistem monitoring, kecepatan pelayanan kepolisian (keamanan, keselamatan, hukum, administrasi maupun kemanusiaan) secara prima (cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses). Kesemua itu memerlukan model smart management sehingga sistem managerial maupun operasional dapat dilakukan secara holistik ataupun sistemik sesuai dengan corak masyarakat dan kebudayaannya. Karena kebutuhan keamanan dan rasa aman antara satu daerah dengan daerah lainya berbeda / bervariasi. Model smart management di back up atau dijembatani melalui E policing untuk penanganan pada komunitas maupun lalu lintas. Yang memerlukan sistem smart power untuk proactive dan problem solving.

Forensic policing model pemolisian untuk mengatasi gangguan keteraturan sosial yang di desaign untuk mengatasi masalah nubika (nuklir, biologi, kimia) maupun sosial budaya, ekonomi, kemanusiaan, dsb.

Model smart management sebagai model manajemen yang fungsional di back up melalui back office bagi komunitas melalui call and comand centre dan penanganan lalu lintas melalui traffic management centre. Sistem k3i menjadi penting dan mendasar untuk pelayanan kepolisian yang bersifat rutin, khusus maupun kontigensi. Keteraturan sosial dapat dibangun dengan mewujudkan keamanan dan rasa aman warga melalui sentra pelayanan kepolisian. Keamanan dan rasa aman dapat bangun model smart city yang ditandai adanya :

 1. Good governance, aparatur yang profesional dan tidak memeras/ menerima suap;

2. Keamanan yang ditangani secara sinergis, terpadu dan berkesinambungan;

3. Pelayan kepada publik yang prima;

4. Tingkat keamanan dan rasa aman warga yang cukup tinggi;

5. Penegakkan hukum yang tegas dan berwibawa (tidak KKN/ tidak tebang pilih);

6. Ada board yang merupakan wadah para pemangku kepentingan untuk bekerja sama mencari akar masalah dan menemukan solusi yang tepat dan dapat diterima oleh semua pihak yang dapat dibangun dengan adanya indeks keamanan.

Indeks Keamanan dapat dilihat dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya:

a. Ideologi :

1) Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia,

2) Terwujudnya Kebebasan beragama/ berkeyakinan,

3) Terlindunginya kelompok minoritas,

4) Ketahanan masyarakat dari radikalisme,

5) Kondisi terbebas dari terorisme,

6) Tokoh-tokoh yang berkaitan dengan primordial mampu membuat suasana sejuk dan mencegah terjadinya konflik,

7) Berkembangnya program-program deradikalisme dan

8) Terbebasnya dari ideologi-ideologi asing yang bertentangan dengan Pancasila.

b. Politik :

1) Kebijakan-kebijakan dari political society diterima dan mendapat dukungan dari civil society

2) Pemilu, Pilkada dapat terselenggara pada setiap tahapannya tanpa konflik fisik maupun pertumpahan darah,

3) Pejabat-pejabat politik mampu menjadi ikon dan mampu mencegah terjadinya konflik politik,

4) Masyarakat mempunyai ketahanan terhadap issue- issue politik,

5) Produk-produk politik dirasakan memihak dan bermanfaat bagi peningkatan masyarakat,

6) Terbebas dari berbagai kejahatan-kejahatan terorganisir yang mengganggu bidang perpolitikan (white collar crime).

c. Ekonomi :

1) Tersedianya BBM, gas dan sembako,

2) Kemampuan masyarakat membeli BBM, gas dan sembako,

3) Ketahanan masyarakat dari berbagai potensi-potensi konflik di bidang ekonomi,

4) Meningkatnya perdagangan dalam dan luar negeri (ekspor/ impor),

5) Pelaku-pelaku bisnis mempunyai etika dalam berbisnis (tidak melakukan hal-hal yang kontra produktif),

6) Pelaku-Pelaku bisnis mampu mencegah terjadinya konflik ekonomi, 7) Ketahanan ekonomi dari globalisasi, regionalisasi,

8) Ketahanan moneter dari inflasi,

9) Terbebas dari berbagai kejahatan-kejahatan terorganisir yang mengganggu bidang perekonomian.

d. Sosial Budaya :

1) Terbebas dari konflik antar warga,

2) Terbebas dari premanisme,

3) Kondisi masyarakat yang damai dan kondusif,

4) Terbebas dari issue-issue konflik sosial,

5) Terbebas dari berbagai kejahatan-kejahatan yang menjadi potensi konflik sosial,

6) Ada wadah-wadah kemitraan untuk mencari akar masalah dan menemukan solusi penanganan masalah-masalah konflik sosial,

7) Tertangani berbagai kejahatan konvensional yang meresahkan masyarakat,

8) Tertangani masalah-masalah lalu lintas (kemacetan, pelanggaran dan kecelakaan),

9) Tingkat Kamseltibcar Lantas yang signifikan pendukung produktifitas masyarakat.

