Catatan dari Hotel Karantina Hari Kedua

TRANSINDONESIA.co | Tadinya saya tidak akan menulis pengalaman ini. Namun karena saya di share tontonan diskusi “Karantina 10 Hari: Menyelamatkan atau Menyesatkan”, talk show Priyadi Abadi di You Tube, dengan Narsum Artha Hanif (ASITA), Salam Ibrahim (lembaga perlindungan konsumen penerbangan dan parawisata), Ivo Kwok (Profesional Tour Leader) dan Davy Batubara (Astindo), saya tergelitik untuk menulis.
Pertama, para pembicara mewakili Stakeholder isu ini merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah, seperti membuat kebijakan Karantina 10 hari bagi pendatang perbatasan, baik WNI maupun orang asing. Hal ini membuat banyak bisnis mereka yang dirugikan, karena rencana tour yang sudah direncanakan menjadi berantakan.

Kedua, kritik saya mungkin memperkuat kritik yang muncul dalam diskusi tadi. Misalnya usulan seorang pembicara agar Karantina dilakukan di rumah saja, khususnya bagi WNI, yang pemerintah memantau mereka via aplikasi Peduli Lindungi.

Saya mulai dengan cerita saya ketika mertua saya memberitahu saya untuk menonton pengumuman penting Mark Rutte, Perdana Menteri Belanda atas kebijakan baru saat itu. Itu tanggal 26 November, sehari sebelum saya ulang tahun 27 November. Tanggal 26 November ini adalah pengumuman yang sudah direncanakan oleh pemerintah Belanda secara periodik. Sebelumnya Rutte mengumumkan tanggal 12 November. Kami memerlukan pengumuman itu karena kami telah memesan (reservasi) restauran untuk makan malam (dinner) keluarga. Pengumuman itu sudah diprediksi, melihat situasi coronavirus yang semakin bertambah, maka akan ada pengetatan. Benar saja terjadi pembatasan waktu buka restoran, yakni dari pukul 20.00 menjadi pakul 17.00. Untungnya itu berlaku tanggal 28 November. Diakhir pidatonya, Rutte menyatakan akan menyampaikan pidato terkait isu ini pada 12 Desember.

Kebijakan Rutte ini banyak ditentang anak-anak muda anti vaksin dan anti aturan pembatasan. Beberapa kali terjadi demo rusuh di berbagai kota Belanda. Namun, Rutte tetap tegas. Sejak pengumuman tanggal 26/12 ini restoran dan museum, misalnya, mewajibkan pengunjung memakai masker, bahkan jika ke toilet meninggalkan meja makan. Sebelumnya saya beberapa kali mendapat kemudahan masuk museum dan restoran hanya dengan bukti vaksin di Indonesia.  Memang secara umum saya harus melakukan antigen test, gratis dan mudah dijangkau, untuk kemudian bisa di upload ke QR Code, untuk ke restoran atau museum. Sejak tanggal 28/12 itu saya melihat antara lain pelayan restoran mengusir pengunjung anak2 muda yang tidak punya antigen test, serta keamanan stasiun kereta api menegur orang yang tidak menggunakan atau kelupaan pakai masker.

Untuk pengguna transportasi darat dan ferry (air)  memang tidak dibutuhkan antigen test, seperti bus maupun kereta api, kemanapun.
Namun, hotel sudah mulai banyak mensyaratkan. Sebagiannya masih membolehkan dengan syarat test antigen hanya ke restoran hotel.

Sejak 28/11 keramaian pertunjukan atau pertandingan olahraga sudah dilatang total. Stadion bola tidak boleh ada penonton lagi. Sekolah tetap jalan, namun universitas dilakukan online. Untuk sekolah, guru dan murid melakukan test sendiri dua kali seminggu. Alat test dapat dibeli di apotek manapun dengan harga terjangkau.

Keponakan saya pada saat kami berkumpul beberapa hari lalu, melakukan test Antigen sendiri, karena dia takut membahayakan kakek-neneknya yang berusia 80 an tahun. Anak-anak muda menyadari bahwa mereka kuat menahan virus Corona namun berbahaya jika menjadi OTG.

Saya sudah menceritakan bagaimana pemerintah melakukan kebijakan di Belanda. Grafik Covid-19 yang naik akan mengakibatkan pengetatan. Sebenarnya mirip dengan kebijakan PPKM di Indonesia. Bedanya kebijakan di Belanda bisa diprediksi dan mencakup kebijakan lintas boder.

Terkait lintas perbatasan, pemerintah melalui aku resmi memberitahu sebagai berikut: “You must self-quarantine for 10 days if you travel to the Netherlands after staying in a very high-risk area, including where there is a variant of concern. If you get tested on day 5 you might be able to shorten the quarantine period”. Saya masuk ke Belanda dengan menunjukkan bukti sudah divaksin. Tidak perlu Karantina karena Indonesia masuk kelompok katagori “high risk” tapi tidak “very high risk”. Juga tidak perlu test PCR di Bandara Schiphol ketika tiba.

