Prof. DR. Dr. Idrus Paturusi, Sp.B., Sp.OT(K): [IDI], Professional and Scientific Organisation
TRANSINDONESIA.co : Oleh: Muhammad Joni, SH., MH., Advokat/Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Alumni Universitas Sumatera Utara (USU).
Diracik dari Putusan Mahkamah Konstitusi RI yang fenomenal, bahwa norma Satu IDI itu Konstitusional, juga Pasti. Diulas ringan dalam buku ‘Jejak Advokasi Satu IDI – Rumah Besar Profesi Kedokteran’, satu literasi mempertahankan norma UU Praktek Kedokteran.
Buku ‘Satu IDI’ ini mengubak denyut advokasi rumah besar profesi dokter. Juga, rekam aksi, gelut pemikiran, pun skills praktis litigasi mengawal konstitusionalitas Satu IDI: norma yang pasti! Yang berusaha dinarasikan lugas dan indah bagai Aurora Borealis –agar bedah yuridis dicerna santuy, ngotak, praktis. Tanpa kengerian alkisah bedah medis. Penulis melekatkan frasa “perlindungan kesehatan rakyat dengan satu standar kompetensi” pada takwil ‘Satu IDI’. Menjadi ‘Satu IDI, yang Pasti & Pro Rakyat. Manfaat ‘Satu IDI’ itu gayeng juncto happiness untuk semua. Bukan urusan kaum dokter dan dunia kedokteran, saja. Inilah sajian nomor 40 dari 68 tulisan Buku ‘Satu IDI’.
**
Prof. DR. Dr. Idrus Paturusi, Sp.B., Sp.OT(K) dihadirkan Pihak Terkait PB IDI sebagai ahli. Untuk menjawab pendapat yang hendak menjadikan IDI sebagai trade union. Juga untuk membanding pendapat yang hendak memisahkan perhimpunan dokter spesialis dari IDI dengan mengusung sebagai organisasi profesi tersendiri. Berikut ini dirangkum pendapat Prof. DR. Dr. Idrus Paturusi, Sp.B., Sp.OT(K)., yang mempunyai pengalaman sempurna mulai dari pendidikan kedokteran sebagai Dekan Fakultas Kedokteran UNHAS, pimpinan IDI, kelegium kedokteran, dan lainnya.
Menurut beliau bahwa “Pada hakekatnya organisasi profesi tempat berhimpun organisasi perhimpunan dokter spesialis dan kolegium yang bekerja secara koordinatif dan tidak terpisahkan dari keluarga besar IDI”. Selanjutnya, “Organisasi profesi bukanlah suatu serikat buruh (trade union), tetapi merupakan “professional and scientific organisation”.
Berikut ini disajikan secara lengkap pendapat Prof. DR. Dr. Idrus Paturusi, Sp.B., Sp.OT(K) yang disampaikan dalam sidang MK dengan judul “Undang-Undang Praktek Kedokteran (UUPA) dan Dampaknya untuk Profesi Kedokteran (Integrasi Organisasi Profesi dan Institusi Pendidikan)”.
PENDAHULUAN
Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi
Yang Terhormat Pemohon pengujian Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
Pertama tama izinkan saya memperkenalkan diri , yang InsyaAllah berdasarkan pengalaman bisa memberikan masukan. Pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 sebagai Dekan FK UNHAS dimana saya juga sebagai Wakil Ketua AIPKI, Prof Hardianto Dekan FK UGM sebagai Ketua AIPKI dan Prof Menaldi Dekan FK UI sebagai Sekretaris Jenderal.
Pada tahun 2006 s/d 2014 sebagai Rektor Universitas Hasanuddin. Pengalaman organisasi, Ketua IDI cabang Makassar, Presiden PABOI (Perkumpulan Ahli Bedah Orthopaedi Indonesia) tahun 2002 sampai dengan tahun 2004, Ketua Umum IKABI tahun 2004 sampai dengan tahun 2006. Presiden Indonesia Pain Society tahun 2006 sampai dengan tahun 2008. Anggota Kolegium Ilmu Bedah Orthopaedi sejak tahun 1999 sampai dengan sekarang. Sekjen MRPTNI tahun 2008 sampai dengan tahun 20012, Ketua MRPTNI tahun 2012 sampai dengan tahun 20014, Presiden ASAHIL tahun 2013 sd 2015.