Indikator-indikator kemanan tersebut perlu penjabaran dan pengembangan sampai pada tingkat implementasinya dan ada penilaian sebagai kontrol pencapaian tujuan. Indikator pengaman ini dalam operasionalnya dilaksanakan lintas fungsi, lintas stakeholder yang secara bersama-sama di implementasikan untuk dapat menemukan akar masalah dan menemukan solusi yang dapat diterima oleh semua pihak.

Aspek Indikator Keamanan

Aspek dari Indikator

1. Keamanan Dalam Negeri adalah : a. Good Governance, b. Keamanan berbasis integrated system, c. Public service, d. Keamanan Masyarakat, e. Board (badan /wadah independen untuk penyeimbang/kontrol sosial).

Variabel :

a. Good governance

1. Produk hukum yang merupakan refleksi kesepakatan bersama untuk mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial untuk melindungi, mengangkat harkat dan martabat manusia yang produktif.

2. Profesionalisme para aparatur penyelenggara negara dari legislatif, eksekutif dan yudikatif.

3. Modernitas (system online yang berbasis IT) sebagai bagian dari implementasi dalam birokrasi yang modern di era digital.

4. Kebijakan (Political will) yang berpihak kepada upaya-upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat.

5. Sinergitas antara pemangku kepentingan dalam mengimplementasikan pelayanan kepada publik yang berstandar pelayanan prima (cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses).

6. Etika dan integritas publik

b. Keamanan berbasis integrated system

1. Tersedianya back office. Dalam era digital para aparatur penyelenggara negara sudah saatnya membangun sistem back office, aplikasi dan network untuk dapat memberikan pelayanan prima (cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses). Dalam back office ada sistem situpak :1. Situasi (peta/pemetaan), 2. Tugas-tugas pokok (job description dan job analysis), 3. Pelaksanaan tugas (sistem pengoperasionalan : rutin, khusus dan kontijensi), 4. Sistem administrasi (SDM, perencanaan, sarparas, anggaran), 5. Pelaporan, 6. Komando dan pengendalian. Model Back office adalah sebagai pusat K3i (kodal, koordinasi, komunikasi dan informasi):

1) Kodal (komando dan pengendalian) berisi sistem aplikasi untuk : a. Mengawasi, memantau; b. Struktur komando/perintah; c. Analisa pengoperasionalan sehingga akan cepat dan memudahkan di dalam memberikan response.

2) Koordinasi : berisi sistem aplikasi jejaring/ network baik dalam internal maupun eksternal sebagai soft power.

3) Komunikasi : berisi sistem aplikasi komunikasi secara langsung/melalui media baik dari internal ke eksternal maupun dari eksternal ke internal.

4) Informasi : berisi sistem aplikasi: a. filling and recording (sistem pencatatan dan pendataan), b. searching (cari dan temu), c. filtering (pengkategorian/ pengelompokan), d. rating (peringkat), e. timmeng (waktu), f. Emergency (darurat), g. early warning (peringatan dini), h. Kontijensi (faktor alam, faktor kerusakan infrastuktur dan faktor manusia yang berdampak luas), i. rayonisasi.

2. Online sistem antar stakeholder. Sistem-sistem online (terhubung) menjadi dunia baru di era digital yang penuh harapan, tantangan bahkan ancaman bagi hidup dan kehidupan manusia. Harapan di dunia terhubung akan banyak hal yang dalam kebutuhan kehidupan manusia menjadi lebih mudah, cepat seakan menembus ruang dan waktu. Di semua ujung, penjuru dan belahan dunia dapat diketahui dalam waktu yang sama (on time). Sebagai contoh mesin dan aplikasi pencarian, penjawaban berbagai informasi semakin cepat, semakin mudah, semakin akurat. Apa saja ada dalam dunia maya dan bisa menjadi nyata. Segala yang virtual telah menjadi aktual. Harapan hidup menjadi lebih baik akan terhubung dalam komunikasi, informasi dan transformasi.

3. Pemetaan wilayah, masalah dan potensi. Memetakan wilayah, masalah dan potensi sedetail-detailnya perlu dilakukan sehingga dapat dianalisa sumber-sumber daya yang ada dan potensi-potensi konflik yang ada. Termasuk label-label, isu-isu, bahkan kebencian dari satu kelompok dengan kelompok lainya.

