Mahkamah Agung AS Pertimbangkan Tanggung Jawab Google dalam Kasus Teror ISIS
TRANSINDONESIA.co | Mahkamah Agung Amerika Serikat, pada Selasa (21/2), mengkaji kasus pertamanya tentang undang-undang federal yang diyakini membantu menciptakan internet modern dengan melindungi Google, Twitter, Facebook dan perusahaan lain dari tuntutan hukum atas konten yang dipasang di situs mereka oleh para penggunanya.
Para hakim mahkamah itu mendengarkan argumen tentang apakah keluarga seorang mahasiswa AS yang tewas dalam serangan teroris di Paris dapat menuntut Google atau tidak, karena membantu ekstremis menyebarluaskan pesan mereka dan merekrut anggota baru.
Kasus tersebut adalah kajian pertama pengadilan, khususnya pada Pasal 230 Undang-undang Kesopanan Komunikasi (Communication Decency Act), yang diadopsi di awal era internet pada tahun 1996 untuk melindungi perusahaan-perusahaan teknologi dari tuntutan atas informasi yang dipasang oleh pengguna mereka di dunia maya.
Pengadilan yang lebih rendah telah secara luas menafsirkan undang-undang untuk melindungi industri yang menurut perusahaan dan sekutu-sekutu mereka telah memicu pertumbuhan luas internet dan mendorong penghapusan konten berbahaya.
Tetapi para kritikus menilai perusahaan-perusahaan teknologi itu belum melakukan cukup banyak hal, dan bahwa undang-undang sedianya tidak memblokir tuntutan hukum atas rekomendasi yang dihasilkan oleh algoritma komputer, yang mengarahkan pengguna ke lebih banyak materi yang menarik bagi mereka dan membuat mereka lebih lama menggunakan layanan itu di dunia maya.
Setiap pengurangan kekebalan perusahaan teknologi ini dapat menimbulkan konsekuensi dramatis yang mempengaruhi setiap sudut internet karena situs web menggunakan algoritma untuk menyortir dan menyaring segunung data.
Putri Dibunuh ISIS di Paris, Keluarga Gugat Google
Gugatan hukum itu diajukan oleh keluarga Nohemi Gonzalez, mahasiswa senior berusia 23 tahun di California State Long Beach yang menghabiskan satu semester di Paris untuk mempelajari desain industri. Ia tewas dibunuh sekelompok laki-laki bersenjata anggota ISIS dalam serangkaian serangan yang menewaskan 130 orang pada November 2015.
Keluarga Gonzalez menuduh YouTube, yang merupakan milik Google, membantu dan bersekongkol dengan kelompok ISIS dengan merekomendaskan video-video kepada para penontonnya, sebagian besar yang disukai para pengguna, yang melanggar Undang-undang Anti-Terorisme federal.
Pengadilan yang lebih rendah berpihak pada Google.
Dalam ringkasan utama yang disampaikan ke Mahkamah Agung pada Selasa, tim pengacara Google mengatakan “algoritma rekomendasi adalah alat yang memberikan kesempatan untuk menemukan jarum di tumpukan jerami terbesar manusia.”
Menanggapi hal itu pengacara keluarga korban mempertanyakan prediksi akibat yang mengerikan itu. “Sebaliknya tidak dapat disangkal bahwa materia yang dipromosikan di media sosial sebenarnya telah menyebabkan kerugian serius,” tulis para pengacara.
Dalam sebuah kasus terkait lainnya, yang dijadwalkan akan didengar dalam sidang pada hari Rabu (22/2), sebuah gugatan hukum juga dilayangkan terhadap Twitter, Facebook dan Google terkait serangan teroris di sebuah klub malam di Istanbul, Turki, pada tahun 2017, yang menewaskan 39 orang.
Gugatan hukum terpisah terhadap undang-undang media sosial yang diberlakukan oleh Partai Republik di Florida dan Texas kini tengah menunggu sidang di pengadilan tinggi, tetapi tidak akan diperdebatkan sebelum musim gugur dan keputusannya mungkin baru keluar pada pertengahan tahun 2024. [voa]