Di Era tahun 2004 sampai dengan tahun 2006 saat sebagai pengurus AIPKI, kami ikut terlibat dalam pembentukan konsil, seperti telah dijelaskan terperinci oleh guru saya Prof Syamsu Hidayat. Tujuan konsil kedokteran adalah memiliki kewenangan untuk mengakui kompetensi dokter dan dokter spesialis dan juga kewenangan memberikan ijin praktek.
Di era tersebut juga awalnya dibicarakan pentingnya ujian Nasional untuk Fakultas Kedokteran (FK) swasta oleh karena saat itu tidak lagi mengikuti program ujian yang dibina oleh Fakultas Kedokteran Negeri, yang idenya ialah untuk menyamakan kualitas lulusan, namun oleh karena semua FK baik negeri maupun swasta dianggap sama maka ujian nasional tersebut di selenggarakan pada semua fakultas fakultas baik swasta maupun negeri. Hal ini erat hubungannya dengan kepastian hukum praktek kedokteran yang sesuai dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1) Pasal 28I ayat (4) Undang Undang Dasar 1945 dalam hal menjaga kompetensi dokter sebagai bagian dari pada pemenuhan Hak Asasi Manusia atas kesehatan. Saat ini sertifikat kompetensi sudah dapat diberikan saat mahasiswa lulus UKMPPD.
Perumusan Undang-undang Praktik Kedokteran (UU PK) dimulai dengan berkembangnya gagasan untuk membentuk Medical Council pada awal 1980-an. Baru pada sekitar 1998 prakarsa perumusan UU tentang Konsil Kedokteran memperoleh respon yang positif dari pemerintah. Beberapa ahli dari CHS , PB IDI dan Biro Hukum Depkes, kemudian bekerja bersama-sama merumuskan RUU tentang Konsil Kedokteran. Atas saran dari berbagai pihak RUU tersebut kemudian dirubah namanya menjadi RUU tentang Praktik Kedokteran.
Rumusan awal yang notabene merupakan hasil dari para profesional diserahkan kepada DPR yang kemudian menerimanya dengan baik. Selanjutnya DPR mengambil alih proses perumusan RUU tersebut dan meneruskannya sebagai inisiatif DPR. Hasil rumusan dan pengembangan oleh DPR kemudian disampaikan kepada presiden RI.
Substansi UU PK mengatur banyak hal yang berhubungan dengan penyelenggaraan praktek kedokteran. Didalamnya termasuk pembentukan Konsil Kedokteran, standar pendidikan dokter dan dokter spesialis, pendidikan dan pelatihan, registrasi, perizinan, disiplin kedokteran, pembinaan dan pengawasan dan lain sebagainya. Melalui UU PK ini diharapkan sebagai output dari proses penyiapan dokter yang akan masuk (sebagai input) dalam praktek kedokteran dapat tertata lebih baik.
Proses itu meliputi bagaimana proses pendidikan kedokteran (yang menghasilkan kompetensi tertentu), bagaimana proses registrasi dokter (yaitu memberikan kewenangan kepada dokter atas kompetensi yang dimiliki), bagaimana proses pemberian izin dokter untuk praktek (yang merupakan proses administratif) dan bagaimana tindakan yang harus diberikan apabila dokter yang sudah berpraktek (dan memiliki izin praktek) terbukti melakukan praktek kedokteran yang tidak sesuai standar profesinya.
Tujuan pengaturan praktek kedokteran adalah (1) memberikan perlindungan kepada pasien; (2) mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi; dan (3) memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.
Dampak UUPK , Terjaganya Mutu Dokter dari “Hulu sampai Hilir”
UU PK saat ini telah mengakomodasikan semua aspek yang berhubungan dengan proses menyiapkan seorang dokter agar berpraktek dengan baik, yang meliputi tiga hal, yaitu aspek pendidikan dan profesi kedokteran, kewenangan dokter, serta izin praktek dan disiplin profesi kedokteran.
Pertama tentang pendidikan profesi kedokteran. Praktek kedokteran sangat terkait dengan kompetensi (kemampuan) yang harus dimiliki seorang dokter. Kompetensi tersebut didapat dari pendidikan kedokteran. Hasil dari pendidikan kedokteran akan menghasilkan sertifikat kompetensi (dikenal dengan istilah sertifikasi).
