Enam ABK Asal Indonesia Korban Kecelakaan Kapal di Jepang Belum Ditemukan

TRANSINDONESIA.co | Enam warga Indonesia awak sebuah kapal penangkap ikan berbendera Taiwan dinyatakan hilang setelah perahu yang mereka tumpangi terguling pada 5 Maret di perairan Kepulauan Sinkaku, Okinawa, Jepang. Sementara jenazah kapten kapal nahas itu telah ditemukan.

“Hingga hari ini, dapat disampaikan operasi SAR (pencarian dan penyelamatan orban) masih tetap dilaksanakan oleh kapal patroli Jepang dan kapal patroli Taiwan, namun keenam ABK WNI yang ada di kapal tersebut belum ditemukan,” kata Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha.

Informasi mengenai kejadian ini, katanya, diterima oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Ibu Kota Tokyo, Jepang, serta Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Ibu Kota Taipei, Taiwan. Menurut Judha, KDEI Taipei telah bertemu otoritas Taiwan dan pemilik kapal untuk memastikan hak-hak keenam warga Indonesia itu bisa dipenuhi.

Judha menuturkan pihak Kementerian Luar negeri telah berkomunikasi dengan pihak keluarga untuk memberitahu perkembangan proses pencarian.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohammad Abdi Suhufan kepada VOA mengatakan warga Indonesia yang bekerja secara ilegal sebagai anak buah kapal penangkap ikan luar negeri lebih banyak ilegal ketimbang yang legal.

Dia menambahkan ABK Indonesia lebih suka bekerja di kapal ikan di luar negeri karena upahnya lebih tinggi dibanding bekerja di kapal ikan dalam negeri. Dia mencontohkan gaji ABK kapal ikan Taiwan saat ini sekitar Rp8 juta per bulan dan Jepang bisa memberikan gaji yang lebih tinggi lagi. Besarnya standar upah tersebut karena risiko mereka hadapi lebih besar. Kapal-kapal ikan asing mencari ikan di lintas negara dan samudera.

Sedangkan upah ABK kapal ikan di dalam negeri sesuai upah minimum provinsi atau ada yang memakai sistem bagi hasil. Menurut Suhufan, kantong-kantong ABK migran di Tanah Air adalah Jawa Barat, Jawa tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Utara.

Dia mengatakan pemerintah sebenarnya sudah memiliki regulasi agar ABK Indonesia menjalani proses rekrutmen secara legal demi perlindungan mereka nantinya saat bekerja di luar negeri

“Kalau langkah-langkah pemerintah kemarin sebenarnya sudah ada Peraturan Pemerintah Nomor 22. Berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 22, agen perekrutan mesti terdaftar di Kementerian Tenaga Kerja,” ujar Suhufan.

Namun, lanjut Suhufan, Mahkamah Agung telah membatalkan sebagian isi Peraturan Pemerintah tersebut, sehingga kemungkinan upaya penyederhanaan perizinan perusahaan perekrutan ABK belum bisa dilakukan. Alhasil, akan terjadi perekrutan melalui dua kementerian, yakni Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perhubungan.

Selain itu, pemerintah harus meningkatkan standar upah dan jaminan sosial supaya profesi ABK menjadi menarik, sehingga mereka tidak perlu lagi mencari kerja di luar negeri. [voa*]

Share