“CITO” dan Reaksi Pertama

TRANSINDONESIA.co | Oleh: Muhammad Joni, SH. MH.

Diracik dari Putusan Mahkamah Konstitusi RI yang fenomenal, bahwa norma Satu IDI itu  Konstitusional dan Pasti. Diulas ringan dalam buku ‘Jejak Advokasi Satu IDI – Rumah Besar Profesi Kedokteran’, satu literasi mempertahankan norma UU Praktek Kedokteran.

Buku ‘Satu IDI’ ini mengubak denyut advokasi rumah besar  profesi dokter. Juga, rekam aksi, gelut pemikiran, pun skills praktis litigasi mengawal  konstitusionalitas  Satu IDI: norma yang pasti! Yang berusaha dinarasikan lugas dan indah bagai  Aurora Borealis  –agar bedah yuridis dicerna santuy, ngotak, praktis. Tanpa kengerian alkisah bedah medis.

Penulis  melekatkan frasa “perlindungan kesehatan rakyat dengan satu standar kompetensi” pada takwil ‘Satu IDI’. Menjadi ‘Satu IDI, yang Pasti dan Pro Rakyat. Manfaat ‘Satu IDI’ itu  gayeng  juncto happiness untuk semua, bukan urusan kaum dokter dan dunia kedokteran, saja. Inilah sajian nomor 2 dari  68 tulisan Buku ‘Satu IDI’.
**
“CITO” itu diksi mujarab, yang berasal dari bahasa latin, artinya ‘segera’ (immediately). Konon, mendengar panggilan dengan pesan  “CITO”, seorang dokter bisa jadi meloncat dari kamar mandi tanpa busana.  “CITO”, begitu istilah kedokteran untuk memberi tindakan segera karena keadaan darurat. “CITO” itulah kiranya reaksi Ketua Umum PB IDI setakat mengetahui adanya sejumlah 32 dokter yang notabene anggota IDI melakukan pengujian materil UU 29/2004  dan UU 20/ 2013.

Mengetahui adanya pendaftaran permohonan uji materil UU 29/2004 dan UU 20/2013, PB IDI merespon segera mengambil keputusan lugas:  tindakan  intervensi ke MK dalam  perkara Nomor 10/PUU-XV/2017.  Tidakan-tindakan berlanjut.

Bagaikan terapeutik intensif yang aktif diberikan untuk mendokterkan afiatnya Satu IDI. Argumen utiliterian dalam literatur filsafat kedokteran menyebut itu sebagai keputusan medis untuk “kualitas kesehatan yang masuk akal”  (Hendrik R. Wulf MD, Stig Andur Pederson, Roben Rosenberg MD, ‘Filsafat Kedokteran’ 2015).

Upaya hukum itu secara teknis hukum dikenal sebagai permohonan sebagai Pihak Terkait dari pihak yang berkepentingan langsung, yang dalam hukum acara perdata disebut ‘Intervensi’. Dalam argumen hukum acara judicial review, Pihak Terkait yang berkepentingan langsung diakui setara dan diberi kesempatan layaknya pemohon ataupun Pemerintah dan DPR RI ataupun DPD RI dalam memberikan keterangan, pertanyaan kepada ahli dan/atau saksi,  mengajukan ahli dan/atau saksi, dan kesimpulan, seperti diatur  Pasal 23 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-undang.

Legal standing  dan kesempatan beracara itu yang hendak diambil PB IDI. Dengan aktif dan intensif. Memakai jasa lawyer. Manajemen advokasi dimulakan segera. Bersiaga melakukan riset hukum.  Syukurnya,  mengakses naskah soft copy permohonan maupun ringkasan pokok permohonan bisa dilayani secara online. Berkas digital  bisa diunduh dari website MK.

Untuk membantu keputusan PB IDI maju sebagai Pihak Terkait,  Prof. IOM, Ketua Umum PB IDI sudah mencadangkan  lawyer untuk membantu ikhtiar PB IDI mempertahankan konstitusionalitas norma Satu IDI.  Prof. IOM tak begitu sulit mencari lawyer atau rumit ke sani sini meminta rekomendasi.