Pendidikan kedokteran haruslah dilakukan secara khusus, mengingat pada dasarnya pendidikan kedokteran (khususnya pendidikan spesialis dan sub spesialis) adalah jenjang pendidikan profesi. Secara universal dapat dikatakan bahwa badan atau lembaga dalam dunia kedokteran yang bertugas untuk mengelola jenjang pendidikan profesi adalah kolegium profesi itu sendiri. Dalam pengelolaan jenjang pendidikan profesi maka kolegium profesi bertugas untuk menatapkan standar pendidikan serta menerbitkan sertifikat kompetensi lulusan pendidikan spesialis dan subspesialis.
Di beberapa negara lain kolegium sebagai pengampu ilmu lebih dulu terbentuk sebelum terbentuknya asosiasi profesi. Karena itu kolegium terpisah dari asosiasi profesi kedokteran. Di Indonesia kolegium justru lahir karena dibentuk oleh asosiasi dokter spesialis di lingkungan IDI. Karena itu kolegium spesialis berada dalam lingkungan perhimpunan spesialis namun kolegium tersebut memiliki otonomi dan tidak bisa diintervensi oleh perhimpunan spesialis masing-masing. Kemudian IDI melalui Muktamarnya membentuk MKKI (Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia) yang mengkoordinasikan semua kolegium. MKKI juga bersifat otonom dalam IDI.
Pengalaman selama ini dimana sebagai anggota kolegium sejak tahun 1999 sampai dengan sekarang dan juga pernah sebagai Dekan, Ketua Umum Organisasi Profesi, masing masing bekerja sesuai fungsinya, dimana Organisasi Profesi tidak pernah ikut mencampuri urusan pendidikan.
Dalam UU PK, kedudukan, fungsi dan peran kolegium-kolegium ilmu kedokteran melalui konsil kedokteran untuk menata sistem pendidikan profesi kedokteran menjadi semakin jelas.
Kedua, tentang kewenangan dokter. Setelah seorang dokter dinyatakan memiliki kompetensi (dalam bentuk sertifikat), maka kompetensi atau kemampuan tersebut tidak langsung menjamin bahwa dokter tersebut memiliki kewenangan untuk praktek sebagai dokter. Pengakuan atas kemampuan untuk menjadi kewenangan hanya dapat terwujud apabila dokter tersebut sudah mendaftar (melakukan registrasi) di satu badan atau lembaga registrasi (registration body) yang bukanlah registrasi administratif semata namun meliputi registrasi atas kompetensi dokter tersebut (dilakukan secara periodik setiap 5 tahun). Dalam UU PK, registrasi dokter dilakukan oleh konsil kedokteran yang bersifat independen.
Untuk reevaluasi kompetensi dokter ataupun dokter spesialis di wajibkan senantiasa mengikuti Continuing Education dan pada saat reregistrasi akan dilakukan evaluasi kembali.
Ketiga, hal-hal lain dalam praktek kedokteran. Selain pengaturan tentang pendidikan profesi kedokteran maka ada beberapa hal lain yang harus diatur, adalah: lisensi (izin) praktek dan disiplin profesi.
Ikatan Dokter Indonesia sebagai Organisasi Profesi
Selama ini jika menyebut kata-kata profesi (profession) banyak pihak yang menganggapnya sama dengan okupasi (occupation). Adanya anggapan yang seperti ini tentu saja tidak benar. Sekalipun profesi dan okupasi, keduanya sama-sama menunjuk pada suatu pekerjaan yang dapat memberikan nafkah dan kesejahteraan tetapi profesi tidaklah sama dengan okupasi.
Wilensky dalam tulisannya “The professionalization of everyone?“ di majalah American Journal of Sociology tahun 1964 menyatakan bahwa profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan dukungan “body of knowledge” sebagai dasar perkembangan teori yang sistematis, menghadapi banyak tantangan dan karena itu membutuhkan latihan yang cukup lama, memiliki kode etik serta orientasi utamanya adalah memberikan pelayanan.
