Bahagia Bersama Bimmas Noken dalam Pendekatan Art Policing

TRANSINDONESIA.co | Bahagia ini menjadi kata kunci untuk menjalani hidup dan kehidupan dengan penuh rasa syukur. Jiwa bahagia adalah jiwa merdeka yang mampu melihat dan memanfaatkan bahkan memberdayakan apa saja yang biasa saja menjadi luar biasa. Bahagia bagi manusia adalah sesuatu yang sangat berharga. Polisi didalam pemolisiannya hakekatnya adalah untuk kemanusiaan, semakin manusiawinya manusia.

Manusia sebagai aset utama bangsa yang menjadi pilar kedaulatan. Pemolisian komuniti atau polmas model papua dikenal dengan Bimmas Noken. Kata noken sendiri diambil dari kearifan lokal. Noken yang merupakan wadah atau tas yang digunakan warga papua untuk keperluan sehari hari atau sebagai tempat apa saja. Noken fungsinya dinamis dan memiliki makna filosofis mendalam dari keterbukaan dan kemauan untuk belajar dan memajukan hidup maupun kehidupan. Konteks pemolisian model Bimmas Noken selain menjadi suatu strategi juga dapat menjadi suatu filosofi hidup bagia dalam keteraturan sosial. Karakter dan sumberdaya papua yang sangat luar biasa menjadi sumber inspirasi pemolisian dengan pendekatan kemanusiaan.

Bahagia itu sederhana dan dengan sederhana juga bahagia. Bahagia menjadi kekuatan bagi hidup dan kehidupan. Membangun bahagia tentu ada sambung rasa dan bela rasa. Di sini para petugas Bimmas Noken memulai dengan polisi piajar untuk mentransformasikan atau berbagi kebahagiaan dalam kehidupan. Kebahagiaan dalam hidup manusia tatkala ada keamanan dan rasa aman serta ada produktifitas untuk bertahan hidup tumbuh dan berkembang. Polisi piajar ini sejatinya para petugas polisi berada di tengah warga masyarakat dengan membuat pilot projek untuk pertanian, perkebunan, dan pendidikan dasar. Apa yang dilakukan adalah menstimuli atau memberikan suatu inspirasi, juga sebagai  tim transformasi. Memang ada sesuatu yang menarik untuk dikaji dan dikembangkan dalam konteks keteraturan sosial di papua terutama dalam konteks kearifan lokal yang dapat digunakan sebagai ikon bagi pembangunan karakter atau label positif tentang papua.

Seni menjadi jembatan hati bahagia bagi manusia dalam menjalani hidup dan kehidupannya. Seni ada di setiap ruang kehidupan. Bisa saja sesuatu yang sebenarnya unik dianggap sesuatu hal yang biasa. Keindahan bahasa, logika, nada, suara, gerak pertunjukan yang tergolong olah rasa maupun olah raga menjadi solusi atas kepenatan hidup. Bahagia dengan seni akan memunculkan local heroes yang mampu membawa nilai nilai lokal yang mendunia atau mengglobal. Bahagia ala Bimmas Noken bahagia dengan berseni. Seni apa saja dapat dijadikan modelnya untuk fun atau menghibur. Tatkala polisi diterima dan didukung oleh masyarakat yang dilayaninya maka pola pemolisiannya akan mampu mendekatkan pada kemanusiaan untuk adanya hidup bahagia dalam keteraturan sosial yang terjamin keamanan dan rasa amannya.

Pemolisian dengan pendekatan seni budaya ( art policing). Image Polisi bekerja secara umum, pemolisiannya merupakan penjabaran tindakan : preemtif preventif maupun dengan represif sebagai penegak hukum. Kewenangan upaya paksa yang menonjol, terlebih lagi sering di filmkan sebagai sosok yang antagonis dengan upaya paksa seperti: menangkap pelaku kejahatan, mengungkap perkara, mengatur arus lalu lintas, memberhentikan, menggeledah seseorang yang dicurigai sebagai penjahat atau berkaitan denan kejahatan dan sebagainya.

