Deteksi dan Dekonstruksi

TRANSINDONESIA.co | Oleh: Muhammad Joni, SH., MH.

Diracik dari Putusan Mahkamah Konstitusi RI yang fenomenal, bahwa norma Satu IDI itu Konstitusional, juga Pasti. Diulas ringan dalam buku ‘Jejak Advokasi Satu IDI – Rumah Besar Profesi Kedokteran’, satu literasi mempertahankan norma UU Praktek Kedokteran.

Buku ‘Satu IDI’ ini mengubak denyut advokasi rumah besar profesi dokter. Juga, rekam aksi, gelut pemikiran, pun skills praktis litigasi mengawal konstitusionalitas Satu IDI: norma yang pasti! Yang berusaha dinarasikan lugas dan indah bagai Aurora Borealis –agar bedah yuridis dicerna santuy, ngotak, praktis. Tanpa kengerian alkisah bedah medis. Penulis melekatkan frasa “perlindungan kesehatan rakyat dengan satu standar kompetensi” pada takwil ‘Satu IDI’. Menjadi ‘Satu IDI, yang Pasti & Pro Rakyat. Manfaat ‘Satu IDI’ itu gayeng juncto happiness untuk semua. Bukan urusan kaum dokter dan dunia kedokteran, saja. Inilah sajian nomor 6 dari 68 tulisan Buku ‘Satu IDI’.

**

Walau nyaris bergerak senyap, perintah lugas sudah diturunkan. Tindakan berlanjut diorganisir. “…saya harap bergerak cepat untuk upaya perlawanan hukum terhadap JR UU Pradok..”, begitu penggalan “perintah” Prof. IOM. Beleid Ketua Umum PB IDI itu, walaupun menggunakan diksi “harap” namun musti direspon dengan bergerak cepat, tak sekedar berjalan. Dengan dukungan “mesin organisasi”, dan piawainya Dr. Mohammad Adib, Sp.OT, Sekjen PB IDI mengelola “tanggap darurat” judicial review. Mungkin karena acap sigap pada Komite Penanggulangan Bencana IDI. Gempa Palu-Donggala-Sigi yang meruntuhkan struktur bangunan, 80% korban patah tulang butuh bedah ortopedi, demikian asesmen tim aju IDI. Negeri ini butuh “mesin”cepat tanggap.

Juga Dr. Mahesa Paranadipa Maykel, M.H, Ketua bidang Keorganisasian dan Sistem Informasi Kelembagan, sang dokter yang juga magister hukum dan dosen medico-legal yang banyak memberi asupan aturan hukum kebijakan (beleidsregel) ikhwal praktik kedokteran dan aturan “ketatanegaran” IDI yang berguna dalam menyusun naskah hukum memenangkan “ujian kedua” pun demikian “ujian pertama”. Tak kalah berperan figur “penghubung” dan komunikasi media dikerjakan telaten Dr. Mariya Mubarika, beserta jajaran PB IDI lainnya berjuang menghadapi ikhtiar menguji norma sendi-sendi Organisasi Profesi IDI yang sah termaktub dan diberikan UU 29/2004 dan UU 20/2013.

Dengan bahan-bahan yang sudah cukup banyak terkumpul, dan penajaman dari beberapa kali rapat dengan PB IDI, tim lawyer Law Office Joni & Tanamas intensif melakukan riset hukum dan selanjutnya memetakan dalil-dalil, mendeteksi target hendak dituju para pemohon, dan meracik “obat” penawarnya. Dengan legal-constitutional and doctrinal argue sesuai ilmu hukum untuk melemahkan dan meruntuhkan dalil pengujian itu. Ringkasnya, jurus yang diambil adalah melakukan pemetaan, deteksi dan dekonstruksi terhadap dalil-dalil apapun yang dirumuskan para pemohon.

Tentu saja tak hanya merangkum dalil lawan dan argumentasi yang dipakai untuk naskah Keterangan Pihak Terkait, akan tetapi mengaplikasikannya vis a vis membantah dalil para pemohon, khususnya pada bagian posita alias fundamentum petendi. Dengan bahan yang dimiliki, sanggahan dalam Keterangan Pihak Terkait PB IDI itu disusun dengan argumentasi berstruktur, berlapis, tajam menembus lapis argumentasi pemohon. Berbeda dari perkara lainnya, judicial review menggunakan batu uji konstitusi dan konstitusionalisme, tak sebatas lapis hukum formal. Bak syair sufi Jalaluddin Rumi yang melihat debu berterbangan dengan mata, melihat angin yang menerbangkannya perlu “mata” yang lain.