Demikian juga Flexner (dalam tulisannnya “Is Social Work a profession” tahun 1915) juga menyatakan karakteristik dasar khas dari profesi adalah “aktifitas professional yang berdasar intelektual, mempunyai tanggung jawab personal, dasar pengetahuan yang kuat, pengalaman praktis dan tidak hanya akademik dan teoritis, menanamkan dasar pendidikan profesi menuju penguatan internal organisasi dan termotivasi dengan kasih sayang dan rasa sosial yang tinggi.
Karena adanya ciri-ciri seperti ini sering disebutkan bahwa seorang hanya dapat disebut sebagai warga profesi (a professional person) apabila memenuhi kesemua ciri di atas. Ciri- ciri yang dimaksud jika dapat dibedakan atas empat macam yakni: keahlian (expertise), bertanggung jawab (responsibility), kesejawatan (corporateness) serta etis (ethics).
Dengan pengertian tersebut di atas, jelaslah jika orang-orang professional tersebut menggabungkan diri dalam suatu organisasi maka organisasi yang terbentuk dikenal dengan nama organisasi profesi. Atau dengan kata lain, yang dimaksud dengan organisasi profesi tidak lain adalah kumpulan dari dua orang atau lebih para profesional yang secara bersama-sana bersepakat untuk mencapai tujuan profesi.
Dari pengertian yang seperti itu jelaslah untuk dapat disebut sebagai profesi tidaklah semudah yang diperkirakan. Sesungguhnyalah profesi tidak sama dengan okupasi. Profesi mempunyai ciri-cirinya yang tersendiri yang oleh Goodes, yang diperkuat juga oleh Tworek (Journal of Allied Health 1981) mempunyai 10 karakteristik dari profesionalisme, yaitu: profesi menentukan standar pendidikan mereka sendiri, pendidikannya juga meliputi pengalaman sosialisasi yang membuat mereka matang, pekerjaan profesi diakui secara legal melalui perijinan, badan pemberi ijin tersebut terdiri dari anggota profesi itu sendiri, peraturan perundang-undangan yang mengatur warga profesi disusun oleh anggota profesi sendiri (Autonomy of judgement for performance), pekerjaan profesi tidak hanya akan mendatangkan uang, tetapi juga wewenang dan prestise, pekerjaan profesi relatif sulit dievaluasi oleh orang awam, kode etik yang berlaku di kalangan profesi adakalanya lebih keras dari hukum, anggota-anggota profesi berafiliasi sangat kuat dengan profesinya dibandingkan dengan pekerjaan lain, pekerjaan profesi biasanya ditekuni seumur hidup.
Untuk organisasi profesi kedokteran, misi tersebut sebagaimana yang telah digariskan oleh World Medical Association (WMA) secara umum dapat dibedakan atas tiga macam yakni (1) merumuskan standar etika (2) merumuskan kemampuan professional/ kompetensi (3)memperjuangkan kebebasan melakukan pengabdian profesi. Tentunya misi yang terbatas ini apabila dapat diselenggarakan dengan baik maka akan memberikan manfaat bagi organisasi profesi itu sendiri. Manfaat tersebut dijelaskan oleh Breckon dkk (1989) yaitu: (1) Dapat lebih mengembangkan dan memajukan profesi (2) Dapat lebih memperluas bidang gerak profesi (3) Dapat menghimpun dan menyatukan pendapat anggota serta memberikan kesempatan kepada anggota untuk berkarya dan turut serta dalam mengembangkan dan memajukan profesi.
Sekalipun misi dan program kerja bersifat terbatas yang hanya berhubungan dengan kehidupan profesi bukan lalu berarti manfaatnya tidak dirasakan oleh masyarakat banyak. Manfaat tersebut sebagaimana disampaikan oleh WMA (1991) yang menyatakan …”to contribute high quality and humane medical care in a healthful environtment and enhancing the quality life for all people”.
Maka dalam rangka untuk memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan dokter serta memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan dokter sangat dibutuhkan organisasi profesi dokter yang tunggal. Standar pelayanan, standar etik dan standar kemampuan/kompetensi sebagai prasyarat utama dalam memberikan mutu pelayanan kesehatan yang terbaik kepada masyarakat harus muncul dari satu organisasi profesi.
