Dari Masjid Amir Hamzah TIM: Masih ada Ruang Mengukir Syair

TRANSINDONESIA.co | Setakat lewat dihadapan Taman Ismail Marzuki (TIM),  suara ebang menggema. Amba belok. Melewati instalasi seni ondel-ondel di muka TIM, yang mencolok tapi elok. Masuk. Patik menelusupkan setir,  dan empat roda. Terus dan terus jalan ke dalam, nyaris ujung.

“Dekat auditorium, pak,” kata petugas jaga berwajah ramah. Usaha amba mencari sumber suara ebang alias azan. Cop, saya dapat!  Menapak jalur  trotoar. Bergegas ke mesjid. Ondel-ondel saja yang tidak.

Untung Tuan Khatib masih tegak di mimbar, yang lain duduk.  Petuah,  khutbah dan doanya masih ada. Dari selasar tempat wudhuk, saya menengok ke kanan. Wah..,   jemaah oh jemaah meruah, shaf demi shaf mengalir datar ke pekarangan. Dengan naungan hijau dedaunan, dari pepohonan teduh yang mengeluarkan udara sejuk alam, bukan  buatan.

Hendak masuk ke tengah masjid, amba nekat tanpa gelisah, menelusupkan telapak kaki yang masih basah, kena air wudhuk bersalut berkah. Nirgelisah dan pol berkah itu definisi ke masjid.

Saya minta ijin lewat. Melangkah sambil merunduk,  dapat celah juga di shaf ke lima, Alhamdulillah bisa duduk. Pasang kuping dan aktivasi hati: khusuk. Done! Ibadah berjamaah fardhu Jumat, khatam. Ondel-ondel saja yang tidak!

**

Usai Jumatan di situ, awak sempatkan periksa sudut. Membidik beberapa ruang unik. Masjid itu dikawal kolam buatan dan bangunan menjulang, di kiri dan kanan masih berdandan. Jamak pekerja berseragam kerja biru tua berlogo BUMN yang tadi menjadi jamaah, mengambil leha dan rehat. Fakta-fakta yang nyata, Notoir Feiten.

Bangunan padat dan hamparan kolam yang belum usai didandani itu, pun sudah mampu memolekkan sudut pemandangan. Dan, sebuah instalasi pikiran bangga.

Masjid –yang dibesarkan, dipatutkan, direposisi terbatas dari depan kawasan TIM lama– dikawal pohon besar-besar. Ada Angsana (Pterooarpus Indicus) hasil relokasi, batangnya besar. Sebesar lingkar ondel-ondel tegak di muka TIM, bagaikan  gaba-gaba.

Dahan, ranting dan dedaunan Angsana itu, baru!  Angsana alias Sonokembang –pohon penghasil kayu berkualitas tinggi dari suku Fabaceae– itu  bernasib baik. Lepas dari serangan zaman edan bernama ‘Ecoside’, karena dipertahankan pemimpin ibukota yang berkualitas dalam hal Pro Lingkungan dan Pro Persatuan.

“Pohon ini merupakan hasil dari pemindahan pada area depan Taman Ismail Marzuki, tanggal 4 Februari 2020”, begitu tulisan di prasasti.

Juga, fasat masjid itu dikelilingi kolaborasi ikan-ikan,  yang riang berenang di kolam. Di tapal batas lain, ada kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan auditorium yang kece, segede kho ha.

Itulah kolaborasi properti ciamik-molek perkakas publik kawasan TIM, yang ditata ulang otoritas kota. Harga bangunannya pasti mahal, namun dibiayai APBD Pemerintah Provinsi  DKI Jakarta, kawasan berkesenian-feat-budaya  ini dikelola JAKPRO (Perseroda).

Sengaja sholat fardhu Jumat di situ, ingatan saya sontak melompat ke negeri seberang. Melesat per sekian masa, seperti melajunya doa.

Sepadat apapun jalan dan pengapnya ruang, doa ialah perkakas utama setara asa, yang masih bisa leluasa dibaca-bacakan. Tanpa hambatan. Ada ruang dalam cahaya.

Doa dilantunkan, dari negeri Jakarta kepada Indonesia Jaya. Yang dibacakan dan dijulangkan dari masjid –yang hasil renovasi. Masjid yang bahkan dibikin semuanya baru. Hanya lahan dan nama mesjid saja yang tak baru.

