Tahun 2022 Menewaskan Paling Banyak Pengungsi Rohingya di Laut
TRANSINDONESIA.co | Badan PBB Urusan Pengungsi UNHCR pada Senin (26/12) mengatakan kemungkinan telah tenggelamnya sebuah kapal yang membawa 180 warga etnis minoritas Muslim-Rohingya dapat menjadikan 2022 sebagai tahun yang menewaskan paling banyak pengungsi Rohingya di laut dalam hampir satu dekade.
Hampir satu juta warga Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar kini tinggal di fasilitas penampungan yang penuh sesak di Bangladesh. Diant ara mereka terdapat puluhan ribu pengungsi yang melarikan diri setelah aksi kekerasan berdarah pada Agustus 2017.
Menurut perkiraan UNHCR, jumlah warga Muslim-Rohingya yang meninggalkan Bangladesh dengan perahu tahun 2022 ini melonjak lebih dari lima kali lipat dibandingkan pada tahun sebelumnya. Tidak jelas apakah ini terkait dengan pelonggaran dan pencabutan kebijakan pembatasan sosial karena COVID-19 di Asia Tenggara atau alasan lain.
Myanmar, yang mayoritas beragama Budha, telah menolak memberikan kewarganegaraan kepada sebagian besar warga Rohingya yang beragama Islam dan dipandang sebagai imigran ilegal dari Asia Selatan.
UNHCR khawatir kapal yang berlayar dari Bangladesh pada akhir November lalu dan sempat terlihat di sekitar Laut Andaman pada pertengahan Desember, telah tenggelam. Kapal itu membawa 180 pengungsi.
UNHCR mengatakan kapal yang tidak layak laut itu mungkin mulai retak pada awal Desember sebelum akhirnya kehilangan kontak. Tidak jelas dari mana kapal itu berangkat, tetapi tiga laki-laki Rohingya – termasuk satu orang yang keluarganya ada dalam kapal itu – mengatakan kapal itu berangkat dari Bangladesh.
Hampir 200 orang Rohingya telah tewas atau hilang di laut tahun ini. “Kami berharap 180 orang yang hilang itu masih hidup di suatu tempat,” ujar juru bicara UNHCR Babar Baloch.
Pihak berwenang Thailand mengatakan empat perempuan dan satu laki-laki ditemukan mengambang di dekat Pulau Surin, sementara satu perempuan lainnya di Pulau Similan telah diselamatkan nelayan. Belum ada konfirmasi tentang identitas mereka.
Seorang nelayan setempat mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa ia dan awak kapalnya telah menyelamatkan beberapa orang yang tergantung di tangki air yang terapung.
Baloch mengatakan, 2022 adalah salah satu tahun terburuk dengan jumlah korban meninggal dan hilang yang terbesar setelah tahun 2013 dan 2014. Sedikitnya 900 warga Rohingya pada tahun 2013, dan 700 lainnya pada tahun 2014, meninggal atau hilang di Laut Andaman dan Teluk Benggala setelah kekerasan antar-komunitas memaksa mereka melarikan diri.
Dibiarkan Mati
Sayedur Rahman, usia 38 tahun, yang melarikan diri dari Myanmar ke Malaysia pada tahun 2012, mengatakan istri dan ketiga anak mereka yang sudah remaja ada di kapal yang hilang itu.“Pada tahun 2017 keluarga saya datang ke Bangladesh untuk menyelamatkan nyawa mereka,” ujar Rahman. “Tetapi mereka semua kini sudah tiada. Saya sangat sedih. Kami warga Rohingya dibiarkan mati, di darat, di laut, di mana-mana.”
Bangladesh telah menangkap sejumlah penyelundup manusia. Negara padat penduduk itu juga telah meminta bantuan masyarakat internasional untuk membantu meringankan beban mereka dalam menerima begitu banyak pengungsi.
Awal bulan ini dua kelompok aktivis Rohingya mengatakan sedikitnya 20 orang meninggal karena kehausan dan kelaparan di sebuah kapal yang membawa sedikitnya 100 orang, yang terdampar di lepas pantai India, sebelum kemudian terbawa ke perairan Malaysia. Pasukan penjaga pantai India tidak memberi tanggapan.
UNHCR mengatakan kapal itu berbeda dengan yang membawa 180 pengungsi.
Organisasi Migrasi Internasional (IOM) hari Senin mengatakan 57 warga Rohingya sehari sebelumnya telah mencapai Aceh Besar, setelah terapung-apung selama hampir satu bulan. Pihak berwenang Indonesia belum memberikan keterangan apapun.
Dua kapal yang membawa sekitar 230 warga Rohingya, termasuk perempuan dan anak-anak, juga telah tiba di Aceh November lalu. Sedangkan bulan ini Angkatan Laut Sri Lanka menyelamatkan 104 warga Rohingya.
“Hidup di kamp penuh dengan ketidakpastian, tidak ada harapan, apakah mereka dapat kembali ke tanah air segera,” ujar Mohammed Imran, mantan pemimpin komunitas Rohingya yang telah kembali dari Malaysia ke Bangladesh. [voa]