Organisasi profesi bukanlah suatu serikat buruh (trade union), tetapi merupakan “professional and scientific organisation” (organisasi profesional dan ilmiah) yang mempunyai kewajiban menentukan standar, persyaratan dan sertifikasi keahlian, serta kode etik profesi (Pasal 12 Ayat 2 UU No. 18/2002).
Dengan demikian pekerjaan profesi memiliki beberapa kekhususan yaitu :
(1) Pekerjaan profesi didukung oleh body of knowledge, artinya jelas sekali ontologi, epistemologi dan aksiologinya.
(2) Keahlian diperoleh melalui pendidikan dan latihan terarah, terencana terus menerus dan berjenjang
(3) Pekerjaan profesi diatur oleh kode etik, bersifat altruism dan diakui undang-undang (UU PK).
(4) Pengaturan profesi diatur oleh warga profesi itu sendiri (professional regulation/ self regulation).
Definisi dan pengertian yang cukup komprehensif tentang profesionalisme dan otonomi profesi pernah diterbitkan oleh World Federation of Medical Education (WFME). Menurut WFME, Professionalism encompasses the knowledge, skills, attitudes, values and behavior expected of individuals during the practices of their profession (and includes concepts such as maintenance of competence, information literacy, ethical behavior, integrity, honesty, altruism, service to others, adherence to professional codes, justice and respect to others); autonomy in the patient-doctor relationship shall ensure that doctors at all times make informed decision in the best interest of their patients, base on the best available evidence.
Pentingnya anggota profesi berpraktek bersendikan profesionalisme dan otonomi profesi merupakan indikator bagi organisasi untuk membina dan membela anggotanya. Anggota profesi harus selalu dibina agar menjadi baik sesuai dengan azas-azas profesionalisme dan otonomi profesi. Pembinaan ini penting sekali karena pada dasarnya anggota profesi dapat saja tergelincir menjadi tidak professional dan atau menyalahkan arti otonomi profesi itu sendiri. Kemungkinan itu selalu ada karena praktek kedokteran pada dasarnya mengandung dua kondisi yang dapat menyebabkan hal itu terjadi, yaitu kondisi pertama, ketidaktahuan pasien (patient ignorance) yang dapat mendorong terjadinya kondisi kedua, yakni memancing timbulnya keinginan yang berlebihan dari pasien saat menjalani konsultasi/ pengobatan (induce demand).
Adanya UU PK yang pada dasarnya meng-”credentialing” dokter (melalui sistem registrasi ulang setiap lima tahun sekali) sangat membantu pekerjaan organisasi profesi dalam proses membina dan membela anggota profesi. Di dalam UU PK, organisasi profesi melalui kolegium-kolegiumnya dan perhimpunan terkait diberikan kewenangan untuk melakukan “credentialing“ atas kualitas input dokter yang akan berpraktek yaitu melalui mekanisme penerbitan sertifikat kompetensi (sebagai syarat untuk registrasi ulang). Sertifikat kompetensi adalah instrumen “credentialing” organisasi profesi dalam menjaga kompetensi pengetahuan dan keterampilan anggota profesinya.
Pendidikan Kedokteran di Indonesia
Pendidikan dokter di Indonesia sesuai dengan amanat Sistem Pendidikan Nasional, sejak tahun 2006 memiliki Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) bagi lulusannya. SKDI ini mengacu kepada World Federation of Medical Education (WFME) yang menjadi standar pendidikan kedokteran di dunia. SKDI ini juga dilengkapi dengan Standar Pendidikan Profesi Dokter Indonesia (SPPDI). Kedua standar ini dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dengan melibatkan seluruh stakeholder terkait seperti institusi pendidikan dan organisasi profesi (IDI).
Dalam perkembangan pendidikan tinggi di Indonesia dan pendidikan kedokteran di dunia, pencapaian standar lulusan juga diikuti dengan perubahan dalam pelaksanaan pendidikan kedokteran. Di Indonesia, pendidikan kedokteran termasuk yang pionir dalam penggunaan istilah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan merupakan yang pertama dalam menggunakan metode pembelajaran dengan Problem Based Learning (PBL) atau yang dikenal juga dengan Pembelajaran Berdasarkan Masalah (PBM).
