Politik Mengabadikan Karya?

TRANSINDONESIA.CO | “Ars longa vita brevis” seni itu panjang, hidup itu pendek.

Suatu karya pada umumnya jauh lebih panjang keberadaannya daripada senimannya atau kreatornya. Pemahaman mengabadikan suatu karya dalam berbagai fenomena pada umumnya dilakukan dengan memotret. Dengan kamera maka akan ada rekaman secara digital. Suatu karya memerlukan ruang pemaknaan pengemasan dan marketing agar dapat dipahami secara luas. Seniman maupun para kreator memerlukan dukungan agar karyanya mampu memasuki ruang keabadian.

Memanage dan memberi ruang ini mungkin bukan sebatas tanggungjawab pribadi melainkan tanggung jawab bersama ini diwakili oleh pemerintah maupun para wakil rakyat lainnya.

Seni merupakan tanda peradaban? Kalau iya apa yang diabadikan? Kalau diakui sebagai karya anak bangsa di mana ruang ruang apresiasinya? Masih banyak pertanyaan lain yang bisa disampaikan dan dijawab. Tatkala pemerintah kekurangan anggaran atau dana maka sektor bisnis bolehkah membantu? Bantuannya seperti apa? Caranya bagaimana? Termasuk untuk mempertanggungjawabkannya. Banyak hal yang semestinya dilakukan agar seni tetap memiliki ruang untuk bernafas, bertahan hidup tumbuh dan berkembang.

Tatkala melihat seni lebih aktif dilakukan oleh para volentir atau para pegiat yang tergolong pekerja sukarela karena terdorong rasa cintanya. Lalu pertanyaannya :” sampai kapan akan bertahan?”. Tatkala hanya tergantung orang belum ada sistem yang terstruktur? Orang hidup ada batasnya namun seni lebih panjang batasnya dari hidup manusia. Jawaban mengelak biasanya dikatakan:” setiap orang ada jamannya dan setiap jaman ada orangnya”. Bisa saja benar demikian. Namun apakah hanya menunggu? Atau melepas lagi kepada kaum relawan?

Mengabadikan seni memerlukan politik? Jawabannya iya. Para politikus sebagai wakil rakyat yang menjaga dan meneruskan peradaban memiliki kepekaan dan kepedulian akan mengabadikan seni. Ruang bagi seni hidup ada dalam ranah birokrasi maupun ranah masyarakat.

Mengabadikan seni dilakukan secara tangible dan untangible. Kaderisasi untuk kebersinambungannya. Ruang bagi pengekspresian karya seni. Ruang bagi pencatat penyimpan dan pengkajian hingga pameran. Tim transformasi yang menjadi backup system agar kemasan dan marketing karya dari lokal menglobal. Masih banyak hal yang dapat dilakukan.

Mengabadikan seni akan sangat bergantung bagaimana political will berpihak. Seni bagaimana bertahan dan berkembang terus bermunculan senimannya. Peran kaum yang mewakili rakyat pada ranah eksekutif, legislatif bahkan yudikatif sangat penting dan mendasar. Tatkala mereka tidak peduli atau bahkan tidak tahu sama sekali cepat atau lambat peradaban dan karakter bangsa akan digantikan dari asing. Demikian juga calon seniman lebih baik banting setir karena tuntutan hidup. Seni ini hati rakyat sebagai solusi untuk terus bertahan dalam hidup dan lehidupannya yang sarat kesulitan kepenatan yang penuh ketidakpastian.

Larut Malam di Tegal Parang 190921
Chryshnanda Dwilaksana

Share
Leave a comment