Covid-19 dan Kemiskinan Perlebar Kesenjangan Pendidikan di Uganda

TRANSINDONESIA.co | Sekolah-sekolah di Uganda sudah dibuka kembali bulan lalu setelah tutup dua tahun sejak pandemi virus corona merebak. Sebagian besar siswa telah kembali masuk, tetapi ada juga yang tinggal di rumah karena terkendala ekonomi. Mereka mencari tambahan penghasilan untuk membantu keluarga.

Rania Kyomuhangi yang masih berusia 15 tahun adalah satu dari enam anak dalam keluarganya. Ia tidak bisa kembali ke sekolah.

Ketika sekolah ditutup pada awal Maret 2020 bagi lebih dari 15 juta siswa, Rania baru saja masuk SMA. Ia bercita-cita menjadi dokter.

“Saya sedih melihat teman-teman saya, tetangga saya, mereka menelepon kami, memberitahu bahwa mereka akan kembali masuk sekolah. Mereka bertanya, kapan kami akan kembali ke sekolah, dan saya tidak tahu harus menjawab apa,” katanya.

Uganda telah membuka kembali sekolah pada 10 Januari setelah dua tahun ditutup karena pandemi virus corona. Pemerintah menggalakkan kampanye sebulan penuh untuk memastikan semua anak kembali ke sekolah. Menteri Pendidikan telah mengeluarkan pedoman bagi sekolah untuk tidak menaikkan biaya sekolah bagi siswa yang kembali masuk sekolah.

Menteri Pendidikan Joyce Moruku Kaducu mengatakan bagi mereka yang tidak mampu membayar uang sekolah, mereka harus mencari alternatif untuk memastikan anak-anak mereka bisa melanjutkan pendidikan.

“Sebagian orang tua mungkin tidak mempunyai uang, tetapi mereka mungkin mempunyai makanan. Di sekolah-sekolah di pedesaan, mereka mungkin memiliki singkong, mereka mungkin memiliki jagung, dan juga kacang. Itu juga salah satu solusi sehingga sekolah bisa mengatakan, ok, kamu tidak memiliki uang, tapi apakah kamu bisa membawa beberapa bahan pangan yang bisa kami jadikan uang?” ujarnya

Oliva Naiga adalah seorang mantan guru dan ibu Rania. Ia menghibur keenam anaknya dengan sesi pembacaan Alkitab. Oliva di-PHK. Karena tidak ada sekolah yang merekrutnya, dia tidak mampu mengirim keenam anaknya kembali ke sekolah. Saran menteri pendidikan tidak bisa dia lakukan.

“Kami meminta Rania agar diterima kembali supaya dia bisa melanjutkan sekolah. Kami berjanji akan membayar uang sekolah dengan mencicil. Mereka tidak bisa menerima. Dan saya melihat anak perempuan saya tumbuh besar. Tidak mudah tinggal bersama anak perempuan yang tumbuh kembang selama dua tahun hanya di dalam rumah,” katanya.

Badan PBB untuk Dana Anak-Anak (UNICEF) Uganda mengatakan selama sekolah ditutup, 15 juta siswa Uganda secara keseluruhan kehilangan 2.9 miliar jam pelajaran per bulan.

Banyak dari anak-anak itu mulai bekerja ketika sekolah ditutup. Munir Safieldin, perwakilan UNICEF Uganda, mengatakan keluarga mereka tidak mau begitu saja kehilangan pemasukan.

“Dan untuk memfasilitasi persiapan kembali ke sekolah, kita harus memperhitungkan sejumlah sistem pendukung, program pendukung. Saya juga mengerti, ada imbal balik. Sistem-sistem pendukung ini seperti sistem perlindungan sosial di mana keluarga yang tidak mampu harus dibantu,” kata Safiedin.

Sayangnya, Munir mencatat bahwa program-program ini membutuhkan banyak biaya dari pemerintah, yang merupakan tantangan tersendiri bagi negara seperti Uganda. [ew/ka]

Sumber: Voaindonesia

Share
Leave a comment