Pada dasarnya, perubahan metode pembelajaran ini sangat baik konsepnya dan berdasarkan hasil penelitian di berbagai negara, memiliki perbedaan yang bermakna dibandingkan dengan metode konservatif sebelumnya. Sebelumnya, peserta didik diajarkan dengan orientasi utama adalah dosennya, sehingga peserta didik lebih pasif dan cenderung kaku dalam pengembangan pengetahuan dirinya. Saat ini dengan metode PBL dalam KBK, peserta didik dituntut bertanggung jawab pada pembelajarannya sendiri, fokus pembelajaran adalah siswa, sehingga peserta didik didorong untuk dinamis dan kreatif untuk mengembangkan dirinya melalui pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mempersiapkan dirinya menjadi seorang dokter yang baik.
Dalam rangka melahirkan dokter-dokter yang memadai dan berkualitas, maka dipersyaratkan bagi pendidikan kedokteran yaitu adanya Rumah Sakit Utama Pendidikan. Salah satu persyaratan pendidikan kedokteran adalah tersedianya Rumah Sakit Utama pendidikan (RSUP) kedokteran dalam jaringan lahan praktek yang kelayakannya dinilai oleh pakar pendidikan kedokteran sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan dalam panduan pendidikan kedokteran (Dirjen Dikti 2002). Pada tahun 2006 KKI juga telah mengesahkan Standar Pendidikan Profesi Kedokteran dimana dikatakan bahwa Institusi pendidikan kedokteran harus menjamin tersedianya fasilitas pendidikan klinik bagi mahasiswa yang terdiri dari RS Pendidikan dan sarana kesehatan lain yang diperlukan.
Standar RSUP diatur menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 93 Tahun 2015. Didalamnya terdapat 40 pasal yang mengatur mengenai standar RSUP yang harus dimiliki oleh setiap fakultas kedokteran. Syarat ini tentu bukan merupakan hal yang mudah untuk dipenuhi oleh setiap institusi. RSUP menjadi sangat penting karena pada pendidikan klinik, mahasiswa kedokteran akan menghabiskan sebagian besar waktunya di RSUP untuk menggali ilmu sebanyak-banyaknya guna memperlengkapi kualifikasinya sebagai seorang dokter kelak.
Pendidikan kedokteran (dokter dan dokter gigi) mempunyai peran yang sangat strategis dalam mencetak tenaga dokter berkualitas. Dokter yang berkualitas akan memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas pada masyarakat, dan tentunya dokter tersebut merupakan hasil didikan dari lembaga pendidikan kedokteran yang berkualitas pula.
Di Indonesia, pendidikan kedokteran dibuka tingkat fakultas kedokteran universitas. Dalam 10 tahun terakhir, telah berdiri begitu banyak fakultas kedokteran negeri dan fakultas kedokteran swasta di Indonesia. Pendirian fakultas kedokteran yang begitu pesat diasumsikan sebagai solusi minimnya tenaga dokter di tengah globalisasi dokter asing yang akan masuk pada pasar kesehatan serta penyebaran tenaga dokter yang tidak merata. Namun, mendirikan sebuah fakultas kedokteran merupakan investasi yang besar dan membutuhkan sarana prasarana yang luar biasa, sehingga menjadi sebuah alasan pembenar besarnya biaya pendidikan kedokteran. Akibatnya peserta didik pendidikan kedokteran secara perlahan berpihak pada kaum menengah atas, sedangkan kaum menengah bawah hanya dapat bermimpi.
Guna memenuhi kebutuhan dokter, maka pemerintah daerah perlu memberikan subsidi atau beasiswa bagi peserta didik yang berpotensi namun memiliki keterbatasan dalam segi perekonomian.
Permasalahan pendidikan kedokteran di Indonesia tersebut perlu mendapat perhatian serius dari Pemerintah, pemangku kepentingan pendidikan. Hal ini juga sejalan dengan tantangan dalam pendidikan kedokteran yang semakin besar termasuk kebijakan mengenai Asean Free Trade Area (AFTA) dan World Trade Organization (WTO).
Sementara itu saat ini kebijakan dan perhatian Pemerintah mengenai dokter dan dokter spesialis masih minim. Hal ini ditandai dengan minimnya modal pendidikan atau investasi di bidang pendidikan. Meskipun pada beberapa tahun belakangan dilakukan pengembangan pendidikan profesi kesehatan dengan dana pinjaman Bank Dunia dan adanya pembangunan rumah sakit akademik secara besar-besaran.
