Tingkat Pembunuhan di AS Naik Hampir 30 Persen selama Pandemi
TRANSINDONESIA.co | Jumlah pembunuhan di Amerika naik hampir 30% dalam tahun pertama pandemi COVID-19, fenomena yang tampak di kota dan daerah pedesaan, baik di negara-negara bagian yang condong ke Partai Republik maupun Demokrat.
Proliferasi senjata, tekanan pandemi dan kurangnya kepercayaan publik pada polisi berkontribusi pada naiknya pembunuhan secara nasional, menurut Justin Nix, profesor kriminologi dan peradilan pidana di University of Nebraska Omaha.
“Kami memiliki bukti bahwa penggunaan senjata di ruang publik (tempat-tempat umum) meningkat. Kita tahu bahwa pandemi, dengan segala tekanan dan ketidakpastian serta kecemasan ekonomi yang ditimbulkannya, kemungkinan besar berperan,” kata Nix.
Selain itu, masyarakat mungkin lebih kecil kemungkinannya untuk menelepon polisi untuk melaporkan kejahatan, karena takut tindakan mereka malah lebih membahayakan daripada menimbulkan kebaikan.
Psikolog klinis Dr. Maria Espinola, yang telah bekerja di penjara dan pusat remaja dan akrab dengan orang-orang yang memiliki kecenderungan kekerasan, mengatakan orang-orang tertentu bisa menjadi lebih agresif ketika sedang stres.
Pemeriksaan latar belakang oleh Biro Investigasi Federal (FBI) menunjukkan bahwa penjualan senjata meningkat sejak pandemi dimulai pada awal 2020. Biro itu melakukan pemeriksaan latar belakang senjata api terbanyak — 1.218.002 — dalam satu minggu pada Maret 2021. Itu jumlah tertinggi sejak pemerintah federal mulai melacak penjualan senjata pada 1998. Malahan, sembilan minggu tertinggi yang pernah ada untuk pemeriksaan latar belakang senjata semuanya terjadi pada 2020 dan 2021, selama pandemi.
Solusi untuk kekerasan senjata tidak mudah didapat di negara yang terpolarisasi oleh perdebatan apakah akan membatasi penjualan senjata api atau tidak. Namun, 19 negara bagian telah menyetujui sebuah undang-undang federal tentang pengendalian senjata “Extreme Risk Protection Orders” (ERPO).
Undang-undang ERPO memungkinkan polisi atau anggota keluarga mengajukan petisi ke pengadilan untuk sementara menarik senjata api dari seseorang yang sedang mengalami krisis (mental) dan menimbulkan risiko membahayakan diri sendiri atau orang lain. Selama ada ERPO, orang tersebut juga dilarang membeli senjata api. [ka/pp]
Sumber: Voaindonesia