Raja Belanda Tidak Akan Kendarai Kereta Kencana yang Dikritik Bercitra Kolonial
TRANSINDONESIA.co | Raja Belanda, Kamis (13/1) mengesampingkan penggunaan kereta kencana keluarga kerajaan, setidaknya untuk saat ini. Salah satu sisi kereta itu memuat lukisan yang menurut para kritikus mengagungkan penjajahan Belanda pada masa lalu, termasuk perannya dalam perdagangan budak global.
Pengumuman itu merupakan pengakuan atas perdebatan panas mengenai kendaraan itu, sementara Belanda menghadapi sisi suram sejarahnya sebagai negara adidaya kolonial abad ke-17, termasuk para pedagang Belanda yang meraih keuntungan besar dari perbudakan.
“Kereta Kencana hanya akan digunakan lagi sewaktu Belanda sudah siap dan sekarang ini tidak demikian,” kata Raja Willem-Alexander dalam pesan video.
Salah satu sisi kereta kencana itu dihiasi dengan lukisan yang disebut “Upeti dari Tanah Jajahan” yang menunjukkan orang-orang Asia dan Kulit Hitam, salah seorang di antaranya berlutut, menyerahkan barang-barang kepada seorang perempuan muda kulit putih di takhta yang melambangkan Belanda.
Kereta itu sekarang dipamerkan di museum Amsterdam setelah menjalani perbaikan panjang. Pada masa lalu, kereta kencana digunakan untuk membawa raja Belanda melewati jalan-jalan Den Haag ke acara pembukaan parlemen setiap September.
“Tidak ada gunanya mengutuk dan mendiskualifikasi apa yang telah terjadi melalui lenza zaman kita,” kata Raja. “Sekadar melarang simbol dan objek-objek bersejarah tentu saja bukan solusinya juga. Yang diperlukan justru upaya bersama yang lebih dalam dan perlu waktu lama. Upaya yang mempersatukan kita, bukannya memecah belah kita.”
Aktivis antirasisme dan salah seorang pendiri The Black Archives di Amsterdam, Mitchell Esajas, menyebut pernyataan raja sebagai “pertanda baik,” tetapi juga itu “minimum” yang dapat dikatakan raja.
“Ia mengatakan masa lalu tidak boleh dilihat dari perspektif dan nilai-nilai masa kini … dan saya pikir itu keliru karena dalam konteks sejarah, perbudakan juga dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan sistem kekerasan,” ujarnya. “Menurut saya argumen ini kerap digunakan sebagai alasan untuk memoles sejarah kekerasannya.”
Belanda, bersama dengan banyak negara lainnya, telah meninjau kembali sejarah kolonialnya dalam proses yang dipicu oleh gerakan Black Lives Matter yang melanda dunia setelah kematian George Floyd, seorang lelaki kulit hitam, di AS.
Tahun lalu, museum nasional Belanda, Rijksmuseum, menyelenggarakan pameran penting yang menyoroti peran negara itu dalam perdagangan budak. Wali kota Amsterdam Femke Halsema meminta maaf atas keterlibatan ekstensif para mantan gubernur di ibu kota Belanda dalam perdagangan tersebut.
Halsema mengatakan ia ingin mengukir ketidakadilan besar perbudakan pada masa kolonial dalam identitas kotanya. [uh/ab]
Sumber: Voaindonesia