Model pemolisian seperti itu akan lebih mengedepankan pengunaan kewenangan upaya paksa dan memerangi kejahatan. Kebutuhan keamanan dan rasa aman warga masyarakat sering kali ditandai dengan cara-cara reaktif, konvensional, walaupun di satu sisi mampu membangun citra polisi yang positif, namun di sisi lain dapat pula secara kuratif atau temporer.
Dari berbagai hasil kajian tentang model pemolisian yang ditulis para pakar Kepolisian seperti pada buku comnunity policing karangan  David Bayley (New York, Praeger,1988) dan Police for the future (penerjemah: Kunarto, Jakarta: Cipta Manunggal, 1994) dikatakan bahwa model pemolisian yang reaktif dan mengedepankan penegakkan hukum serta  memerangi kejahatan tidak menjamin polisi mampu memberikan pelayanan keamanan dan membuat rasa aman warga yang dilayaninya.

Bahkan secara ekstrim dikatakan bahwa polisi tidak melakukan pencegahan (Police for the future, Jakarta: Cipta Manunggal, 1994).
Tugas polisi hakekatnya adalah untuk memanusiakan manusia atau semakin manusiawinya manusia. Di era digital tugas Polisi semakin berkembang dan dinamis mengikuti dinamika perubahan masyarakat yang dilayaninya. Pemolisian yang dilaksanakan oleh Polisi tak sebatas yang aktual tetapi juga secara virtual dalam tugas-tugas sosial bahkan kemanusiaan. Dengan demikian keberadaan Polisi diharapkan dapat menjadi bagian dari masyarakat yang dilayaninya yang diterima dan didukung oleh masyarakat. Polisi menjadi petugas yang profesional yang mampu melindungi, mengayomi, melayani yang mengangkat harkat dan martabat manusia. Menjaga dan membangun keteraturan sosial, serta mendorong produktifitas sehingga mampu mendukung upaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. sejalan dengan pemikiran tersebut, Polisi dapat dikatakan sebagai penjaga kehidupan, pembangun peradaban, serta pejuang kemanusiaan. Pekerjaan tersebut memang tidak mudah dan memerlukan suatu kemampuan untuk memahami corak masyarakat dan kebudayaan. Pemolisiannya mampu memanusiakan manusia “Melayani dengan hati”.

Melayani dengan hati inilah core dari pemolisian karena dalam kehidupan sosial kemasyarakatan ada nilai-nilai, etika, norma, moral, seni, dan budaya yang hidup tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat. Upaya Polisi dalam pemolisiannya untuk mendekatkan dan mendapat kepercayaan masyarakat yang dilayaninya dapat dilakukan dengan seni dan budaya. Keduanya menjadi roh dalam kehidupan sosial masyarakat yang keberadaannya bertingkat tingkat berdasarkan strata sosialnya.

Seni merupakan bagian dari hidup dan kehidupan untuk menghibur dan sebagai solusi sosial/ pelipur lara. Seni yang merakyat akan di contoh bahkan diikuti dan menjadi tradisi seperti : (1) musik , (2) kesenian tradisional , (3) seni lukis , (4) kerajinan (mainan-mainan anak anak), dan (5) berbagai lagu khas daerah, dsb.

Polisi dalam pemolisiannya yang berbasis pada pendekatan seni budaya, polisi tak lagi antagonis tetapi juga menjadi protagonis yang menjadi bagian dari kehidupan mereka yang mampu dan diharapkan menjadi penyejuk hati dan pelipur lara. Polisi dalam pemolisiannya yang berbasis seni budaya mampu untuk membangun budaya tertib walau dalam kondisi apa adanya dan tidak mengada-ada, bahkan dalam kondisi berdesak-desakan sambil kerudungan sarungpun rasa berbahagia dan  berbangga hati dapat di hayati. Art policing juga dapat menjadi wadah/ ruang bagi Polisi dan masyarakat untuk bersama-sama menangani konflik yang dapat diterima semua pihak. Hubungan seni budaya dengan pemolisian bukanlah seperti minyak dengan air melainkan bagian yang menyatu dan saling mempengaruhi. Pemolisian yang dalam implementasinya berbasis seni dan budaya akan lebih memanusiakan manusia. Di samping itu juga mendorong upaya untuk membangun peradaban, dan menjaga kehidupan. Bagaimana bisa memanusiakan manusia kalau tidak memahami hal-hal yang humanis? Bagaimana mau membangun peradaban kalau polisinya juga tidak memahami kebudayaan? Bagaimana bisa menjaga kehidupan kalau tidak memahami makna dan isi kehidupan masyarakat yang dilayaninya? Dengan pemahaman seni dan budaya ini pekerjaan-pekerjaan polisi akan semakin humanis. Polisi akan lebih peka dan peduli terhadap hidup dan kehidupan manusia.

