Respon Runtuhnya Khilafah Ottoman, Dari Kongres Umat Islam Hingga Lahirnya Nahdlatul Ulama

TRANSINDONESIA.co | Meletusnya Perang Dunia I dan II pada kurun waktu 1914-1945 ditengarai menjadi salah satu sebab masa-masa terakhir kejayaan umat Islam dalam bingkai sistem imperium besar bernama ‘khilafah’.

Kekhalifahan Utsmani (Ottoman) yang lahir dari bangsa non-Arab menjadi kekhalifahan Islam terakhir. Philip K Hitti dalam History of the Arabs (2008) menyebut dinasti yang lahir sejak 1517 ini resmi berakhir pada tahun 1924.

Selain diakibatkan berbagai faktor luaran, jatuhnya Kekhalifahan Ustmani juga ditopang oleh tumbuhnya paham negara bangsa (nation state) di berbagai wilayah kekuasaannya. Keadaan ini diperburuk dengan psikologis umat Islam yang saling bertikai satu sama lain karena perbedaan mazhab.

Respon Muhammadiyah dan Umat Islam di Indonesia

Situasi pergerakan yang membuat umat muslim Indonesia memperjuangkan terwujudnya konsep negara bangsa, nyatanya tidak memudarkan perhatian mereka terhadap Kekhilafahan Ustmani.

Salah satu wujud perhatian itu adalah lewat digelarnya permusyawaratan bernama Kongres Umat Islam yang muncul dengan penggagasnya H.O.S Tjokroaminoto dan ulama Muhammadiyah, Agus Salim.

Kongres Umat Islam menghimpun para ulama di Nusantara untuk menemukan solusi keumatan terbaik. Terhitung dalam kurun waktu antara 1921 hingga 1941, kongres tahunan Umat Islam telah dilakukan sebanyak 12 kali di berbagai tempat dari Cirebon, Garut, Surabaya hingga puncaknya di Yogyakarta pada November 1945.

Artawijaya dalam Belajar dari Partai Masjumi (2014) menulis tujuan diadakannya Kongres ini adalah untuk menyikapi kondisi umat Islam di dunia, terutama pasca runtuhnya Khilafah Ustmaniyah di Turki sekaligus menyikap situasi dalam negeri Indonesia yang pada masa itu banyak terjadi pelecehan terhadap Islam dan pemeluknya, terutama dari kelompok sekular dan zending.

Sementara itu buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur (1978) mencatat bahwa tujuan diadakannya Kongres Umat Islam adalah untuk menggalang persatuan umat, mengurangi perselisihan furu’iyyah dengan semangat pan Islamisme untuk hubungan internasional.

Kongres Umat Islam juga bertujuan untuk menegaskan pentingnya persatuan kaum muslimin dan pentingnya bekerjasama untuk menyelesaikan masalah khilafah yang saat itu menjadi problem bagi dunia Islam.

Kongres Umat Islam Gagal Menyatukan Umat

Menyambut gagasan Tjokroaminoto, pendiri Muhammadiyah Kiai Ahmad Dahlan hadir dalam Kongres Umat Islam pertama di Cirebon pada 1921. Kongres ini kemudian dilanjutkan di Garut pada tahun 1922 di bawah pimpinan Agus Salim dan Pengurus Besar Muhammadiyah.

Meskipun bertujuan mulia, namun Kongres Umat Islam dianggap gagal menyatukan umat. Alih-alih mempererat persatuan, kongres ini justru memisahkan antara penganut Islam tradisionalis dengan penganut Islam modern ala Tjokroaminoto, tokoh Sarekat Islam (SI) sang penggagas Kongres. (afn)

Jurnal Kajian Keislaman Al-Ashriyyah Volume 1 Oktober 2015 menulis forum Kongres ini memojokkan kelompok Islam tradisionalis. Sementara itu di kalangan kelompok Islam modern antara SI dan Muhammadiyah juga terdapat persilangan pendapat.

