WHO: Dampak Omicron Mungkin Tak Terlalu Parah, Tapi Bukan Berarti Ringan

 

TRANSINDONESIA.co | Pejabat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, pada Kamis (6/1), bahwa varian Omicron yang lebih menular tampaknya tidak memiliki dampak yang terlalu parah dibandingkan varian delta yang mendominasi perebakan COVID-19 di dunia. Meski demikian varian tersebut tidak bisa dikategorikan “ringan.”

Janet Diaz, pimpinan WHO untuk manajemen klinis, mengatakan studi awal menunjukkan ada penurunan risiko rawat inap dari varian yang pertama kali diidentifikasi di Afrika Selatan dan Hong Kong pada November dibandingkan dengan varian delta.

Selain itu juga ada penurunan risiko keparahan pada orang yang lebih muda dan lebih tua, katanya pada konferensi pers dari kantor pusat WHO di Jenewa.

Pernyataan tentang pengurangan risiko penyakit parah berpadu dengan data lain, termasuk studi dari Afrika Selatan dan Inggris, meskipun dia tidak memberikan rincian lebih lanjut tentang studi atau usia kasus yang dianalisis.

Sementara dampak varian tersebut pada orang tua adalah salah satu pertanyaan besar yang belum terjawab karena sebagian besar kasus yang dipelajari sejauh ini terjadi pada orang yang lebih muda.

“Meskipun omicron tampaknya tidak terlalu parah dibandingkan delta, terutama pada mereka yang divaksinasi, itu tidak berarti harus dikategorikan sebagai ringan,” kata Direktur Jenderal Tedros Adhanom Ghebreyesus.

“Sama seperti varian sebelumnya, omicron membuat orang dirawat di rumah sakit dan membunuh orang.”

Dia memperingatkan “tsunami” kasus ketika infeksi global melonjak ke rekor yang dipicu oleh omicron dan delta, sistem perawatan kesehatan kewalahan, dan pemerintah berjuang untuk menjinakkan virus, yang telah menewaskan lebih dari 5,8 juta orang.

Tedros mengulangi seruannya untuk kesetaraan yang lebih besar secara global dalam distribusi dan akses ke vaksin.

Berdasarkan tingkat peluncuran vaksin saat ini, 109 negara akan kehilangan target WHO untuk 70% populasi dunia untuk divaksinasi penuh pada Juli, tambah Tedros. Tujuan itu dipandang membantu mengakhiri fase akut pandemi.

“Peningkatan demi peningkatan di sejumlah kecil negara tidak akan mengakhiri pandemi sementara miliaran tetap sama sekali tidak terlindungi,” katanya.

Penasihat WHO Bruce Aylward mengatakan 36 negara bahkan belum mencapai 10 persen cakupan vaksinasi. Di antara pasien parah di seluruh dunia, 80 persen tidak divaksinasi, tambahnya.

Dalam laporan epidemiologi mingguannya pada Kamis (6/1), WHO mengatakan jumlah kasus meningkat sebesar 71 persen, atau setara dengan 9,5 juta, dalam seminggu hingga 2 Januari dari seminggu sebelumnya, sementara angka kematian turun sebanyak 10 persen, atau sekitar 41.000.

Varian lain B.1.640 – pertama kali ditemukan di banyak negara pada September 2021 – termasuk di antara yang dipantau oleh WHO tetapi tidak beredar secara luas, kata pemimpin teknis WHO untuk COVID-19, Maria van Kerkhove.

Sumber: Voaindonesia

Share