“Begja” Eling lan Waspada” dalam Rupa
TRANSINDONESIA.co | Memahami “begja” yang diajarkan Ki Ageng Suryo Mentaram sangat kompleks bahkan multi tafsir, namun sejatinya ada panduan panduan untuk memahami dan mengimplementasikannya. Begja dapat dipahami sebagai jiwa bahagia yang bukan karena terpenuhinya nafsu atau hasratnya melainkan ada kesadaran tanggung jawab dan disiplin dalam proses hidup dan kehidupannya.
Dengan demikian setiap peristiwa merupakan proses dan ada kenikmatan yang disadarainya patut untuk disyukuri. Konteks begja bisa dikaitkan dengan kesadaran yang selalu ingat dan waspada (eling lan waspada) bahwa hidup ini penuh dengan jebakan tipu daya dan candu dunia. Tatkala eling lan waspada maka sedikit demi sedikit terus menggerus hingga menghilangkan sifat dan sikap jumawa.
Kejumawaan tanda marasuknya setan untuk membawanya hanyut ke dalam dosa. Jumawa adalah sifat dan sikap setan. Kejumawaan muncul akibat merasa semua bisa dikuasai, mampu dikendalikan, apa saja dengan uang atau materi bisa dibeli, di sana sini penuh puja puji, semua orang tunduk takluk dan takut akan kuasa dan kekayaannya. Itu semua meracuni dan mencandui jiwa untuk jumaya dan terseret dalam berbagai penyimpangan, penyesatan dan ketidak adilan, ketidakbenaran hingga menabur kebencian. Walaupun segala urusan dunia ada namun hati dan jiwanya jauh bahkan tidak pernah bahagia.
Senantiasa sarat dengan kekawatiran, ketakutan hingga keserakahan. Tidak ada rasa puas, tidak ada rasa syukur yang ada hanyalah kurang ini kurang itu, menyalah nyalahkan dan terus saja menuntut bahkan tak jarang menghakimi.
Ki Ageng Suryomentaram memgingatkan dan mengajarkan ” ilmu begja ” dalam gaya hidup sederhana. Sifat yang diikuti sikap untuk semeleh ( tenang damai dan penuh rasa syukur). Menikmati hidup dan kehidupan dengan penuh rasa syukur. Hidup bahagia ditemukan dalam proses. Bisa saja dalam kondisi kekurangan, kelemaham, kemiskinan, kesakitan, ketidakberdayaan hingga kematian, namun jiwanya bahagia. Ilmu begja ditemukan Ki Ageng Suryomentaram dalam proses panjang yang boleh dikatakan ekstrim dalam jonteks strata sosialnya.
Kejujuran, kebenaran dan keadilan seringkali menyakitkan. Bener dianggep ora pener. Bener yen ora umum iku salah semono ugo salah yen wes umum dianggep bener. Jujur benar dan adil bisa saja menyakitkan dan menimbulkan penderitaan bahkan kematian, karena dianggap duri dalam daging. Kejumawaan pintu kejahatan. Bisa saja demikian kaum mapan yang nyaman dan menikmati berbagai hak istimewa akan tersengat atau terusik dengan kejujuran kebenaran dan keadilan.
Lihat saja kisah Mahabarata, di mana kaum Kurawa yang dipimpin Duryudana penuh ketamakan, kejumawaan, melakukan bernagai tipu daya untuk memenuhi napsunya. Sebaliknya Pandawa yang dipimpin kakak tertuanya Yudistira senantiasa menerapkan sifat dan sikap ksatria, yang berbudi luhur, jujur berjalan di jalan yang baik dan benar dan bersikap adil.
Begja tatkala berbasis kesadaran maka apa yang nampak adalah panggilan jiwa, ketulushatiannya bukan kepura puraan bukan pamrih. Begja bahagia sejati yang bisa di miliki siapa saja, bagi kaum miskin papa sekalipun bisa. Siapa saja yang bertahan dan mampu serta kuat dalam prosesnya maka begja akan mengakar dalam jiwanya.
Joko Kisworo dalam karya rupa berupaya berbagi proses pencarian ilmu begja melalui garis dan warna yang sarat makna. Apa yang ia torehkan, taburkan, gariskan dalam lukisan lukisan yang bercorak abstrak menunjukkan gejolak, bahkan kegelisahannya menemukan “begja”. Sekitar 16.000 karya rupa dalam media kecil ditata sedemikian rupa sehingga membentuk berbagai rupa yang diakuinya sebagai katarsis menemukan begja. Karya rupa yang berukuran besar dengan warna kuat, berat dan matang menunjukkan kegigihannya menghayati hidup yang penuh misteri. Joko Kisworo sadar bahwa begja bukan sekedar ikut ikutan dan tidak konsisten melainkan sebaliknya terus sadar dan konsisten mencari entah kapan ketemunya. Joko Kisworo sendiri menyadari bahwa apa yang ia lakukan bukan hal yang umum dilakukan orang kebanyakan atau para seniman. Namun ia terus menghayati menekuni melalui seni yang dicintai digeluti dan dibanggakannya.
Pameran di Galeri Nasional menjadi mimpinya yang diperjuangkan lebih dari 10 tahun. Ia merasakan ditolak melihat pameran di Galeri nasional karena tidak diundang. Ia nongkrong di jembatan penyeberangan sambil merenung dan berjuang untuk dapat berpameran tunggal di Galeri Nasional. Baru tanggal 22 Juli 2022 dapat diwujudkan. Begja memang indah pada waktunya. Joko Kisworo tekun dengan panggilannya sebagai pelukis. Ia terus konsisten dan mengimplementasikannya melalui karya karyanya. Tak hanya itu ia juga menjalani hidup dengan legowo, semeleh dan jiwa bahagia walau banyak suka dukanya. Kepedulian dan perhatiannya kepada kaum bipolar dan kaum termarjinalkan. Ia ringan tangan membantu, tanpa banyak mengeluh dan juga berkomunikasi dengan baik.
Semua itu merefleksikan hidup dalam jiwa begja. Pameran tunggal Joko Kisworo di Galeri Nasional disiapkan demgan matang. Ia sangat serius dan bersungguh sungguh walau ia juga mengalami banyak tantangan hambatan kekurangan, namun itulah ” begja”. Proses tidak menghianati hasil. Tidak ada yang sia sia dalam proses menemukan begja dan semua akan indah pada waktunya. Semoga. Chrysnanda Dwilaksana
Tengah malam Tegal Parang 200722