4. SOP. Standard Operational Procedure (SOP) bagi institusi yang bekerja secara profesional merupakan pilar untuk mampu bertahan, tumbuh, berkembang bahkan mengalahkan kompetitor-kompetitornya. Bagi birokrasi yang tanpa kompetitor dengan SOP dapat menunjukan kualitas kinerja dan standar mutu atas apa yang dikerjakan/ dibuatnya. SOP menjadi standar-standar yang dapat dijadikan dasar untuk menunjukan tingkat profesionalitas kerjanya. Standard Operational Procedure (SOP) setidaknya mencakup :

1) Job description dan job analysis yang berisi jabaran tugas dan analisa pekerjaan / beban tugas termasuk resiko tugas yang dibuat secara bertingkat-tingkat dan bervariasi disesuaikan dengan fungsi, bagian, bidang tugasnya.

2) Standardisasi keberhasilan tugas yang mengacu dari point 1 yang juga bertingkat-tingkat dan bervariasi. Isi keberhasilan tugas mencakup dengan : a. Kepemimpinan, b. Administrasi (SDM, perencanaan dan program-program, sarpras/ teknologi dan IT) (perorangan, kelompok/unit dan kesatuan), anggaran), c. Operasional (sesuai fungsi bidang tugasnya) yang bersifat rutin, khusus dan kontijensi, d. Capacity building (kreatifitas/inovasi). Point-point tersebut dibuat dalam standar angka/ tingkat keberhasilannya yang menjadi pedoman nilai dari point-point keberhasilannya.

3) Sistem penilaian kinerja berisi sistem penilaian berdasar angka-angka untuk pekerjaan-pekerjaan yang dianggap berhasil pada point 2 bisa menggunakan angka/ huruf. Penilaian kinerja ini sebagai raport penilaian atas hasil kerja para pekerja dan untuk menunjukan tingkat kualitas kinerjanya.

4) Sistem reward dan punishment yang juga dibuat sebagai dasar untuk mengapresiasi yang berprestasi dan menindak bagi yang menyimpang/ melanggar. Ini dibuat juga secara bertingkat-tingkat dan bervariasi.

5) Etika kerja yang berisi apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan (do dan don’t)

Standard Operational Procedure (SOP) tatkala bisa diterapkan dengan baik akan memperkuat institusi/ korporasi, namun tatkala diabaikan sebenarnya tinggal menunggu waktu ambruk/ditinggalkan.

5. Tim transformasi. Tim transformasi sebagai tim kendali mutu, tim backup yang menampung ide-ide dari bawah (bottom up) untuk dijadikan kebijakan maupun penjabaran kebijakan-kebijakan dari atas (top down). Tim ini sebagai dirigen untuk terwujudnya harmonisasi dalam dan di luar birokrasi. Dan melakukan monitoring dan evaluasi atas program-program yang diimplementasikan maupun menghasilkan program-program baru.

c. Public service

1. Penyediaan publik infrastruktur transportasi. Transportasi yang dikelola secara profesional menjadi penting bagi masyarakat karena : 1. Untuk melayani pergerakan masyarakat dalam melaksanakan aktifitas sehari-hari, 2. Membatasi penggunaan kendaraan pribadi, 3. Ekonomis, biaya murah, dan mudah dijangkau, 4. Menjadi penghubung antar daerah dengan daerah lain, 5. Menjadi ikon/ simbol kota, simbol kemajuan/ simbol pariwisata dan menjadi pilihan utama masyarakat, 6. Aman, nyaman, tepat waktu, 7. Mendukung tingkat produktivitas masyarakat.

2. Penegakkan hukum. Hukum sebagai sarana kontrol sosial untuk menjaga, melindungi, mengatur, mendidik masyarakat agar dalam tata kehidupan sosialnya dapat berjalan saling mendukung dan melengkapi dan mampu mendukung meningkatnya kualitas hidup masyarakat. Tugas polisi mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial untuk meningkatnya kualitas hidup masyarakat. Yang salah satunya adalah menegakkan hukum. Agar hukum menjadi hidup dan mampu berfungsi sebagaimana yang seharusnya.

Penegakkan hukum yang dilakukan dengan mempertimbangkan dan melihat faktor perbuatanya (tindakannya), pertanggung jawabannya, dan pidananya dengan membuktikan apakah tersangka benar-benar bersalah dan layak dikenai hukuman atau sanksi pidana. Dalam implementasinya, polisi memiliki kewenangan diskresi di luar jalur hukum untuk kepentingan umum, kemanusiaan, keadilan, dan edukasi. Sebaliknya, dalam menangani perkara atau kasus yang kontraproduktif dan bisa merusak, menghambat, bahkan mematikan produktifitas bisa dilakukan penindakan dengan pengenaan pasal berlapis walaupun dalam satu peristiwa atau perkara pidana tidak boleh dijatuhi dengan hukuman yang sama. Pemenuhan rasa keadilan dalam penegakkan hukum memang harus dimiliki dan diyakini oleh para penegak hukum. Terutama para petugas polisi, mereka tidak hanya sekadar menerapkan pasal-pasalnya tetapi memberi efek pencegahan, perlindungan korban dan para pencari keadilan, membangun kepatuhan hukum serta wibawa sebagai sandaran bagi penyelesaian konflik yang terjadi dalam masyarakat.