Upaya-upaya Bimmas Noken sebagai model pemolisian yang kontemporer menjadi acuan qart policing pada tindakan pencegahan, proaktif dan problem solving yang kesemuanya memerlukan komunikasi dan pemahaman akan corak masyarakat dan kebudayaannya. Tindakan mencegah bukan hanya dengan menampilkan model petugas berseragam dengan bersenjata lengkap di pos atau di daerah rawan. Mencegah adalah tindakan berpikir baik secara manajemen maupun operasional untuk menemukan akar masalah dan solusinya sekaligus.
Implementasi art policing dapat mengacu model community policing yang dapat berbasis wilayah atau area juga dilakukan pada kelompok-kelompok kategorial atau komunitas maupun yang berbasis dampak masalah . Pada kelompok ini  polisi bisa masuk dan memahami mereka dari aspek seni dan budaya. Melalui art policing, ungkapan dan simbol-simbol kebudayaan, bahkan uneg-uneg masyarakat dapat dipahami dan di tindak lanjuti oleh Polisi. Primordial diberi post truth seringkali digunakan sebagai sebagai sarana propaganda atau dapat ditunggangi dengan berbagai kepentingan, menjadi simbol perlawanan atau bahkan sebagai bentuk civil disobidience (pembangkangan sipil). Simbol-simbol kearifan lokal menjadi cerita yang fun dalam mop ( stand up commedy ala papua), guote atau sesuatu yang unik  dan ikonik menjadi sesuatu  yang humanis.
Pendidikan atau pembelajaran pemahaman  seni dan budaya kepada calon polisi merupakan upaya transformasi pembinaan dan pengasuhan dalam bidang seni dan budaya akan mengasah hati, pikiran, perkataan dan perbuatannya sebagai petugas polisi .

Seni dan budaya merupakan passion untuk membuka dan mengasah hati nurani, empati, kepedulian, bahkan solidaritas sosial yang humanis. Polisi dalam pemolisiannya merupakan suatu seni dalam menata keteraturan sosial. Dengan demikian polisi dalam mengimplementasikan pemolisiannya adalah sebagai seniman. Polisi sebagai petugas mampu menjadi sosok pekerja yang terus berkarya untuk semakin manusiawinya manusia. Polisi dan pemolisiannya merupakan bagian dari peradaban karena mendukung masyarakatnya bertahan hidup, tumbuh dan berkembang.

Seni dan budaya hidup, tumbuh dan berkembang merupakan peradaban yang merupakan bagian dari politik. Konteks ini dapat dimaknai bahwa dalam menguasai dan modernisasi seni dan budaya merupakan bagian penting dan mendasar dalam menunjang pembangunan peradaban. Di negara-negara maju, karya seni diapresiasi setinggi-tingginya, dimaknai, dikemas, dibahas dimana-mana, di publikasikan dan dimarketingkan bahkan politikusnya pun aktif berkesenian atau mengikuti berbagai kegiatan kebudayaan. Art policing dapat di implementasikan dengan memanfaatkan ruang-ruang publik untuk memamerkan, mengekspresikan program-programnya atau produk-produk kebijakannya. Art policing diharapkan dapat menjadi ikon dan pilar persahabatan dan kedekatan dengan masyarakat. Naluri artistik dan estetik polisi dalam pemolisiannya akan lebih mantap di dalam menata keteraturan sosial.

Hubungan seni budaya dengan pemolisian tatkala mampu di implementasikan walau keduanya tampak berbeda, polisi akan lebih humanis. Polisi akan lebih peka dan peduli terhadap kehidupan manusia.
Penyelesaian masalah dengan model Community Policing dapat dimplementasikan dalam satu prinsip seribu gaya. Cara ini disesuaikan dengan corak dan kebudayaan masyarakat yang dilayaninya dan lebih ditekankan pada tindakan pencegahan.

Art Policing merupakan passion bagi Polisi.  Passion Pemolisian dalam mencerdaskan kehidupan bangsa adalah membangun masyarakat sadar wisata. Para aparaturnya mampu “Mengemas, Memberi makna dan Memarketingkan”, sebagai bentuk pemberdayaan hidup dan memberikan kehidupan.

