TRANSINDONESIA.co | Oleh: Iqbal Mochtar
Pernah dengar lagunya Rod Stewart yang judulnya ‘Have You Ever Seen the Rain in the Sunny Day’? Lagu itu cool banget. Bertutur tentang hujan yang tiba-tiba turun ditengah hari yang panas terik. Fenomena jarang tapi nyata. Fenomena yang persis banget dengan kisah RUU Omnibus saat ini.
RUU Omnibus ini sangat ujug-ujug muncul. Kayak hujan disiang hari; ia tiba-tiba turun, tanpa angin, tanpa awan. Tujuh bulan lalu, tiba-tiba muncul dan beredar draf RUU. Entah siapa yang buat; enggak ada yang mengaku. DPR bilang enggak tahu; Kementerian Kesehatan juga bilang enggak tahu. Kayak barang gaib yang tiba-tiba nyata.
Draf yang beredar itu sangat panjang dan dalam bentuk formal. Bahkan beredar dalam beberapa versi. Enggak mungkin dibuat main-main. Artinya, memang ada yang membuatnya tapi malu-malu mengaku. Kucing-kucingan.
Setelah beberapa bulan kucing-kucingan, akhirnya muncul pengakuan. Katanya, ini inisiatif DPR. Alasannya, RUU diperlukan untuk menggabung beberapa UU Kesehatan yang dinilai complex and hyper-regulation; jumlah legislasi banyak, beragam, tumpang tindih atau terdapat kontradiksi satu dengan lainnya.
Padahal faktanya tidak begitu. UU yang akan disinergiskan dalam RUU Ombinus ini relatif tidak banyak : 9 UU ingin dicabut dan 4 UU akan dirubah. Relatif enggak banyak. Bandingkan dengan RUU Cipta Kerja yang mensinergiskan 78 UU. Selama ini juga belum terdengar ribut-ribut terkait kontradiksi antar UU. Artinya, elemen kompleksitas, heterogenitas dan kontradiksi yang menjadi substansi pembuatan UU omnibus tidak jelas.
Lebih dari itu, sebagian UU kesehatan yang akan dilebur usianya masih singkat. UU Keperawatan dan UU Tenaga Kesehatan disahkan tahun 2014; sedangkan UU Karantina Kesehatan dan UU Kebidanan masing-masing disahkan tahun 2018 dan 2019. Saat ini, para stakeholders UU ini sementara berjibaku mengimplementasikan aturan-aturan ini, termasuk melakukan sosialisasi intensif dan pembuatan aturan turunan. Dalam kondisi demikian, mengapa tiba-tiba UU yang eksis ini ingin dihapus dan diganti dengan yang baru? Benarlah; kayak a rain in a sunny day.
Sekarang, tampaknya RUU ini ingin dipaksakan untuk segera jadi. Kata kasarnya, the show must go on. Dilakukan berbagai upaya agar RUU ini cepat final dan disahkan. Ada proses rapid acceleration. Hanya dalam sebulan sesudah disahkan sebagai RUU yang masuk prolegnas, sekarang RUU ini telah masuk public hearing.
Public hearing ini penting karena merupakan proses standar yang harus dilakukan bagi sebuah RUU. Kalau enggak, RUU ini cacat.
Ironisnya, tahap penting inipun tampaknya tidak akan jadi penting lagi. Beberapa waktu lalu, Kemenkes menjadualkan bahwa Daftar Isian Masalah (DIM) diharapkan selesai bulan Juni 2023. Tiba-tiba, setelah rapat terbatas dengan Presiden dua hari lalu, Menteri Kesehatan menargetkan DIM harus selesai minggu ini.
Bayangkan, target yang seharusnya terjadi bulan Juni dimajukan minggu ini. Padahal saat ini public hearing masih sementara berjalan. Public hearing memberi masukan penting dalam review DIM. Bila DIM harus masuk minggu ini, lantas apa gunanya melakukan dan melanjutkan public hearing dengan berbagai stakeholder? Artinya, public hearing ini meaningless.
Maka tidak keliru kalau RUU ini kayak a rain in a sunny day; datang tiba-tiba dan ingin difinalize dengan cepat. Kan memang hujan yang turun di siang terik terjadi secara tiba-tiba dan biasanya cepat selesai. Ini sebuah fenomena yang aneh dan jarang terjadi. Rod Stewart pun bingung. Kalau tidak percaya, coba deh dengarkan lagu Rod Steward ini. Salah satu baitnya bilang, “I wanna know, have you ever seen the rain, coming down on a sunny day”.*
Penulis: Forum Dokter Peduli Ketahanan Kesehatan Nasional