3. Modernitas. Modernitas dalam konteks ini adalah kemajuan yang berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan dukungan teknologi, pekerjaan akan mampu dilakukan dengan cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif, dan mudah diakses.

4. Saluran public complain ( kepekaan, kepedulian dan budaya malu). Merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk memberdayakan dan meningkatkan kepekaan dan kepedulian dengan melibatkan warga masyarakat dengan memotret dan mengupload foto-foto pelanggaran.

d. Keamanan Masyarakat

1. Tingkat kriminalitas.

2. Tingkat kesadaran dan ketaatan hukum.

3. Tingkat literasi.

4. Tingkat modernitas (kecepatan dan kedekatan pelayanan publik).

5. Tingkat harmonisasi sosial (human security).

e. Board (badan /wadah independen untuk penyeimbang/ kontrol sosial). Peran dan fungsi forum adalah untuk mengendalikan dan mencegah kejahatan dan menyelesaikan masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat (khususnya yang berkaitan dengan keamanan). Dalam konteks ini, lebih ditekankan pada tindakan-tindakan pencegahan yang merupakan hasil pemikiran untuk mencari solusi-solusi dan langkah-langkah yang terbaik atau tepat untuk menciptakan dan menjaga rasa aman dan keamanan warga. Forum ini dapat dibuat pada tingkat : 1. Nasional, 2. Provinsi, 3. Kabupaten/ kota.

Indikator-indikator kemanan tersebut perlu penjabaran dan pengembangan sampai pada tingkat implementasinya dan ada penilaian sebagai kontrol pencapaian tujuan. Indikator pengaman ini dalam operasionalnya dilaksanakan lintas fungsi, lintas stakeholder yang secara bersama-sama mencari akar masalah dan menemukan solusi yang dapat diterima oleh semua pihak.

Polisi dan pemolisiannya

Polisi bekerja melalui pemolisian. Pemolisian adalah segala usaha dan upaya untuk mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial (Kamtibmas) pada tingkat managerial dan operasional baik dengan atau tanpa upaya paksa. Pemolisian dapat menjadi suatu karakter bagi institusi kepolisian yang dapat dibangun menjadi model yang bervariasi antara satu tempat dengan yang lainya.

Model pemolisian dapat dibangun dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Manfaat bagi kemajuan bangsa dan negara, kesejahteraan masyarakat, kemajuan institusi Kepolisian.

b. Wilayah, masalah yang di hadapi, potensi-potensi yang bisa diberdayakan, corak masyarakat dan kebudayaannya, nilai-nilai kearifan lokal dan sebagainya.

c. Fungsi dan tugas pokok polisi baik sebagai institusi, sebagai fungsi maupun sebagai petugas kepolisian. Arah untuk menuju kepolisian sebagai institusi yang profesional (ahli), cerdas (kreatif dan inovatif), bermoral (berbasis pada kesadaran, tanggung jawab dan disiplin) dan modern (berbasis IT).

d. Model-model pembinaan baik untuk kepemimpinan, bidang Administrasi, bidang operasional maupun Capacity Buiding.

Dalam membangun pemolisian di era digital Perlu pemikiran-pemikiran secara konseptual dan bertindak pragmatis yang saling melengkapi dan menjadi suatu sistem. Tatkala kita membangun sistem yang perlu diperhatikan adalah masukan (input), proses (cara mencapainya) maupun keluarannya (output), yang memerlukan adanya standar-standar baku sebagai pedoman Operasionalnya (SOP : a) Job description dan Job analysis, b) Standardisasi keberhasilan tugas, c) Sistem penilaian kinerja, d) Sistem Reward dan Punishment, dan e) Etika Kerja).

Model pemolisian dapat dibuat 3 kategori : 1. Berbasis wilayah, 2. Berbasis kepentingan dan 3. Berbasis dampak masalah. Ke tiga kategori tersebut memiliki pendekatan yang berbeda namun ada benang merahnya yang menunjukan adanya saling keterkaitan satu dengan lainya. Model pemolisian ini dapat digunakan sebagai acuan dasar/ pedoman dalam mengimplementasikannya, walaupun berbeda variasinya (berdasarkan corak masyarakat dan kebudayaannya) namun tetap memiliki prinsip-prinsip mendasar yang berlaku umum. ” Satu Prinsip Seribu Gaya”.

a. Pemolisian yang Berbasis Wilayah.