Mengemas merupakan suatu kemampuan untuk: (a) membungkus, (b) memprogram, (c) menyajikan, (d) menata, (f) memperindah, sebagai upaya meningkatkan kualitas yang lebih baik/lebih indah dari aslinya. Kata plesetan dapat memaknai kata mengemas sebagai upaya menjadikan emas. Maknanya adalah menjadikan sesuatu sebagai barang berharga. Sesuatu yang disentuhnya menjadi emas. Menjadikan emas memerlukan kompetensi dan rasa.
‎Kompetensi sebagai standar-standar kemampuan untuk memberdayakan/menjadikan sesuatu lebih baik dan makna rasa adalah seni yang menjadikan lebih indah, lebih menarik dan sebagainya. Mampu mengangkat craft menjadi art.

Dua hal antara kompetensi dan rasa ini yang semestinya dimiliki setiap pemimpin di semua lini. Untuk mengemas sesuatu yang biasa-biasa saja menjadi sesuatu yang luar biasa. Tatkala tidak mampu mengemas maka barang bagus yang bermutu sekalipun bisa rusak bahkan hancur.
Sebagai contoh saja makanan-makanan tradisional yang mempunyai rasa sedap dikemas secara biasa-biasa saja dijual di bawah pohon, harga jualnya menjadi biasa-biasa saja. Dijual mahal misalnya, akan dikomplain banyak orang. Lain halnya dikemas dengan bahan-bahan yang lebih kuat, lebih menarik diberi logo dan dijual di mal, harganya bisa berlipat-lipat tanpa dikomplain orang. Suatu masyarakat kalau mampu mengemasnya akan meningkat kualitasnya.

Demikian halnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tatkala dikemas dengan baik dan benar maka akan maju, dan mendapat kepercayaan dan dukungan dari mana-mana. Namun sebaliknya tatkala tidak mampu, bahkan gagal mengemas, jangankan maju mempertahankan hidup saja sudah setengah mati. Kemampuan untuk mengemas diperlukan:

1. Kepemimpinan. Pemimpin yang mampu mengemas dengan baik adalah pemimpin yang mampu mengangkat harkat martabat dan derajat yang dipimpinnya. Contoh: Rafles pemimpin yang mempunyai visi dan seni tinggi, Lee Kwan Yew berhasil memodernisasi Singapura, Ignasius Jonan mampu mengangkat derajat PT KAI, Tririsma Harini mampu menunjukkan potensi-potensi Surabaya sebagai kota yang lebih berkualitas dan sebagainya. Para pemimpin seperti ini mampu membangun ikon dengan kemampuan mengemas.

2. Ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi mampu menjadikan dan menunjukkan sesuatu dengan cara-cara modern artinya menjadikan sesuatu di era digital tetapi bertahan dan digemari atau disukai karena selalu up to date dan dapat mengikuti perkembangan zaman yang tak lekang ruang dan waktu. Karena bisa diperolehnya dengan cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses.

3. Seni. Seni membuat sesuatu menjadi lebih indah, lebih menarik, memiliki karakter dan menunjukkan suatu cita rasa yang tinggi. Seni menjadikan sesuatu menjadi lebih berharga dan bercita rasa.
Berhasil dalam mengemas ditentukan dari orangnya, sistemnya yang dijalankan dengan standar kompetensi dan seni.

Tatkala pemimpin-pemimpin di semua lini mampu mengemas apa saja dengan standar-standar kompetensi dan seni maka produk kemasan akan berhasil karena bercita rasa seni yang tinggi dan memiliki karakter serta diminati.Setiap pemimpin semestinya memiliki kompetensi dan seni untuk mengemas.

Kesemua itu adalah talenta yang harus terus diasah, bukan sebatas belajar di kertas atau di dalam kelas, melainkan juga praktek di alam. Talenta memimpin dengan manajemen proaktif merupakan proses belajar:

1. Memanage yang berarti mampu merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, mengawasi dan mengendalikan untuk mencapai sasaran/ tujuan. Selain itu mampu untuk mengatasi berbagai masalah dan mampu diunggulkan/ menjadikan unggul.

2. Mengemas. Mengemas adalah sebuah talenta untuk meningkatkan kualitas, untuk menghidupkan, mengangkat harkat dan martabat. Dengan kata lain mengemas ini adalah membuat sesuatu menjadi lebih baik.

