Nasrudin Bukan Hamba Sup

TRANSINDONESOA.co | Ini cerita Sabtu siang, 22-01-2022. Kami hinggap menyeruput  hawa sejuk dari sisi utara danau a.k.a. Setu Babakan (250 hektar) –danau buatan yang berudara terbuka. Setu Babakan 2,5 kali lebih kecil dari danau/ tasik Putrajaya (650 hektar), sang ibukota baru Malaysia –yang asri tapi cenderung lengang.

Hanya pengayaan tipos-tipis, ini bukan iklan gratis. Mendainya Cruise Tasik Putrajaya bisa diterai melalui Marina Putrajaya, Sdn. yang tak jauh dari kompleks Pemerintahan Pusat Malaysia.

Walau bukan OpenSea, Setu Babakan di perkampungan Betawi itu membawa cuan. Dari danau Babakan lengang yang airnya hijau pucat itu, tampak gagah puncuk atap bangunan Balairung UI Depok.

Santuy di Setu Babakan dan mengenakan kemeja bercorak Hawaian, saya tak memesan sup Betawian. Dari rak buku-buku lama ‘Kedai Bang Vian’,  beta terbahak  tatkala meraih buku unik ‘Sang Mullah’ yang berisi 90 artikel penuh pesan-pesan perjuangan ala folklor Asia Tengah. Di Boxoro saya makan sup sapi feat roti ala raja-raja yang enak. Bola mata saya membetot artikel ke 26 ‘Sang Mullah’. Judulnya:  ‘Enakkah Supnya?’

Begini ceritanya.

NASRUDDIN diundang jamuan makan malam di istana. Ia mendapat kehormatan untuk duduk di dekat sang raja.

Para pelayan pun sibuk mengeluarkan bermacam-macam hidangan.

Hidangan pertama adalah sup daging yang aromanya enak dan asapnya mengepul.

Raja mencicipi sup itu sesendok, lalu ekspresi wajahnya berubah. Ia meletakkan sendok, dan menoleh pada Nasruddin untuk bertanya.

“Enahkah supnya?”.

“Ya,” jawab Nasruddin, “supnya enak sekali.”.

“Benarkah?” kata raja.

“Kukira rasanya tidak enak”.

“Benar tuanku. Rasanya memang tidak enak.” Kata Nasruddin.

“Lho? Bukankah barusan engkau mengatakan bahwa rasanya enak sekali.” tanya raja dengan bingung.

“Itu benar, yang Mulia. Tetapi aku adalah hamba raja, bukan hamba sup ini.” —Dari ‘Sang Mullah – Kumpulan Kisah Bijak Jenaka Nasruddin Hoja’, Astrid Savitri, Genesis Learning.

**

Sindiran ‘Aku Bukan Hamba Sup” ala Nasruddin Hoja itu cerdas. Cerdas as Shech NH  lebih sekadar insan akademis. Dia  paham, taktis,  dan bijak dengan frasa kontroversi ini: L’État, c’est moi. Saya adalah Negara.  Arti harfiahnya:  “Negara adalah Saya” dalam bahasa Prancis. Frasa yang berasal dari Raja Louis XIV saat berpidato didepan Parlemen di Paris 13 April 1655. Meskipun tidak ada catatan resminya di parlemen,  namun kalimat tersebut dijadikan motto mendefenisikan pemerintahan otoritarian.

Di kota Buxoro, Uzbek, saya dan republik firzuni sempat ngesup, ngupi, sedikit selfie dan menyentuh patung Nasrudin.  Tuan Nas duduk di atas keledai. Bukan menunggang biasa, dia menghadap ke belakang. Duh…, Nasruddin penuhi jagat univers dengan ajaran kebajikan. Dia mendiktekan gejala kearifan universal dari arah belawanan. Jadilah Nasrudin itu tokoh yang membuka lautan pikiran terbuka. Jangan heran jika ada kebijakan yang terbolak balik, dibaca dari arah berlawanan. Batubara bisa dibaca  Barabatu, ataupun Arabutab.

Kiranya Gozali-gozali lain bisa ambil cuan mencoba lapak OpenSea kedai  ‘Sup Nasruddin’. Di sana tetamu bisa menyeruput pesan-pesan jeniusnya. Jangan bilang membalikkan mangkok sup itu mental otoritarian. Itu hanya instalasi kesenian akrobat-akrobatan. Atau hanya sepotong lakon Nasrudinian? Membaca viral warta  Bupati Langkat dan PN Surabaya, jangan sampai benar sindiran vulgar ini:  tak ada sup feat roti dan akrobat-akrobat siang yang gratis.

Usai santuy separo hari di Setu Babakan, kami kembali ke ibukota negara Jakarta. Menghayal pergi ke Buxoro lagi, hendak bertanya apa “sup enak” nash-nash bijak Mullah Nasrudin untuk lawyering nusantara?  Tabik. (Muhammad Joni)

Share