Model ini boleh dikatakan sebagai model struktural dari tingkat Mabes sampai dengan Polpos bahkan bisa jadi pada Babin kamtibmas. Semua tingkatannya di batasi wilayah hukum (bisa mengikuti pola pemerintahan/ ada pola-pola khusus seperti yang diterapkan di Polda Metro Jaya yang wilayahnya ada 3 Propinsi (DKI, Banten dan Jawa Barat). Ada Polres yang membawahi lebih satu wilayah Kota/ Kabupaten. Ada juga wilayah Polsek yang lebih dari 1 Kecamatan. Pada tingkat Polpos dan Babin kamtibmas ini yang perlu dibuat secara konsisten/ ada modelnya. Di dalam pemolisannya akan berkaitan dengan penanganan-penanganan masalah, kepentingan-kepentingan. Di sinilah ada saling keterkaitan antara model yang berbasis wilayah maupun yang berbasis kepentingan maupun yang berbasis wilayah. Pertanyaannya : ” bagaimana membangun sistem terpadu yang saling mengisi dan saling melengkapi serta saling menguatkan dalam mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial (Kamtibmas)?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut yaitu dengan membangun back office (sebagai linking pin/ pusat K4Ei (komunikasi, komando dan pengendalian, koordinasi, kontrol dan monitoring, evaluasi serta informasi)). Back office ini merupakan ruang operasi untuk mengharmonikan (kalau analogikan adalah dirigen dalam sebuah orchestra) pekerjaan yang diselenggarakan antar wilayah, fungsi/ bagian, maupun dalam kondisi yang diskenariokan, atau kondisi-kondisi kontijensi baik dari faktor manusia, faktor alam maupun faktor kerusakan infrastruktur. Back office ini merupakan sistem terpadu yang mampu membangun database, komunikasi, komando dan pengendalian, koordinasi, kontrol dan monitoring, evaluasi serta informasi. Yang mampu memberikan pelayanan prima dengan pemolisian yang profesional, cerdas, bermoral dan modern. Untuk itu diperlukan keunggulan-keunggulan dalam mengimplementasikannya yaitu: a. Unggul SDM, b. Unggul data, c. Unggul Pemimpin dan Kepemimpinannya, d. Unggul Sarpras (berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi, e. Unggul Jejaring, dan f. Unggul Anggaran.

b. Pemolisian yang Berbasis Kepentingan.

Model pemolisian yang berbasis kepentingan tidak dibatasi wilayah, namun dipersatukan oleh kepentingan-kepentingan bersama. Kepentingan-kepentingan tersebut bisa yang berkaitan: dengan pekerjaan/ profesi, hobby, kegiatan, kelompok-kelompok kemasyarakatan. Model ini diimplementasikan secara variasi oleh fungsi-fungsi kepolisian yang ada pada pemolisian berbasis wilayah (Mabes sd Polsek) sesuai dengan kategori-kategori kepentingannya (internasional, regional, nasional, maupun tingkat lokal). Melalui keunggulan-keunggulan tersebut di atas yang di harmonisasikan oleh petugas-petugas di back office maka walaupun pemolisiannya pada tingkat lokal sekalipun namun dampaknya dapat menjadi global karena ada sistem-sistem dasar dan pendukungnya yang saling terkait.

c. Pemolisian yang Berbasis Dampak Masalah.

Akar masalah ini bukan tugas polisi namun merupakan potensi konflik dan dampaknya dapat menjadi konflik yang dapat mengganggu, menghambat, merusak bahkan mematikan produktifitas. Yang tentu saja akan menjadi tugas kepolisian tatkala menjadi gangguan terhadap keteraturan sosial. Pola pemolisiannya akan juga berkaitan dengan yang berbasis wilayah maupun yang berbasis kepentingan namun polanya berbeda karena penanganannya dengan pola khusus atau yang tidak bersifat rutin, walaupun dapat memanfaatkan sistem-sistem back office. Pola penanganan terhadap dampak masalah ini ditangani dengan membentuk satuan-satuan tugas (Satgas) yang juga bervariasi karena juga akan berbeda dampak masalah dari ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, keamanan, keselamatan dan sebagainya.

Pemolisian yang berbasis dampak masalah merupakan pemolisian untuk menangani berbagai dampak yang sebenarnya bukan bagian dari urusan kepolisian. Namun ketika menjadi masalah dampaknya akan mengganggu, mengancam, merusak bahkan bisa mematikan produktifitas. Di sinilah core dari model pemolisian yang berbasis dampak masalah yang penangananya diperlukan keterpaduan/ integrasi dari pemangku kepentingan ataupun antar satuan fungsi. Dengan membangun model pemolisian yang berbasis dampak masalah akan dapat menjadi wadah untuk mensinergikan, mengharmonikan dalam menangani berbagai masalah (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, keamanan bahkan pertahanan) sehingga menemukan solusi-solusi tepat yang dapat diterima semua pihak dan dapat digunakan untuk pra, saat maupun pasca. Keterpaduan inilah yang menjadi kecepatan, ketepatan bahkan kekuatan sosial dan akan juga menjadi ketahanan nasional dalam menghadapi berbagai dampak masalah bahkan dampak globalisasi.