Apa nama masjid berarsitektur urban, boxy,  unik karena bermenara tunggal motif pena, yang menujah ke tapak/ompak? Yang bagaikan pena ke wadah “kotak” botol dawat.

Titel masjid itu diambil dan ditabalkan dari nama seseorang berwajah syair. Dia ialah:  pahlawan nasional. Pejuang kebangsaan, yang meng-“ebang”-kan  sumpah pemuda menjadi Indonesia. Walau dia masih zuriyat bangsawan, aristokrat Kesulthanan Langkat. Bergelar Tengku.

Dia  tokoh penyair pujangga baru asal  negeri Melayu Langkat. Dia yang biografinya dituliskan Nh.Dini dengan label  sang ‘Pangeran dari Seberang’, dan dia yang pernah hakim dan ketua mahkamah di negeri asalnya: Tanjungpura, Langkat. Sebelum Proklamasi Indonesia.

Dialah Tengku Amir Hamzah. Penyair-cum-hakim yang berwajah santun. Pun demikian putusan-putusan hukumnya yang bercorak Restorative Justice (RJ) itu,  santun kepada keadilan. Kini, RJ diadaptasi ke UU Sistem Peradilan Anak.

**

Indonesia patut  bersyukur dan salut pada pak Gubernur Anies Baswedan, yang masih tabah menjamin eksisnya tempat dan ruang ibadah juncto doa: Masjid Amir Hamzah.

Salut juga untuk tetap tabah menggunakan nama masjid Amir Hamzah. Kiranya itu sebagai imbal jasa baik kepada sosok Tengku Bungsu (Kubusu), yang dilekatkan pada sebuah masjid, di lingkar utama ibukota negara.

Hanya bernama Masjid Amir Hamzah, saja. Bukan Masjid Tengku Amir Hamzah. Dia lebih suka menuliskan namanya begitu. Tak pakai gelar Tengku.

Dia yang menulis namanya sendiri dengan Amir Hamzah saja (Sagimun, 1993: 33), tak memuja status. Demikian pun dalam pergaulan, dia tidak menunjukkan titel kebangsawanan. Dalam percakapan sehari-hari, misalnya, dia tidak menggunakan aku. Ya.., alih-alih dia merendah dengan menggunakan kita atau malah amba (hamba) (Yaafar, 1995: 51).

Hemat amba, semangat Amir Hamzah ialah Pro Persatuan, bukan pembedaan. Dia santun, bukan sosok sang  perampang. Mungkin itu, alasan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan,  terkesan, dan mempertahankan nama masjid itu: Masjid Amir Hamzah.

**

Seperti syair Amir Hamzah, masjid itu tetap hidup, dikenang,  dan diramaikan dengan program. Lepas dari cengkeraman zaman. Yang  tak bergeser dari gusuran zaman edan. Masjid dari nama penyair Pujangga Baru yang dibangun ulang itu bukti Jakarta membangun berbasis gagasan, narasi, juga tak rabun sejarah. Elan juang kebangsaan ala Amir Hamzah pun dihidupkan-hidupkan ulang. Anak-anak sekolah, seniman, dan orang dewasa tampak meramaikan masjid. Saat saya ke sana, santunan anak yatim sedang digelar, sembari membacakan shalawatan.

Seperti wajah ibukota, kini;  masjid Amir Hamzah dan TIM malah makin bugar, sehat dan afiat. Tak seperti kisah Amir Hamzah yang berakhir tragis, hasil kebiadaban si perusak zaman. Masjid ini jangan dirubuhkan. Ayo hidup-hidupkan suara ebang, adabkan  zaman. Dengan nama yang  kuat dalam Gagasan, Narasi, dan Karya.

Awak ada berada di sana, bukan ibarat pepatah: ‘kalau tidak ada berada, tidak tempua bersarang rendah’. Bukan ada maunya si burung tempua, atau manyar-manyar (Ploceus) yang biasanya tinggi sarangnya.  Awak hanya betah memuaskan hasrat eksplorasi TIM baru, yang wah. Sungguh!