3. Memaknai. Memaknai dalam bahasa jawa bisa diplesetkan sebagai tindakan ngububi (ngompor-ngompori dalam hal yang positif). Memaknai sebagai talenta yang merupakan bagian dari pencerahan dan menginspirasi. Memaknai ini juga mengangkat dan menghidupkan.

4. Memarketingkan. Memarketingkan adalah memasarkan. Makna yang lebih luas adalah membuat sesuatu menjadi berkat dan bermanfaat bagi banyak orang. Dengan demikian memarketingkan adalah talenta untuk meyakinkan dan menjadikan banyak orang tahu dan bisa memanfaatkan.

5. Membangun jejaring. Membangun jejaring ini merupakan talenta untuk menumbuhkembangkan dalam berbagai lini yang tidak terikat batas ruang dan waktu yang harapannya adalah akan menjadi mitra.

Semua ini merupakan talenta yang semestinya dimiliki pemimpin. Melalui transformasi budaya dengan manajemen yang proaktif seorang pemimpin akan mampu menemukan dan mengembalikan passion yang hilang dalam mencerdaskan kehidupan bangsa yaitu dengan melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki bila terjadi kesalahan, mencegah terjadinya penyimpangan, meningkatkan kualitas, membangun hal baru sebagai terobosan-terobosan kreatifnya dan tentu juga mampu menjadikan unggul pada institusi yang dipimpinnya.

Pekerjaan polisi merupakan seni dalam mewujudkan organisasi yang pembelajar, humanis, dan profesional. Dalam konteks ini, polisi dituntut untuk dapat melakukan penyadaran, bukan karena ketakutan atau paksaan. Tentu saja polisi tidak boleh bermain-main dengan hal-hal yang ilegal.

Seni dalam pemolisian dapat dipahami pertama sebagai bagian dari inovasi dan kreatifitas. Fungsinya  merupakan  sarana kontak antara polisi dan masyarakat, bukan semata-semata hubungan formal, normatif, tetapi hubungan yang saling mendukung, saling terkait, dan saling mempengaruhi.

Kedua, seni dalam pemolisian sebagai bagian dari penataan dan perlindungan terhadap lingkungan dan sumber daya alam. Pelestarian  lingkungan hidup merupakan bagian dari keteraturan sosial yang juga wajib dipahami oleh petugas polisi dengan harapan para petugas polisi tidak lagi terlibat dengan hal-hal yang bersifat ilegal. Ketiga, sebagai penjaga kehidupan, tentu dalam berbagai pelayanannya, kepolisian dirasakan aman, nyaman, asri, dan humanis. Semua itu mencerminkan upaya untuk kemanusiaan dan memanusiakan sesama. Keempat sebagai pembangunan peradaban pemolisian  dapat disandingkan dengan produk kebudayaan berupa karya seni baik, lisan,suara, gerak,tulisan,lukis, pahat, dan tata ruang.

Pemahaman dan pendidikan tentang seni dan kesenian bagi petugas polisi merupakan frame work dalam menggunakan otak, otot, dan hati nuraninya. Dengan demikian, tugas-tugas polisi akan menjadi inspiratif, informatif, dan menghibur. Contoh, berbagai novel, cerita komik, cerita anak, film layar lebar, film keluarga, dan sebagainya banyak menggambarkan kehebatan dan keberhasilan tugas polisi sebagai penjaga kehidupan, pembangun peradaban, dan pejuang kemanusiaan.

Seni akan membantu polisi mengangkat citra, membangun kepercayaan, membangun jejaring, membangun kemitraan, dan menjadikan ikon kecepatan, kedekatan, dan persahabatan. Seni, Tradisi, hobby, komuniti dan teknologi sebagai Refleksi Akal Budi
Seni bukan monopoli para seniman sekolahan atau ahli-ahli menjabarkan seni dalam berbagai sudut pendekatan dan teori.

Seni ada  di setiap lorong lorong kehidupan tatkala dapat dikemas dalam masyarakat sadar seni budaya dsn pariwisata. Membangun pariwisata seringkali hanya disentuh hal hal yang benda/tangible, sedangkan yang tak benda atau intangible tidak di sentuh bahkan dilupakan. Yang intangible inilah esensi yang mendasar dan menjadi pilar bagi pariwisata untuk selalu ada kebaruan yang mencerahkan, menyenangkan, mententeramkan dan membuat sesuatu baru dan ada rasa kerinduan.