Keamanan dan rasa aman menjadi dasar untuk peningkatan kualitas keselamatan. Penyelesaian masalah keamanan dan rasa aman bukan untuk/ dengan kekuasaan, penguasaan namun diawali dengan menemukan dan memahami akar masalah yang dapat terekam dalam indeks keamanan yang dapat menjadi early warning system. Dari potret situasi keamanan terekam dalam indeks keamanan tersebut dapat dicari akar masalah dan ditemukan solusi-solusi secara tepat dan dapat di implementasikan. Dinamika perubahan yang bergulir dengan cepat muncul berbagai isu yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial dan keteraturan sosial yang akan berdampak pada semakin kompleksnya tugas-tugas kepolisian.

Di era digital dituntut adanya berbagai pelayanan yang serba : cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses.

Di era disrupsi, kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat berdampak terjadinya globalisasi. Selain segi positif globalisasi juga membawa permasalahan sosial yang berkaitan dengan gangguan keamanan yang terjadi dalam masyarakat akan semakin kompleks dan semakin canggih karena semakin sistematis terorganisir secara profesional dan memanfaatkan teknologi dan peralatan-peralatan modern yang dilakukan oleh orang-orang yang ahli/ profesional. Tentu saja akan semakin sulit untuk dicegah, dilacak dan dibuktikan. Selain itu tuntutan dan harapan masyarakat terhadap kinerja polisi dalam menyelenggarakan pemolisiannya dapat memberikan adanya pelayanan prima. Pelayanan prima kepolisian dalam konteks ini dapat dikaitkan dengan pembangunan sistem-sistem yang diawali dengan sistem filling and recording, analisa data yang dapat menghasilkan indeks, pemetaan masalah melalui solusi-solusi tepat yang didukung dengan sistem-sistem online yang dapat dimasukkan sebagai pemolisian secara elektronik (e-Policing )

Pengamanan melalui program Harmoni. Harmoni Merupakan program dengan sistem-sistem modern sebagai implementasi e-policing (pemolisian di era digital) dalam mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial (kamtibmas). Spirit harmoni adalah komunikasi, informasi, melayani, melindungi, memberi solusi Kamtibmas yang humanis dan modern. Standar pelayanan harmoni adalah kecepatan, kedekatan dan menjadi ikon persahabatan.

Pelayanan-pelayanan yang dilaksanakan dalam Harmoni adalah pelayanan informasi, pelayanan administrasi, pelayanan keamanan, pelayanan keselamatan, pelayanan hukum dan pelayanan kemanusiaan.

a. Pelayanan administrasi adalah berkaitan dengan pemberian surat keterangan kepolisian sebagai jaminan legitimasi atas keabsahan dan kebenaran atas apa yang disampaikan/ dijelaskan dalam surat tersebut.

b. Pelayanan keamanan adalah Pelayanan yang berkaitan dengan tindakan kepolisian baik dengan/ tanpa upaya paksa baik secara langsung/ melalui media untuk mewujudkan dan memelihara keamanan dan rasa aman masyarakat.

c. Pelayanan keselamatan adalah pelayanan yang berkaitan dengan tindakan kepolisian baik dengan/ tanpa upaya paksa baik secara langsung/ melalui media untuk mewujudkan dan memelihara keselamatan, meningkatkan kualitas keselamatan dan menurunkan tingkat fatalitas korban kecelakaan lalu lintas.

d. Pelayanan hukum adalah tindakan kepolisian baik dengan/ tanpa upaya paksa baik secara langsung/ melalui media untuk membangun peradaban. Dalam menegakkan hukum polisi juga sebagai penegak keadilan, aturan dan sistem-sistem yang dibuat untuk mengawasi bukan untuk menakut nakuti.

e. Pelayanan kemanusiaan adalah tindakan-tindakan kepolisian yang dapat dikategorikan sebagai upaya-upaya mengangkat harkat dan martabat manusia/ dapat dikategorikan sebagai pejuang kemanusiaan.

f. Pelayanan informasi adalah pelayanan kepolisian untuk memberikan pencerahan, memotivasi, memberitahu hal baru dan mendorong orang lain berbuat baik.

Pelayanan kepolisian wajib dilakukan dengan prima sehingga secara signifikan dirasakan oleh masyarakat sebagai pelayanan yang cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses.

