“Era Post Truth”: Mengobok-obok Emosi, Solidaritas dan Konflik Sosial

TRANSINDONESIA.co | Oleh: Chrysnanda Dwilaksana

Konflik sosial pada umumnya karena perebutan sumber daya atau perebutan pendistribusian sumber daya. Bisa juga dikarenakan masalah harga diri. Suatu konflik terjadi sebenarnya merupakan puncak gunung es. Permasalahan permasalahan sudah menumpuk dan tinggal menunggu ada triger untuk meledakannya.

Permasalahan yang tidak terselesaikan dengan baik menyisakan residu yang akan menimbulkan kekecewaan hingga kemarahan, walaupun masih dapat dipendam. Namun tatkala diviralkan, ditambah tambahi dengan bumbu bumbu provokasi dan terus menerus di omongkan melalui media maupun secara langsung, akan melebar ke mana mana. Bagi orang yang tidak pernah mengalamipun bisa ikut menceriterakan bahkan juga ikut menghakimi.

Berita hoax dari media yang menyulut dari mulut ke mulut destorsi kebenarannya akan terus meluas yang berdampak saling memiliki penafsir semaunya walau berbeda dsn bertentangan dari faktanya.

Gosip, semakin digosok semakin sip. Gosip ini tatkala berlapis lapoi dan terus menerus dilakukan ini akan menjadi labeling. Pemberian label ini bisa untuk perorangan bisa untuk kelompok. Tatkala labeling ini terus dihembuskan seolah olah merupakan kebenaran yang dapat menjadi kebencian. Tatkala kebencian semakin mendalam akan dapat menggerus logika dan kewarasan akal sehat.

Apa yang dilakukan di atas ini sangat mudah memicu konflik sosial tatkala dikaitkan atau dihubung hubungkan dengan primordial. Primordialisme, yang merupakan hal utama dan pertama. Dapat dipahami sebagai” sara ” ( suku, ras, agama  dan antar golongan) dengan mengkaitkan pada komunitas atau kelompok kategorial dslam kehidupan sosial kemasyarakatan.

Di dalam primordialisme, emosional, spiritual diutamakan dan kadang mengabaikan rasionalitas. Pokok e atau dengan semangat menggebu siap membantu mengeroyok atau balas dendam dan menyerbu. Kelompok primordial tatkala sudah saling melabel saling membenci dari konflik perorangan pun bisa terjadi. Primordial dipilih atau digunakan karena untuk mendapatkan legitimasi dan solidaritas, walau hanya pada pembenaran bukan kebenaran.

Pembenaran yang bertentangan dengan fakta kebenaran, yang tidak berbasis hal hal yang hakiki hanya berdasarkan populasi. Kambing tatkala diteriaki orang banyak sebagai anjing bisa saja semua meyakini itu anjing.

Di dalam masyarakat yang majemuk primordialisme sangat mudah untuk memecah belah atau mengadu domba satu sama lain. Antar suku bangsa, antar ras, antar agama antar kelompok menjadi basis solidaritas ” asu gedhe mwnang kerah e”. Rasionalitasnya dikoprol koprolkan bahkan dibuang. Yang ada di kepalanya hanyalah hajar, serbu hancurkan, mereka musuh menghina kita. Spirit premanisme muncul walau kembali dengan keroyokkan dan pengkambinghitaman melakukan pengadilan jalanan tanpa memperhitungkan keadilan atau dampak buruknya. Siapa yang lemah disalahkan dan ditumbalkan. Tatkala kelompok primordial ini sudah menjadi “crowd” maka akan muncul gerakkan anarkisme. Stimuli designnya bisa saja walaupun hanya dengan “bullshit”. Misalnya si a dikeroyok si b yang sebenarnya hanyalah hoax. Sifat orang atau kaum yang cengeng, bodoh mudah di berdayakan untuk dibakar amarahnya. Karakter ksatria bisa lenyal diganti nalar koprol, mereka saat itu seakan penuh dengan jiwa patriot yang heroik walaupun melakukan hal hal yang di luar nalar. Otaknya seakan dibekukan dicocok hidungnya diseret untuk mengamini anarkisme. Kesadaran kolektif tatkala menyatu nalar hilang dan sukit dikendalikan. Seakan orang mabuk dan lupa dengan jati dirinya, tatkala sadar menyesal dibelakang hari.

Era post truth ini sebenarnya sudah dilakukan sejak jaman dahulu walaupun tidak separah di era digital dengan media sosialnya. Menghasut memecah belah untuk saling membenci. Kita bisa belajar dari pemberontakan masa lalu, sebagai contoh kisah Ken Arok, hingga penyerbuan tentara China ke Kadiri, Pengusiran pasukkan Kubilaikan, pemberontakkan di jaman Majapahit, konflik di masa kolonialisme, labeling antar suku bangsa masa pra kemerdekaan hingga masa kini masih terus ada.

Primordialisme menjadi pilihan apalagi kalau sudah mengatasnamakan apa kesucian yang dikaitkan dengan harga diri ini mudah untuk memicu konflik.