Pon di Papua dapat menjadi momentum untuk membangkitkan pariwisata yang berkaitan dengan hal spirit dan menyentuh hal hal yang intangible dengan menggerakkan berbagai aktifitas literasi seni budaya melalui gerakan moral dan gerakan mencerdaskan kehidupan atau membangun rekayasa sosial, dan sebagainya.Tema tema yang diangkat dapat dibuat secara tematik sehingga dapat tergambarkan apresiasi kepada leluhur nenek moyang seniman, budayawan, para tokoh dan pejuang pejuang seni budaya dan kemanusiaan. Membangun masyarakat sadar seni budaya dan pariwisata yang benda maupun tak benda bukan semata mata untung rugi atau sebatas wujud home stay atau cafe atau yang lain, walau bisnis itu yang nampak dan paling mudah dilakukan (walaupun faktanya juga sulit).

Membangun literasi seni budaya melalui sentuhan yang tak benda dapat dianalogikan  mentransformasikan isi buku yang mampu mencerahkan dan mencerdaskan. Tatkala warga masyarakat telah memiliki kesadaran maka mereka dapat menjaga dan mengapresiasi apa saja  termasuk perjuangan perjuangan yang telah, sedang dan akan kerjakan dalam religi seni tradisi bahkan teknologi.

Hal yang mendasar termasuk juga pemikiran pemikiran bagaimana membangun dan memperjuangkan hidup tumbuh dan berkembangnya wadah dan gerakan moral kemasyarakatan agar art policing juga mendukung literasi seni budaya yang tangible atau  kebendaan dan intangible/tak benda dapat dikembangkan sebagai berikut :

1. Pelestari seni tradisi di era kontemporer, 2. Membangun ikonik seni tradisi dan religi dlm bentuk ikonik seperti wayang komik kartun dan kepahlawanan, 3. Sanggar seni dan budaya, 4. Aktifitas penyeimbang alam dan kehidupan melalui berbagai gerakan moral dalam social engineering, 5. Pustaka religi seni dan tradisi, 6. Galeri karya karya seni, patung, ukir, dan lukis, 7. Wadah kegiatan komunitas komunitas melalui panggung tradisi seni dan religi, 8. Home stay, 9. Cafe atau restaurant dan 10. Art shop and galery, serta lainnya.

Apresiasi terhadap pergerakkan komunitas komunitas untuk membangun dan menggerakkan spirit membangkitkan nilai nilai kemanusiaan melalui berbagai kegiatan, religi, seni, tradisi, komuniti, hobi, dan teknologi yang memberi efek luas ke masyarakat dalam menghidupkan berbagai destinasi pariwisata. Cipta karsa karya dalam hal tangible maupun intangible memerlukan kurator yang handal sehingga mampu mengemas memaknai dan memarketingkannya. Berbagai aktifitas, religi, seni, tradisi, hobby, komuniti, dan teknologi dalam berbagai kemasan acara dan kegiatan dibangun dalam bentuk festival.

Di sinilah art policing dapat dibangun dari m sektor bisnis media dan masyarakat untuk bermitra sehingga ada kekuatan baru, dan masyarakat mengerti, memahami dan mampu mengapresiasi atau berusaha akan yang tangible dan intangible.

Beberapa hal yang dapat dibuat dalam mendukung art policing yang merupakan bagian dari literasi seni budaya adalah sebagai berikut:

1. Buku buku seni budaya tradisi dan religi, 2. Film panjang maupun dalam durasi singkat, 3. Performance art, 4. Booklet atau leaflet, 5. Sosialisasi, 6. Membangun pilot project, 7. Pameran, 8. Lokakarya dan 9. Membuat perpustakaan dan museum atau pusat studi yang berkaitan dengan religi, seni, tradisi, hobi, dan sebagainya.

Seni membuat bahagia? Ya karena melalui seni apa saja kapan saja dan dimana saja serta siapa saja ditampungnya. Selain itu seni yang memerdekakan jiwa akan semakin mampu menghayati memaknai memberdayakan dan mengapresiasi dalam suatu peradaban yang menghidupkan. Bimmas Noken sebagai model pemolisian yang humanis melalui seni membangun bahagia dalam keteraturan sosial

Fajar di timur Sentani Paniai 08121
Chryshnanda Dwilaksana

Share