Tahapan dalam membangun Harmoni yaitu :

a. Membangun Back Office sebagai Operation Room. Back office adalah sebagai pusat data, komunikasi, koordinasi, pengendalian, pengawasan dan informasi

b. Aplication, sebagai sistem-sistem Informasi, komunikasi, koordinasi dan kodal. Aplikasi sebagai bentuk model program-program layanan yang bisa di install dalam berbagai model dan sistem baik untuk pendataan, pencarian, pemberian informasi, kecepatan merespon dan sebagainya.

c. Network sebagai pendukung. Jejaring secara elektronik dan scr manual harus terus dibangun sebagai fondasi dasar atas kekuatan dari sistem-sistem pelayanan tersebut.

Tahapan-tahapan dalam membangun Harmoni yaitu :

a. Tahap I Pemetaan

1) Memetakan wilayah 1 sampai dengan tingkat RT

2) Memetakan masalah-masalah yang dapat memicu terjadinya konflik dan dibuat kategori-kategori aman, sedang/ waspada, bahaya/ rawan

3) Memetakan potensi-potensi yang ada dari sumber daya alam, sumber daya manusia, aktivitas-aktivitas, jaringan-jaringan dan sebagainya.

b. Tahap II

1) Pelayanan informasi: Info apa saja yang berkaitan dengan kamtibmas

2) Pelayanan administrasi : Apa saja yang bisa di online kan dengan sistem pelayanan administrasi kepolisian/ pelayanan-pelayanan administrasi dan pemangku kepentingan lainnya.

3) Pelayanan keamanan : pola-pola aplikasi pengamanan wilayah dari tingkat RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kota, Kabupaten, Provinsi yaitu :

– membuat sistem pengamanan untuk pra, saat dan pasca kejadian

– pola-pola pengamanan saat terjadi situasi kontijensi

– pola-pola pengamanan saat-saat khusus (kegiatan kemasyarakatan, kegiatan Protokoler, kegiatan politik dsb)

4) Pelayanan keselamatan : Membuat aplikasi yang berkaitan dengan pola-pola keselamatan dalam berlalu lintas baik keselamatan jalan, keselamatan kendaraan bermotor, keselamatan manusia, Penanganan kecelakaan dan sebagainya.

5) Pelayanan hukum:

– aplikasi-aplikasi informasi tentang hukum/ peraturan-peraturan dan

– konsultasi hukum/ edukasi tentang hukum dan kepatuhan hukum

6) Pelayanan kemanusiaan: Menjembatani, pertolongan (quick respon time)

c. Tahap III

Membuat sistem-sistem aplikasi yang terpadu antara pola pemolisian yang berbasis wilayah, yang berbasis kepentingan dan berbasis dampak masalah.

d. Tahap IV

Menerapkan Asta Siap di era digital mampu sbg cyber cops :

1). Siap pilun ( grand strategy, model model atau panduan panduan dengan standar2 dan aturan-aturannya)

2). Siap pusat K3i (komunikasi, koordinasi komando pengendalian dan informasi) sbg back office atau sbg operation room dengan berbagai sistem untuk call centre, quick response, back up system dan sistem transformasi, big data system, one gate service system, sistem analysis data dan menghasilkan algoritma melalui info grafis, info statistik dan info-info virtual yg real time on time dan anybtime. Semua itu di dukung dengan aplikasi yang berbasis artificial intellegence dan jejaring yg berbasis internet of things.

3). Siap model model simulasi dan implentasi di lapangan scr virtual maupun aktual

4). Siap cipkon dengan sistem sistem pemetaan wilayah, potensi dan masalah serta jejaring key informan sd lini terdepan.

5). Siap mita yg mampu diberdayakan sebagia soft power.

6). Siap SDM yagg menhawaki

7). Siap sarpas untuk perorangan, unit atau kelompok dan jg kesatuan

8). Siap anggaran scr budgeter maupun non bugeter.

Pembangunan dan pengembangan Security Training Centre (STC)

Security Training Centre (STC) berkaitan dengan polisi pengemban dan pembina private dan industrial security). Pengamanan yang dilakukan oleh polisi tidak sebatas reaktif tetapi proaktif, serta problem solving yang lebih mengutamakan pencegahan dan kemitraan yang dibangun dengan sistem terpadu dan berkesinambungan. Tentu dilakukan secara profesional, modern, dan juga memberdayakan potensi yang ada untuk memberikan jaminan keamanan dan rasa aman warga, agar aktivitas untuk menghasilkan produksi yang menyejahterakan mereka senantiasa tumbuh dan berkembang. Pola pengamanan atau sekuriti mencakup :

1. Public security

2. Industrial security

3. Ecological security

4. Cyber security

5. Privare security

Model sekuriti di atas saatnya dikembangkan secara profesional agar mampu menjadi pendukung atas upaya mewujudkan dan memelihara keamanan rasa aman dan pengamanannya. Pola pengamanan memerlukan adanya soft power dan hard power yg dikelola oleh Polri yg tdk lagi cara parsial dan menjadi ladang bisnis semata produk adanya aman dan rasa aman dpt dirasakan. Pola pengamanan yg profesional mampu meminimalisir premanisme dan berbagai hal yg dpt memicu konflik. Selain itu juga dpt membantu pada situasi emergency maupun kontijensi. Posisi sistem pengamanan swakarsa senantiasa dikembangkan tingkat profesionalismenya sbg wujud tanggung jawab mendukung upaya upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat dkm negara yang modern dan demokratis.

