TRANSINDONESIA.co | Walau Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dihapus dengan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), namun belum efektif juga. Bahkan pembangunan perumahan terancam stagnan.
Kritik kencang atas lambatnya PBG perumahan, termasuk perumahan rakyat. Soal ini mencuatkan sikap asosiasi real estat maupun perumahan meminta pemerintah menerbitkan segera kebijakan publik ikhwal PBG yang pro MBR (masyarakat berpenghasilan rendah).
“Kami berharap solusi terkait PBG menjadi salah satu prioritas jangka pendek. Sebab kita berhadapan dengan target waktu,” kata Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (DPP REI), Paulus Totok Lusida, saat Breakfast Meeting Dirjen Perumahan Kementerian PUPR, Iwan Suprijanto bersama sejumlah Asosiasi Pengembang, di Jakarta, Selasa, 11 Januari 2022.
Mengatasinya perlu mengubah paradigma dan taat asas. Caranya? Berikut ini catatan kritis Muhammad Joni, Sekretaris Umum The HUD Institute, yang juga praktisi hukum perumahan.
“Retribusi PBG jangan jadi isu penghambat menjalankan amanat perumahan rakyat”, tegas Joni yang menulis buku Ayat-Ayat Perumahan Rakyat (2018).
1. Perumahan rakyat cq.MBR –apalagi rumah khusus misalnya untuk kawasan pulau terluar ataupun rekonstruksi paska bencana– adalah hak dasar dan amanat konstitusi. Bukan perumahan komersil. Ironis jika pembangunannya terhambat birokrasi PBG dan ditarik retribusi pula.
2. Pembangunan perumahan MBR adalah kewajiban pemerintah dan bahkan pemerintah wajib menyediakan bantuan dan kemudahan yang diatur Pasal 54 ayat (1), (2), (3) UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perimahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP). Kewajiban pemerintah dari UU PKP itu sepatutnya bukan obyek pungutan, retribusi juncto pajak. Malah mustinya difasilitasi.
3. Perumahan rakyat –bagi MBR– adalah urusan konkuren pemerintah dan pemda yang merupakan kebutuhan dasar atau primer sebagaimana UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda. Bukan kebutuhan sekunder apalagi tertier. Apalagi angka backlog perumahan belum kelar tuntas.
4. Perumahan rakyat –bagi MBR yang tak hanya membangun fisik rumah saja– mustinya bisa diskemakan tanpa beban retribusi. Hal itu konsisten dengan agenda rasionalisasi dan debirokrasi rantai pasok perumahan, sehingga menjadi pasar yang sehat dan efisien, dan good governance.
5. Kompensasi atas nihilnya retribusi PBG perumahan MBR masih bisa diatasi dengan skema kebijakan stimulan perumahan MBR dari APBN kepada Pemda, yang diambil dari alokasi fiskal pembiayaan perumahan MBR paska pengalihan FLPP ke BP TAPERA. Harus diingat, menurut Pasal 54 UU PKP tegas bahwa bantuan dan kemudahan pembiayaan peruahan MBR itu kewajiban pemerintah, dengan atau tanpa TAPERA.(Muhammad Joni)