Lahirnya Nahdlatul Ulama

Meskipun kerap merasa dipojokkan, para ulama dari kelompok Islam tradisional selalu menghadiri Kongres Umat Islam. Puncaknya adalah ketika para Ulama Al-Azhar Kairo, Mesir menggelar Kongres Muktamar Dunia untuk merespon kejatuhan Khilafah Ustmani pada 3 Maret 1924.

Menanggapi undangan Al-Azhar, umat muslim kembalig menggelar Kongres Al Islam luar biasa di Surabaya pada 24-26 desember 1924. Dihadiri oleh 1000 kaum muslimin, Kongres Umat Islam ini melahirkan berdirinya Centraal Comite Chilafat (CCC) yang digagas sebagai delegasi umat Islam Indonesia.

Centraal Comite Chilafat atau CCC sendiri adalah komite yang beranggotakan puluhan muslim dari berbagai latar belakang. Di dalamnya ada Tjokroaminoto dari Central Sarekat Islam, Syekh Ahmad Surkati dari Al-Irsyad, Haji Fachrodin dari PP Muhammadiyah, dan Suryopranoto dari PSI. Meskipun pada akhirnya Muktamar Khalifah di Kairo batal digelar.

Belum usai fokus umat Islam terhadap kejatuhan Khilafah selesai, kaum muslimin kembali dikejutkan dengan penguasaan Ibn Sa’ud yang berhasil menaklukkan Hijaz dan menyatukan semenanjung Arab.

Kesempatan Kongres Al-Islam keempat pada 21-27 Agustus 1925 di Yogyakarta, dimanfaatkan oleh tokoh Islam tradisional, Kiai Wahab Chasbullah untuk merespon penaklukan itu dengan mengusulkan delegasi CCC di kemudian hari mendesak Raja Ibnu Sa’ud untuk melindungi kebebasan bermadzhab.

Undangan Ibn Sa’ud kepada kaum muslimin Indonesia untuk hadir dalam Kongres Muktamar Dunia di Makkah pada 1 Juni 1926 membuat kaum muslimin kembali menggelar Kongres Umat Islam ketujuh di Surabaya pada tahun 1926 yang memutuskan Tjokroaminoto dan ulama Muhammadiyah, Kiai Mas Mansyur sebagai perwakilan delegasi ke Makkah.

Untuk keperluan ini, CCC sebagai badan delegasi diubah namanya menjadi Muktamar Alam Islamy Far’ul Hindis Sjarqiyah (MAIHS). Berbeda dengan MAIHS, kelompok muslim tradisional yang merasa aspirasinya kurang diperhatikan sejak awal dan kurang mendapatkan tempat di Kongres Umat Islam akhirnya membuat mereka membentuk utusan sendiri bernama Komite Hidjaz.

Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur (1978) mencatat Komite Hidjaz dengan tokoh utama Kiai Hasyim Asy’ari dari Tebuireng, Kiai Bisri dari Denanyar, dan lain-lain membuat dua keputusan penting.

Keputusan itu adalah mengirimkan delegasi yang memperjuangkan kebebasan hukum ibadah berdasarkan empat mazhab. Keputusan lainnya adalah membentuk suatu organisasi atau jam’iyah pengirim utusan itu yang kelak oleh Kiai Alwi Abdul Aziz dinamakan sebagai Djam’iyah Nahdhatul Ulama pada tangga 31 Januari 1926 di Surabaya.

Pada akhirnya kejatuhan Khalifah Ustmani tidak membawa dampak besar bagi umat muslim Indonesia. Sementara itu misi Komite Hidjaz atau Nahdlatul ulama untuk mencegah Pemerintah Wahabi merusak kuburan Nabi terbilang cukup berhasil. Lewat surat No.2082 tanggal 13 juni 1928 kepada pengurus besar NU, pemerintah Wahabi menjamin kebebasan umat Islam untuk beribadah sesuai mazhabnya masing-masing.

Sumber: Muhammadiyah.or.id

Share
Leave a comment