Satpam sebagai tenaga pengamanan swakarsa dibangun secara profesional rasional dan mampu mengatasi pengamanan:

1. Pengamanan fisik

2. Pengamanan orang

3. Pengamanan kegiatan

4. Pengamanan lingkungan

5. Pengamanan siber

6. Pengaman saat emerjensi

7. Pengamanan saat kontijensi dll

Satpam merupakan anti premanisme yg kontra produktif. Sistem manajemen sekuriti yang profesional dapat dikembangkan melalui pembangunan security training centre (STC).

STC merupakan upaya untuk membantu pemerintah memperbaiki pola-pola pengamanan dengan sistem manajemen sekuriti yang tertata secara profesional dan modern akan dapat menjadi bagian dari sistem-sistem yang rasional dan terintegrasi, serta mampu menjadi soft power maupun hard power dalam membangun sistem keamanan dan keteraturan sosial dalam masyarakat. Security training centre akan menjadi standar kompetensi bagi:

1. Penyelenggara pendidikan private, industrial, public, ecological dan cyber securirty.

2. Instruktur-instruktur pada sekolah/pendidikan security.

3. Standar kompetensi bagi petugas-petugas sekuriti/penyadia jasa sekuriti.

4. Standar teknologi sekuriti.

5. Pola-pola peningkatan kompetensi petugas sekuriti.

6. Pengamanan sekuriti yang spesifik, yang memerlukan keahlian khusus baik dalam kondisi aman, maupun darurat.

7. Membangun asosiasi sekuriti secara berjenjang/bertingkat dari level kota/kabupaten, propinsi hingga pusat.

Di dalam pengelolaan STC Permasalahan kontijensi dapat diklasifikasikan mendukung program2 kepolisian sbb :

a. Aman nusa satu untuk menangani masalah bencana. Definisi bencana :

1) Faktor alam

2) Faktor non alam : gagal teknologi/ modernisasi, epidemi/wabah penyakit)

b. Aman nusa dua untuk menangani konflik sosial.

c. Aman nusa tiga untuk menangani teror bom.

Dalam penanganan bencana dapat menerapkan standar sistem manajemen keadaan darurat (ssmkd)/skpl (sistem komando pengendalian lapangan), yang merupakan sistem standar penanggulangan keadaan darurat yang dapat diprediksi/ direncanakan maupun bencana yang disebabkan karena faktor manusia, faktor alam dan faktor non alam (kerusakan infrastruktur). Sistem standar penanggulangan keadaan darurat yang dapat diprediksi/ direncanakan maupun bencana yang disebabkan karena faktor manusia, faktor alam dan faktor non alam (kerusakan infrastruktur). Dalam menangani keadaan darurat perlu sistem pengorganisasian yang simple dan bisa segera dioperasionalkan dengan komando terpadu bukan komado tunggal. Yang dilihat dari tingkat kompleksitasnya: (kejadian, korban, maupun wilayahnya). Selain membangun kpl (komando pengendali lapangan) dapat juga dibangun pusat krisis instansi. Kalau bencana itu kompleks dan perlu proses yang cukup lama dalam penangananya.

Penguatan Polres sebagai KOD yang akan menggerakkan pemolisian yang berbasis wilayah, berbasis fungsi dan berbasis dampak masalah sebagai super cops yg super kompetensinya dijembatani model E policing agar conventional maupun forensic policing dapat berjalan saling menguatkan. Model smart management dlm smart policing mjd basis dalam mendukung smart city pada pemdekatan pemolisian. Pemgembangan sistem forensic policing dalam sistem E policing pada komunitas maupun lalu lintas akan dinamis dan dapat ters dikembangkan sesuai corak masyarakat dan kebudayaannya maupun dinamika perubahan yang begitu cepat. Model model policing sebagai pendukung dapat mengacu prinsip prinsip yang mendasar dan berlaku umum yang telah dijabarkan di atas. Algoritma atas model E policing menjadi standar untuk dpt dilihat melalui info grafis, info statistik, info virtual yang real time yang dapat diakses secara any time. Algoritma selain menunjukkan hasil analisis untuk pelayanan prima juga dapat digunakan sebagai prediksi, antisipasi dan solusinya.**

Fajar Tegal Parang 120423

Share