Jepang, Australia Bergabung dengan AS Kenai Rusia Sanksi Terkait Ukraina
TRANSINDONESIA.co | Jepang dan Australia mengumumkan sanksi-sanksi terhadap Rusia pada Rabu (23/2), bergabung dengan AS, Uni Eropa, Kanada, Inggris dan Jerman dalam memberlakukan langkah-langkah tanggapan terhadap tindakan Rusia di negara tetangganya, Ukraina.
“Australia selalu menentang pengganggu, dan kami akan melawan Rusia, bersama-sama dengan seluruh mitra kami,” kata PM Australia Scott Morrison kepada wartawan. “Saya memperkirakan ada sanksi-sanksi berikutnya, ini barulah awal dari proses ini.”
Sanksi-sanksi Australia menarget para anggota dewan keamanan Rusia. Sementara itu Jepang menetapkan pembekuan aset bagi individu Rusia tertentu dan melarang penerbitan obligasi Rusia di Jepang.
Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba mendesak segera diberlakukannya lebih banyak lagi sanksi untuk menghentikan “agresi lebih lanjut” dari Presiden Rusia Vladimir Putin.
“Langkah-langkah tegas pertama diambil kemarin, dan kami berterima kasih untuk itu,” cuitnya pada hari Rabu (23/2). “Sekarang tekanan perlu ditingkatkan untuk menghentikan Putin. Hantam ekonomi dia dan kroni-kroninya. Hantam keras. Hantam sekarang.”
Militer Ukraina pada Rabu (23/2) menyatakan penembakan oleh separatis pro-Rusia di Luhansk menewaskan seorang tentara Ukraina dan mencederai enam lainnya.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy menandatangani perintah untuk merekrut sejumlah tentara cadangan militer. Ia mengemukakan itu dalam pidato melalui video Selasa malam, seraya menyebut tentang perlunya segera menambah anggota militer negara itu. “Ukraina adalah negara yang damai, kami ingin diam, tetapi jika kami tetap bungkam hari ini, kami akan lenyap besok,” katanya.
Putin, yang mengerahkan 150 ribu tentara di perbatasan Ukraina dan pengakuannya terhadap daerah-daerah yang dikuasai pemberontak di Ukraina Timur sebagai wilayah merdeka dan perintahnya untuk mengirim pasukan Rusia ke sana memicu kecaman luas, hari Rabu menyatakan ia selalu terbuka dalam menemukan solusi diplomatik. Tetapi ia mengatakan, “bagi kami kepentingan Rusia dan keamanan warga negara kami tidak dapat dinegosiasikan.”
Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov dan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dijadwalkan mengadakan pembicaraan pekan ini mengenai krisis itu dan menyiapkan landasan bagi pertemuan puncak antara Putin dan Presiden AS Joe Biden. Tindakan Putin menggagalkan upaya tersebut, dengan Blinken mengatakan pada hari Selasa bahwa Rusia “telah memperjelas penolakannya terhadap diplomasi.”
Biden menutup pemerintah Rusia dari pendanaan internasional pada hari Selasa dan menjatuhkan sanksi-sanksi terhadap dua bank besar, seraya menetapkan bahwa tindakan Rusia di Ukraina merupakan “pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional.”
Dalam pidato singkat di Gedung Putih, Biden mengatakan perintah Presiden Rusia Vladimir Putin pada Senin (21/2) larut malam untuk mengirimkan pasukan melintasi perbatasan timur Ukraina ke wilayah Luhansk dan Donetsk merupakan “awal invasi Rusia ke Ukraina.” Beberapa jam sebelumnya, Putin menyatakan kedua wilayah itu sebagai wilayah independen, bukan lagi bagian dari Ukraina.
Biden dengan tajam bertanya, “Demi Tuhan, siapa yang menurut Putin memberinya hak untuk mendeklarasikan apa yang disebut negara baru di wilayah milik negara tetangganya?”
Pernyataan mengutuk datang dari banyak sekutu lain AS dan berbagai lembaga multilateral. Di antaranya dari Sekjen PBB António Guterres, yang Selasa mengatakan, “Biar saya perjelas: Keputusan Federasi Rusia untuk mengakui apa yang disebut ‘kemerdekaan’ di beberapa wilayah di kawasan Donetsk dan Luhansk merupakan pelanggaran terhadap integritas teritorial dan kedaulatan Ukraina.”
Biden juga memerintahkan pengerahan pasukan infanteri dan dukungan udara dari tempat lain di Eropa yang dekat dengan perbatasan Rusia, sementara kawasan itu bersiap menghadapi kemungkinan konfrontasi.
Biden mengatakan pasukan tambahan AS dikirimkan ke Baltik untuk “mengirim pesan yang tak diragukan bahwa AS, bersama dengan sekutu-sekutu kami, akan mempertahankan setiap inci wilayah NATO.”
Pengerahan terbaru ini mencakup satu batalion terdiri dari 800 lebih tentara dari Italia ke kawasan Baltik, delapan jet tempur F-35 dan 20 helikopter serbu Apache dari Jerman ke Baltik, serta 12 Apache dari Yunani ke Polandia. Kanada juga mengumumkan pengiriman 460 tentara ke Latvia untuk memperkuat pertahanan NATO.
Tetapi Biden menekankan, “Semua itu benar-benar langkah defensif di pihak kami. Kami tidak berniat memerangi Rusia.” Ia menambahkan, “Tak satupun dari kami yang dapat dikecoh, tak seorang pun dari kami akan terkecoh” oleh niat Putin mengerahkan apa yang ia sebut sebagai “pasukan penjaga perdamaian” ke bekas republik Soviet itu.
Untuk sekarang ini, pemerintah AS menyatakan senjata terkuatnya adalah sanksi-sanksi yang ditujukan pada pemain berpengaruh di Rusia. Biden mengatakan sanksi-sanksinya akan memutus pemerintah Rusia “dari mengumpulkan uang dari Barat,” dan bertekad bahwa Rusia “akan membayar harga yang lebih tinggi (dengan lebih banyak sanksi) jika pasukannya maju lebih jauh” ke barat memasuki Ukraina.
Sanksi-sanksi yang diumumkan pada Selasa (22/2) menarget tiga orang dalam lingkaran dalam Putin: Aleksandr Bortnikov, kepala Dinas Keamanan Federal; Sergei Kiriyenko, pejabat tinggi di kantor Putin, dan Peter Fradkov, CEO Promsvyazbank.
Seorang pejabat pemerintah mengatakan kepada wartawan bahwa sanksi-sanksi itu menarget dua bank yang terkait erat dengan pemimpin Rusia. Satu di antaranya, Vnesheconombank, memiliki aset lebih dari 50 miliar dolar. [uh/ab]
Sumber: Voaindonesia