Sebagai perbandingan saja, saat ini, menurut “our world in data”,  vaksinasi Indonesia baru 36,3% sedangkan Belanda sudah  dua kali lipat, yakni mencapai 73%.

Pada tanggal 28 November,  pemerintah Indonesia menaikkan masa Karantina dari 3 hari menjadi 10 hari. Pada saat pengumuman sebelumnya, 2/11, pemerintah menyatakan Karantina perbatasan hanya perlu 3 hari, bagi orang yang sudah divaksin penuh dan 5 hari bagi yang baru sekali vaksin. Alasannya karena keberhasilan vaksinasi di Indonesia dan menggiatkan ekonomi, khususnya turisme. Namun,  kita tahu juga bahwa pertengahan November ada acara besar yang melibatkan semua elit negara, yakni balap motor GP  di Mandalika, Lombok.

Sebelum ada isu Omicron, sehabis “event Mandalika”, pemerintah ternyata menaikkan kembali waktu Karantina menjadi 7 hari. Lalu sekarang  naik lagi menjadi 10 hari.

Pro-kontra Karantina 10 hari dalam diskusi “Karantina 10 hari: Menyelamatkan atau Menyesatkan” yang saya singgung di atas, tentu sangat relevan. Pertama, Karantina pelancong untuk di Jakarta mengeluarkan uang lebih besar di Jakarta dibanding kita travel di Belanda untuk hotel kelas yang sama. Pengeluaran saya di hotel Karantina ini mencapai Rp 16 juta lebih untuk sembilan malam. Penginapan dan makan. Makannya memang enak, tapi itu bukan pilihan. Di Belanda , misalnya saya menginap di Hotel Bastion Groningen dan Bastion Maastricht, saya membayar kamar seharga €60-70 plus makan perhari order mirip Go-Food €30 berdua. Khususnya kalau Doner Kebab yang besar, satu kali makan, kenyang sepanjang hari. Dengan €100 maka 9 hari akan keluar €900 atau Rp. 15.000.000.

Kedua, menurut Debra Sullivan, Ph.D, MSN, RN, CNE,  COI dalam “healthline”, “it is not necessary to isolate if you: 1) are getting test as a travel requirement, 2) have not come into contact with anybody with Covid-19. 3) don’t have any symptom.

Untuk orang yang datang dari Belanda, misalnya, dengan kewajiban Antigen Test diberbagai space interaksi, sudah divaksin standar vaksin eropa/amerika dan di PCR test dua hari sebelum berangkat dan di test di bandara Sukarno Hatta, yang hasilnya negatif, tentu saja saya bingung maksud Karantina ini. Apakah perlu Karantina selama itu?

Apakah anda pernah tahu bahwa “Health Declaration” menjadi syarat utama penumpang di Schiphol akhirnya tahu gate (gerbang) keberangkatan? KLM tidak akan meng input pelancong meski memiliki tiket tapi tidak punya syarat yang diminta Indonesia, semisal surat vaksin dan hasil test PCR negatif. Itu diverifikasi di Gate transisi sebelum masuk ke Gate sebenarnya. Apakah anda tahu “Health Declaration” memakan waktu 4 jam di bandara internasional Soekarno Hatta?

Ketiga, Karantina di Hotel sebenarnya bisa membuat orang sehat menjadi sakit. Karantina di hotel kita hanya makan dan tidur maupun membaca atau menonton. Itu membosankan dan menggemukkan. Jika Karantina di rumah seperti di Belanda, dulu awal-awal Covid-19, pelancong dapat menghirup udara segar di rumah. Bisa olahraga dan mendapatkan cahaya matahari.

Dalam teknologi digital yang canggih sebenarnya pemerintah dapat mengontrol “self-quarantine” via koordinat peduli lindungi plus denda yang besar, misalnya Rp. 5 juta jika melanggar regulasi. Ini juga dapat menghargai kedewasaan manusia traveller.

Saya tertarik dengan kritik dari peserta diskusi yang mengatakan Karantina 10 hari yang untung pemilik hotel, bukan dia yang jadi agen perjalanan ke LN. Peserta itu mengeluh rombongan perjalanan ke Turki langsung cancel setelah tahu ada Karantina 10 hari. Saya juga senang kebanyakan pembicara mengkritik kebijakan pemerintah atas Karantina 10 hari ini.

Sebenarnya yang perlu dipertimbangkan pemerintah secepatnya adalah ketelitian memeriksa para pelancong untuk mengklasifikasikan lebih baik lagi siapa yang harus dikarantina 10 hari? Siapa yang boleh dan kapan boleh karantina di rumah? Bagaimana membuat orang di Karantina hotel bisa berolahraga biar sehat dan tidak menjadi gemuk.*

(Dr. Syahganda Nainggolan – Sumbangan pikiran untuk pelancong mancanegara)

Share