Setelah menelisik norma Undang-undang yang menjadi objek pengujian materil berikut dalil-dalil yang dirumuskan para pemohon dalam positanya, dirumuskan “head to head” argumentasi membantah dalil permohonan sebagaimana uraian berikut ini:

Analisa Ringkas atas Norma Yang Diajukan Uji Materil ketentuan UU 29/2004 dan UU 20/2013, dan argumentasi mematahkan dalil pemohon.

Norma yang Diuji

Pasal 1 angka 4, angka 12, angka 13, Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 38 ayat (1) huruf c UU 29/2004.

Pokok permasalahan constitutional question perihal: status dan wewenang IDI sebagai organisasi profesi, yang hendak dikurangi dan dieliminasi dengan cara memisahkannya dengan kolegium dan perhimpunan dokter spesialis.

Argumentasi Membantah Permohonan Uji Materil

• Para pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing).

• Para pemohon tidak mempunyai kerugian konstitusional karena bukan permasalahan juridis konstitusional tetapi pelaksanaan norma UU.

• Para pemohon tidak mempunyai kerugian konstitusional karena tidak dalam kapasitas sebagia dokter dalam konteks melaksanakan praktik kedokteran, namun pada umumnya kapasitas sebagai dosen/tenaga pengajar Fakultas Kedokteran, pensiunan dosen, dokter praktek swasta, pegawai negeri sipil, konsultan kesehatan, pensiunan pegawai negeri/swasta/BUMN.

• Dalam hal sebagian Pemohon yang mengaku sebagai orangtua dari anaknya yang menjadi dokter, adalah tidak memiliki kepentingan hukum karena anak yang menjadi dokter sudah dalam usia dewasa dan cakap bertindak dalam hukum sehingga tidak beralasan hukum untuk mewakili kepentingan hukum anak-anaknya.

• Pokok permasalahan dan alasan-alasan yang diajukan pemohon bukan perihal konstitusionalias norma namun permasalahan internal IDI yang secara organisatoris mempuyai mekanisme internal sesuai Anggaran Dasar IDI termasuk Muktamar sebagai forum tertinggi. Sehingga pokok permasalahan merupakan pelaksanaan norma UU bukan permasalahan konstitusionalitas norma UU.

• Permohonan soal siapa yang berasal dari Organisasi Profesi cq. IDI mewakili unsur tenaga medis dokter kepada KKI adalah norma yang sah, dan jika dimintakan selain Ketua Umum OP, hal itu bukan permasalahan konstitusionalitas norma namun merupakan kebijakan hukum (legal policy) pembuat UU.
Selain itu, norma tersebut bukan lebih merupakan aturan teknis yang dalam pengaturan KKI sendiri karena KKI juga sebagai regulator.

• Dalam berbagai putusan MK, legal standing dan kerugian konstitusional adalah saringan pertama yang menguji formalitas permohonan.

• Keberadaan IDI yang mewadahi dokter Indonesia sebagai tenaga medis mempunyai landasan dan hak konstitusional sebagai pihak yang penting bahkan garda terdepan (gate keeper) dalam pelayanan kesehatan yang merupakan yang dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

• IDI sebagai organisasi profesi dokter mempunyai hak berserikat, berkumpul dan berpendapat yang dijamin Pasal 28E ayat (1) UUD 1945.

• IDI sebagai organisasi profesi dokter mempunyai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

• IDI sebagai wadah bagi dokter Indonesia dengan kompetensi medis yang dimilikinya mempunyai hak-hak konstitusional berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (vide Pasal 28E ayat (3) UUD 1945), hak memajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif (vide Pasal 28C ayat (2) UUD 1945), hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil (vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945).

• Organisasi profesi perlu syarat, termasuk wewenang melakukan pendidikan dan pelatihan sendiri, ada kode etik profesi, ada peradilan etika, ada wewenang terbitkan sertifikat kompetensi alias lisensi. Jadi sudah pas jika dgn UU Prakdok, IDI memiliki Kolegium Kedokteran, Majelis Kehormatan Etika Kedokteran.

• Tidak pas jika anasir itu divergen, tapi konvergensi semua anasir organisasi profesi itu, seperti halnya Kolegium Kedokteran pada IDI. MKEK pada IDI. P2KB pada IDI. Uji Kompetensi (entry exam) dan Serkom pada IDI. Betapa IDI contoh sempurna model organisasi profesi.