Kita sering mendengar pelakunya orang gila. Tatkala diperiksa dinyatakan gila maka tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban dan putus mata rantainya. Konflik sosial ini by design walaupun nampaknya tanpa kesengajaan.

Bullshit di era postruth, pembenaran seolah telah menjadi kebenaran walaupun sarat trik intrik. Memang ujung ujungnya juga kekuasaan penguasaan pendominasian sumber daya.

Masyarakat majemuk memerlukan adanya suatu pencerdasan hingga nalar atau logikanya tidak mudah dikoprolkan. Paradigma multikulturalisme dapat ditransformasikan untuk penanaman kebanggaan sebagai anak bangsa yang cinta akan kebhinekaan. Patriotisme cinta bangga akan bangsa dan negara tatkala bukan pada solidsritas semu tanpa logika, apalagi yang menjurus kepada premanisme. Kekuatan sosial dalam masyarakat suatu bangsa dan negara hendaknya untuk dijaga atau ditumbuh kembangkan kekayaan seni budayanya dalam mencerdaskan dan membangun karakter.

Multikulturalisme dapat ditumbuhkembangkan sebagai kekuatan bagi pelestarian kebhinekaan dan mencerdaskan kehidupan berbanhsa dan bernegara. Selain itu juga untuk memberdayakan melestarikannya,  salah satunya adalah melalui masyarakat sadar seni, budaya dan  pariwisata ( masdarwis).

Masdarwis menyadarkan warga masyarakat akan wilayahnya dan orang orangnya : suku bangsa, bahasa dan seni budayanya menjadi sumber daya bagi hidup dan kehidupannya.

Penanaman cinta bangsa bukan lagi sebatas doktrin namun penumbuhkembangam nalar dan daya logika waras. Lagi lagi ujung nya memang politik sehat waras lah yang mampu menjaga dan membawa suatu bangsa maju dan sejahtera.

Media saat ini menjadi bagian penting bagi hidup dan kehidupan manusia. berita atau informasi apapun dapat diperoleh dengan cepat dan mampu menembus sekat batas ruang dan waktu. Media seakan jembatan hati, penyambuh lidah, corong informasi bahkan sebagai sistem transformasi mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebaliknya media juga dapat digunakan untuk menyerang merusam bahkan membunuh karakter. Saling serbu dengan berbagai pemberitaan hoax  untuk berbagai kepentingan, kepentingan politik sekalipun mampu digulirkan untuk mendongkrak popularitasnya.

Tatkala tiada standar dan sadar akan media, berita atau informasi, kebenaran digeser dan dikalahkan pembenaran. Efeknya merupakan pembodohan bahkan mampu merusak dan merobohkan pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.

konflik sosial atau politikpun mampu di desain melalui pemberitaan media apalagi dibumbui dengan ujaran kebencian, yang memanfaatkan primordial. Tatkala media tanpa keteraturan atau tanpa kontrol maupun pengendalian, maka akan mengaduk aduk emosi masyarakat.

Penanganan post-truth secara holistik/ sistemik dapat di mulai dari pembenahan birokrasi baik kepemimpinannya dengan adanya kepemimpinan yang transformasional yang berani bekerja dan memperbaiki kesalahan di masa lalu, siap di masa kini dan mampu menyiapkan masa depan yang lebih baik, administrasi yang mencakup membangun sistem perencanaan yang dapat menjadi model untuk program-program dan implementasinya, membangun SDM yang berkarakter, membangun sistem operasional untuk yang bersifat rutin, khusus dan kontijensi dan membangun Capacity Building. Selain itu dilakukan pemberdayaan masyarakat melalui kemitraan, problem solving, public service pelayan publik untuk keamanan, keselamatan, administrasi, hukum, informasi maupun kemanusiaan dan network (pengembangan jejaring) sebagai counter issue.

Di era post truth manajemen media dengan intelejen media dapat menjadi solusi untuk mengimbangi dsn mengatasi atas gebrakan hoax yang secara masif diviralkan.

Portal media centre yang memiliki standar informasi kebenaran berita dan berbasis data akan memberikan peluang bagi masyarakat untuk melakukan pengecekan. media centre yang dibangun bukanlah model departemen penerangan di masa lalu yang searah atau seolah olah masyarakat tidak tahu apa apa, tidak lagi model top down. apa yg dibangun adalah sistem dialov interaktif. Harapannya melalui manajemen media, mampu inputing dan supporting data, analisa data, membuat counter issue. konteks manajemen media  berkaitan dengan intelejen media yang mampu untuk :
1. menjadi standar informasi atau berita yang benar sesuai fakta dan data
2. mampu menginspirasi yang artinya kreatif dan inofatif
3. mendorong orang lain berbuat baik dan benar / membangun budaya atau peradaban
4. mampu memberitakan hal hal yang up to date
5. mampu mengcounter issue
6. mampu membuat sesuatu menjadi fun indah dan menghibur.**

Fajar Maribaya 080423

Share