Kajian Subuh, Pegangan Muslim Indonesia di Washington DC Selama Pandemi

TRANSINDONESIA.co | Ketika komunitas muslim Indonesia di Washington, DC resah di tengah pandemi, Imaam Center mengadakan pertemuan secara virtual, disebut Kajian Subuh. Acara harian itu menjadi pegangan Muslim Indonesia di wilayah Washington DC, tempat mencurahkan kegundahan, dan bekal sebelum beraktivitas.

Sementara penyebaran virus corona merajalela, banyak anggota komunitas muslim Indonesia di kawasan Washington DC, resah. Pada sebagian orang bahkan muncul kepanikan karena menyimak angka-angka kematian bertambah, dan satu atau beberapa dari orang yang meninggal adalah saudara atau orang yang mereka kenal.

Pada saat seperti itu, mereka ingin ke masjid dan bertemu orang-orang yang juga mengalami situasi serupa. Namun, itu tidak bisa karena masjid tutup.

Sebagai imam masjid, Fahmi Zubir Zakaria merasakan kerinduan jemaah. “Masyarakat semakin dekat dengan Tuhannya, dengan Allah SWT. Yang kedua, kita ingin membuat suasana bahwa kita ini keluarga besar. Jangan pernah merasa hidup sendiri tinggal di Barat ini,” tukasnya.

Untuk ‘merangkul’ jemaah, masjid komunitas muslim Indonesia, Imaam Center, di Silver Spring, Maryland, mulai April 2020 menawarkan pertemuan secara virtual. Acara melalui Zoom yang mendadak popular pada saat pandemi, diadakan seusai salat Subuh, sehingga disebut Kajian Subuh.

“Salah satu hikmah pandemi yaitu membawa berkah. Berkahnya, kita bisa belajar setiap hari, mengkaji kitab, dan menghabiskan beberapa kitab,” tambah Fahmi.

Dalam acara itu, Fahmi Zubir Zakaria, biasa disebut Ustaz Fahmi, bertindak sebagai pemberi materi, dengan topik yang paling diminati adalah kisah kehidupan Nabi Muhammad. Ia ‘menemui’ jemaah setiap pagi, menyapa dan menganggap semua yang hadir sebagai keluarga besar, sebelum menyampaikan kisah-kisah nabi, tafsir hadis atau ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. “Dari kisah Rasulullah ini, aktualisasinya pada zaman sekarang ini bagaimana?”

Kajian Subuh dibuka dengan membaca ayat-ayat Al-Quran dan doa-doa pagi yang tercakup dalam al Matsurat sebelum Fahmi menyampaikan materi dan memberi kesempatan tanya jawab.

“(Acara ini) Menjadi ajang informasi dan alhamdulillah-nya, hikmahnya, dengan adanya komunikasi setiap hari itu, terbentuk lagi sebuah tim, yaitu tim bantuan COVID atau Satgas COVID,” ujarnya.

Ketika pandemi pada puncaknya, Kajian Subuh menjadi saluran informasi yang efektif sekaligus menjadi ajang mencurahkan kegundahan bahkan kesedihan. Fahmi mengungkapkan, banyak jemaah yang meminta saluran komunikasi itu tetap dibuka meskipun acara sudah selesai.

“Itu membuat mereka senang. Sehabis pengajian, kita buka sampai 10 menit, bahkan setengah jam, bahkan sampai satu jam. Apalagi waktu itu kan pandemi ya? Ada yang sakit ini. Nah, itu kan makin seru. Kan (pada masa) pandemi ini banyak sahabat kita yang sakit, bahkan ada yang meninggal.”

Dilakukan secara interaktif dengan materi pembahasan yang terus berkembang, Kajian Subuh bertahan sampai sekarang. Walaupun diadakan pagi dan setiap hari, acara terus diminati, dengan jumlah peserta rata-rata 120 orang setiap hari, menurut Fahmi.

“Mereka memang excited. Mereka bahkan tanya tentang kesehari-harian. Bagaimana kalau hujan lebat Ustaz? Doanya apa? Jadi kan yang memang kita rasakan sehari-hari. Ingin tahu, menurut Islam, bagaimana?”

Studi menunjukkan pencarian online untuk kata “prayer” atau berdoa naik ke tingkat tertinggi di lebih dari 90 negara. Dan kajian Pew Research pada tahun lalu menunjukkan bahwa 24% orang dewasa di Amerika mengaku ikatan mereka pada agama menjadi lebih kuat semasa pandemi.

Namun, menurut Fahmi, ada faktor tambahan yang membuat Kajian Subuh bertahan lebih dari satu setengah tahun ini. Selain ada informasi anggota yang sakit atau meninggal, acara ini diisi kuis berhadiah, informasi beragam program Imaam dan acara penggalangan dana melalui kegiatan Ekonomi Kreatif Imaam (EKI) yang hasilnya untuk masjid dan membantu sesama jemaah yang terimbas pandemi.

Acara ini, kata Fahmi, bahkan mendekatkan yang jauh. Sebagian dari peserta acara ini adalah anggota keluarga jemaah yang ada di Indonesia.

Ani Wartini menyimak Kajian Subuh setiap sore di rumahnya di Jati Barang, Indramayu. Walaupun banyak kajian keagamaan di Indonesia, Ani tidak mau melewatkan Kajian Subuh. Alasannya, “Nambah ilmu pengetahuan tentang agama. Bisa bermanfaat, bisa menambah gitu…misalnya cara salat atau pengetahuan tentang sejarah-sejarah Islam atau Nabi Muhammad.”

Tetapi ada alasan lain, Kajian Subuh juga memungkinkan Ani ‘hadir’ bersama ibunya, Wardah, yang sudah lebih dari 20 tahun tinggal di Amerika. Bagi Wardah, Kajian Subuh adalah sarana silaturahim dengan ‘keluarga besar’ di Amerika dan di tanah air.

“Alhamdulillah banyak manfaatnya. Setiap hari mendapat ilmu. Terus ya…saling curhat, apa yang perlu, tanya ke Pak Ustaz,” aku Wardah.

Tetapi yang paling ditunggu Wardah adalah penutup acara, doa bersama. Baginya, itu adalah bekal paling penting untuk memulai aktivitas.

“Ada yang pernah doa sampai nangis-nangis. Ustaz, keluarga saya meninggal dua orang kena COVID. Nah, itu kita tenangkan. Artinya dia merasa nyaman ya…Semua mendoakan keluarganya, dan kita seperti keluarga besar karena kita semua di sini kan imigran,” ungkap Fahmi.

Fahmi mengungkapkan banyak muslim yang semakin dekat pada agama sejak pandemi karena kemudahan mengikuti acara-acara keagamaan tanpa harus keluar rumah, dan tanpa perlu bertemu orang lain sehingga tidak khawatir akan tertular virus corona.

Setelah kini rutin, apakah Kajian Subuh akan dipertahankan bila situasi kembali normal? “Inginnya sih zoom tetap jalan,” harap Ani.

Harapan itu diaminkan Wardah. Fahmi siap karena ikatan batin yang sudah dipupuk selama ini, katanya, perlu dipertahankan. Selain itu, menurut Fahmi, pembelajaran secara virtual sangat lentur dalam menjangkau banyak pihak. Walaupun untuk itu, Fahmi mengakui, ia harus lebih kreatif mencari topik bahasan. [ka/uh]

Sumber: Voaindonesia

Share
Leave a comment