Sebab, tak lama sebelumnya PB IDI sudah berpengalaman melakukan amaliah konstitusi: menginisiasi,  terlibat dan turun langsung berjuang dan memenangkan “ujian pertama” judicial review  UU Tenaga Kesehatan.

Menghadapi “ujian kedua” Prof. IOM  sendiri yang meminta kesediaan saya sebagai lawyer PB IDI dalam perkara judicial review UU 29/2004  dan UU 20/2013. Tak main-main, pengujian dua Undang-undang sekaligus.   Namun kali ini  legal standing PB IDI  sebagai  Pihak Terkait yang normatif menyokong posisi Pemerintah dan DPR RI mempertahankan UU 29/2004  dan UU 20/2013.

Saya merasakan derajat  keseriusan dan kesegeraan tindakan “CITO” dari perbincangan dengan Prof. IOM. Eksistensi Satu IDI diuji  konstitusionalitasnya. Bagi Prof. IOM, masuknya PB IDI tak hanya sekadar intervensi menyokong  Pemerintah dan DPR RI. Namun masuk sebagai Pihak Terkait yang bersifat  strategis-taktis sebab hal itu  sensitif menjaga hak konstitusi IDI karena judicial review itu beresiko bagi eksistensi Satu IDI.

Litigasi judicial review  ini bakalbserius dan ketat, walau PB IDI sebagai Pihak Terkait, perannya tak sekadar penyokong “lapis kedua”, sebab  Prof. Oetama mengambil misi dan posisi menjadi pihak utama, begitu catatan saya setakat mengakhiri perbincangan telpon dengan Prof. IOM.

Lazimnya, keterangan dan saksi serta ahli yang diajukan Pemerintah dan DPR membantah sengit permohonan judicial review. Walaupun demikian, Pihak Terkait PB IDI tak boleh lengah. Saya membayangkan misi Pihak Terkait PB IDI yang nantinya berperan antagonis dan vis a vis demi menegakkan disiplin Satu IDI, namun  selaku penyanggah utama yang bermartabat dalam sidang-sidang MK.

Merespon cepat  judicial review  UU 29/2004 dan UU 20/2013, Prof.IOM dan jajaran PB IDI  bersepakat bulat  berjuang total mempertahankan konstitusionalitas norma Satu IDI sebagai Organisasi Profesi. All-Out membantah alasan  pemohon bahwa  IDI adalah  serikat pekerja (trade union).

Untungnya, ketiga persoalan berikut ini: IDI sebagai Organisasi Profesi; keberadaan kolegium kedokeran; dan perhimpinan dokter spesialis dalam Satu IDI, sebenarnya bukan persoalan bagi IDI sebab sudah dinormakan dalam AD dan ART IDI. Artinya, objek permohonan sudah nihil secara materil, tanggapan PB IDI menjadi lebih mudah. Perhimpunan Dokter spesialis (PDSp) dan Perhimpunan Dokter seminat (PDSm) sejak tahun 1985 ditetapkan  sebagai bidang kelengkapan bernaung dalam IDI dalam Muktamar IDI tahun 1985 di Bandung.  Historisnya jernih, pengaturannya jelas.

Lantas untuk apa pergi ke MK mengujinya lagi?  Seperti hendak menguji warna darah adalah merah. Seperti hendak menguji alamat kantor IDI di Samratulangi 29 adalah di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Begitulah tamsil  hendak menguji dokter spesialis adalah dokter.

Tamsil menguji kolegium kedokteran adalah IDI. Untuk apa diuji lagi? Itu fakta yang diketahui umum (notoir feiten) dan tak perlu dibuktikan lagi. Untuk apa pergi ke MK menguji norma dokter spesialis adalah dokter.

Oleh karena itu sudah tak ada lagi atau hilang obyek pengujian konstitusionalitas norma perhimpunan dokter spesialis. Kelak pada bagian ujung buku ini  menerbitkan usul eksistensi  Satu IDI menjadi norma aturan tak terbatas (infinity rules) dalam AD IDI. Norma yang dirawat dari muktamar ke muktamar. Dipertahankan dari mahkamah ke mahkamah. Tabik.

(Bersambung#3)

Share