TIM baru itu, kalau ibarat bahasa, adalah puisi. Begitulah apresiasi amba kepada TIM, seperti Amir Hamzah mempuisikan Batavia dulu, dengan puisi bertitel ‘Jayakarta’. Pun, begitu TIM mempuisikan Amir Hamzah dengan masjid barunya.

Setelah helat Satu Abad Chairil Anwar diundang jurnalis-cum-novelis Er Mulia Nas, ini kali kedua amba mendatangi TIM baru, lagi. Patik fardhu Jumat, berdoa, berhibur diri,  dan healing tipis-tipis di sana. Soor kali ah!  Sampai lupa waktu harus balik kantor, walau dekat saja, bisa langsung cuss, hanya 7 menit saja berkendara ke Gondangdia.

Untung my “&” Ina Aie Tanamas  telepon, sigap mengingatkan harus makan siang dan jadwal rapat. Telpon yang terlalu penting untuk diabaikan. Amba bukan ondel-ondel di muka TIM.

Yth. Pak Anies Baswedan.

Kiranya bagus jika ditorehkan sebait dua bait syair Kubusu,  itu panggilan sayang-akrab  keluarga untuk tokoh bangsa: Amir Hamzah.

Masih ada ruang untuk  mengukir  syair di ruang bertuah sekawasan masjid Amir Hamzah?  Amir Hamzah –pemuda yang berwajah santun–  sayang kepada Kebangsaan Indonesia dan akrab kepada Pro Persatuan. Kebangsaan dan Persatuan, mari kita akrab-akrabkan kepada netizen. Ayo kompak. Solider. Jangan tergoda adiksi  ‘Divide et Empera’ ala penjajah Belanda.

Syair menghiba kepada bunda, dan
iktibar bagi musafir Jakarta, yang dipedulikan kotanya, bisa dipilihkan.   Kota Jakarta Pusat, kini; ialah tempat Amir  Hamzah bersekolah hukum Recht Hoge School di Batavia. Sekolah hukum sejak dulu memang mempesona.

**

Bonda

“Bonda, waktu tuan melahirkan beta

Pada subuh embang cempaka

Adalah ibu menaruh sangka
Bahwa begini peminta anakda

Tuan aduhai mega berarak
Yang meliputi dewangga raya

Berhentilah tuan di atas teratak

Anak langkat musafir lata”

Puisi “Teluk Jayakarta” ialah puja puji Amir Hamzah memuisikan Jakarta,  dan sekaligus menyairkan rindu Amir kepada negeri asalnya.

Teluk Jayakarta

“Ombak memecah di tepi pantai
angin berhembus lemah lembut
puncak kelapa melambai-lambai
di ruang angkasa awan bergelut.

Burung terbang melayang-layang
serunai berseru “adikku sayang”
perikan bernyanyi berimbang-imbang
laut harungan hijau terbentang.

Asap kapal bergumpal-gumpal
melayari tasik lautan jawa
beta duduk berhati kesal
melihat perahu menuju Semudera.

Musafir tinggal di tanah Jawa
seorang diri sebatang kara
hati susah tiada terkata
tidur sekali haram cendera.

Fikiranku melayang entah ke mana
sekali ke timur sekali ke utara
mataku memandang jauh ke sana
di pertemuan air dengan angkasa.

Di hadapanku hutan umurnya muda
tempat asyik bertemu mata
tempat mas’huk melagukan cinta
tempat bibir menyatukan anggota.

Fikiran lampau datang kembali
menggoda kalbu menyusahkan hati
mengintankan untung tiada seperti
Yayi lalu membawa diri.

Ombak mengempas ke atas batu
bayu merayu menjauhkan hati
gelak gadis membawaku rindu
terkenangkan tuan ayuhai yayi.

Teja ningsun buah hatiku
lihatlah limbur mengusap gelombang
ingatlah tuan masa dahulu
adik guring di pangkuan abang?”

Muhammad Joni, SH, MH, Warga Jakarta, Advokat Joni & Tanamas Law Office, Ketua Korsorsium Nasional Perumahan Rakyat (Kornas-Pera), Deputi Advokasi Alinsan. Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis. Untuk berkorespondensi, dapat disampaikan melalui email: mhjonilaw@gmail.com.

Share