• Jadi keberadaan kolegium kedokteran dan perhimpunan dokter spesialis pada IDI adalah bentuk kesempurnaan organisasi profesi, karena menjaga praktik kedokteran termasuk mengawalnya dengan kolegium kedokteran dan perhimpunan dokter spesialis.

• Lagi pula, quodnon, perihal status dan kedudukan kolegium kedokteran maupun perhimpunan dokter spesialis dalam bagian IDI merupakan regulasi internal dalam statuta IDI dan dibahas dalam Muktamar IDI, sehingga terlalu naif membawanya sebagai permasalahan konstitusionalitas norma.

Norma yang Diuji

Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat (2), ayat (3) dan Pasal 39 ayat (2) UU 20/2013.

Pokok permasalahan constitutional question perihal: IDI melakukan Uji Kompetensi dan menerbitkan Sertifikat Kompetensi.

Argumentasi Membantah Permohonan Uji Materil

• Para Pemohon dalam positanya telah gagal memahami maksud UU Prakdok yang mendudukkan posisi IDI sebagai organisasi profesi dokter dalam menjalankan kompetensi dan profesinya sebagai tenaga medis, bukan wadah alumni Fakultas Kedokteran semata yang mendapatkan gelar dokter.

• Sebab, dalam hal lulus sebagai dokter merupakan proses pendidikan kedokteran dengan mengikuti ujian tertentu untuk lulus/keluar dari lembaga pendidikan kedokteran yang disebut dengan Exit Exam, sedangkan ujian dalam memasuki profesi dokter untuk memperoleh Sertifikat Kompetensi sebagai syarat memperoleh Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP), karena itu dilakukan Uji Kompetensi yang disebut sebagai Entry Exam.

• Dalam hal ini Para Pemohon gagal memahami dan mencampuradukkan antara Exit Exam dengan Entry Exam.

• Para Pemohon keliru dan tidak utuh memahami UU Prakdok dan UU Dikdok dengan mencampuradukkan antara ijazah atau sertifikat profesi sebagai tanda lulus pendidikan kedokteran dengan Sertifikat Kompetensi sebagai tanda lulus memasuki profesi untuk syarat memohon STR kepada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).

• Para Pemohon menegasikan UU Prakdok yang mengakui, menjamin dan melindungi profesi dokter yang melakukan tindakan medis sesuai kompetensi dokter, yakni dengan menghendaki IDI tidak lagi melakukan ujian atas kemampuan/kompetensi kepada dokter lulusan Fakultas Kedokteran, sehingga pemohon menegasikan organiasi profesi dokter yang mengawal praktik kedokteran.

• Serkom dilakukan DI karena tanggungjawab mengawal profesi dokter dan membina dokter anggota IDI berada pada organisasi profesi dokter cq. IDI, bukan pada lembaga pendidikan kedokteran.

• Adanya pendapat MK bahwasanya profesi dokter merupakan profesi yang istimewa karena terikat dengan 3 norma yakni norma etika, norma disiplin dan norma hukum.

• Adanya pendapat MK yang mendudukkan dokter sebagai tenaga medis mempunyai kompetensi dan kewenangan medis yang bertindak sesuai body of knowledge, sehingga dokter sebagai tenaga medis berbeda dengan tenaga kesehatan, dan bahkan pekerja/tenaga kerja pada umumnya.

• Kua tioritis dan standar universal, organisasi profesi dokter seperti halnya IDI memiliki mandat mengawal dan menjamin standar kompetensi dokter dalam melakukan praktik kedokteran sehingga beralasan jika UU Prakdok memberikan wewenang kepada IDI melakukan uji komptensi dengan menerbitkan Sertifikat Kompetensi, melakukan pendidikan berkelanjutan bagi dokter, menjaga etika dokter dengan mekanisme tertentu, menyiapkan standar-standar dan ikut menyusun Standar Nasional Pendidikan Kedokteran.

• Dokter sebagai aktor penting dalam pelayanan kesehatan dengan standar kompetensi untuk menjaga mutu layanan dan perlindungan pasiesn seperti tujuan UU Prakdok, karena itu dengan eliminasi wewenang IDI cq dokter maka mengusik dan terganggunya hak konstitusionalitas warga negara dalam pemenuhan hak pelayanan kesehatan dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

Tabik. (Bersambung #7

Share