Kebijakan strategis lain yang masih kurang adalah pengaturan rumah sakit pendidikan (teaching hospital), termasuk pendanaannya. Hal ini penting, karena keberadaan rumah sakit pendidikan (teaching hospital) sebagai sarana pendidikan dan pusat riset sangat diperlukan untuk meningkatkan mutu lulusan peserta didik kedokteran.
Hal penting lainnya yang juga menjadi permasalahan dalam pendidikan kedokteran adalah dinamika antara permintaan masyarakat untuk menjadi mahasiswa kedokteran (termasuk spesialisasi) yang tinggi dan keterbatasan tempat pendidikan. Rasio penerimaan mahasiwa kedokteran dari yang mendaftar dan yang diterima menjadi sangat besar. Dari tahun ke tahun jumlah peminat peserta didik dalam pendidikan kedokteran sangat tinggi dan cenderung terus meningkat.
Berbagai permasalahan di atas perlu mendapat perhatian serius dari Pemerintah sebagai pemangku kepentingan pendidikan kedokteran dan seluruh masyarakat. Penanganan pemerintah sangat dibutuhkan, karena pendidikan kedokteran mempunyai karakteristik yang sangat berbeda dengan obyek-obyek ilmu lainnya. Ciri khas dari pendidikan kedokteran yaitu lulusannya kelak akan berhadapan dengan keselamatan jiwa dan keutuhan fisik manusia. Jika terjadi kesalahan dalam penerapan ilmu kedokteran akan berakibat secara langsung terhadap pasien. Akibat kesalahan tersebut tuntutan pelayanan optimal menuju manusia sehat akan sulit terwujud.
Integrasi Organisasi Profesi dan Institusi Pendidikan
Peran dari kedua belah pihak tentunya sangat dibutuhkan untuk menciptakan pelayanan kesehatan yang bermutu bagi masyarakat. Integrasi dan interaksi yang secara intens dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing dengan mengedepankan prinsip-prinsip “Transectoral Approach” dengan prinsip dasar di Indonesia yaitu “Gotong Royong” sangat diperlukan untuk perbaikan masa depan dunia kesehatan dan kedokteran di Indonesia. IDI sebagai organisasi profesi bersama AIPKI sebagai asosiasi institusi pendidikan kedokteran, ARSPI sebagai asosisasi rumah sakit pendidikan sebagai wahana utama pendidikan profesi serta konsil kedokteran (KKI), Kemenkes dan Kemenristekdikti bersama-sama mempunyai komitmen untuk perbaikan ke depan .
Kesimpulan
Kami setuju dengan usulan pemerintah.
(1) Bahwa untuk menyelesaikan program profesi dokter atau dokter gigi, mahasiswa harus lulus uji kompetensi yang bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai dokter dan dokter gigi.
(2) Bahwa peserta uji kompetensi adalah mahasiswa program profesi dokter atau dokter gigi yang menempuh pendidikan di fakultas kedokteran atau kedokteran gigi yang telah menyelesaikan seluruh proses pembelajaran.
(3) Konsil memiliki kewenangan menetapkan dan mengesahkan standar kompetensi dan standar pendidikan, serta mengeluarkan sertifikat dalam bentuk STR.
(4) Kolegium kedokteran atau kedokteran gigi dalam menyusun standar pendidikan profesi berkoordinasi dengan organisasi profesi, asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi, asosiasi rumah sakit pendidikan, Kementerian Ristek Dikti, dan Kementerian Kesehatan.
(5) Pada hakekatnya organisasi profesi tempat berhimpun organisasi perhimpunan dokter spesialis dan kolegium yang bekerja secara koordinatif dan tidak terpisahkan dari keluarga besar IDI.
(6) Organisasi profesi bukanlah suatu serikat buruh (trade union), tetapi merupakan “professional and scientific organisation”.
(7) Kerja sama antara kolegium dan organisasi profesi sampai saat ini berlangsung sangat baik, dimana keduanya dipilih dan bertanggung jawab pada Muktamar”.
Tabek. (Bersambung #42).