Deduksi Keilmuan #5 Bangun Adab Sebelum Ilmu

TRANSINDONESIA.CO | Ilmu adalah sebaik-baiknya harta dan sepenting-penting yang dicari dan merupakan sesuatu yang paling bermanfaat bagi  kehidupan manusia dibandingkan lainya. Kemuliaan akan didapat bagi  pemiliknya dan keutamaan akan diperoleh oleh orang yang mencarinya. Dalam kehidupan di dunia, ilmu pengetahuan mempunyai peran yang sangat penting. Perkembangan dan  kemajuan ilmu pengetahuan memberikan kemudahan bagi kehidupan baik  dalam kehidupan individu maupun bermasyarakat.

Dalam perspektif Islam, kedudukan ilmu sangat agung dan mulia. Ayat Al-Qur’an dan hadis Rasulullah telah banyak menjelaskannya. Demikian pula para ulama yang telah banyak menegaskan urgensi ilmu dalam karya-karya mereka. Ilmu adalah komponen terpenting yang harus dimiliki setiap manusia. Tak ada satu pun peran dan fungsi yang dapat dilakukan oleh seseorang tanpa bekal ilmu. Demikian pula halnya dalam dunia pendidikan, bekal kompetensi berupa ilmu adalah hal mendasar yang harus dimiliki oleh seorang pendidik. Seorang yang berilmu (ahlu al-ilm) harus memiliki adab yang dengannya ia akan dapat bersikap dengan tepat dalam menyikapi segala sesuatu. Betapapun tingginya kadar keilmuan yang dimiliki, tidak menjadikannya takabbur dengan mengandalkan logika semata dalam memahami hakikat sesuatu. Dengan adab Islami pula mereka mendapatkan kedudukan mulia di sisi Allah.

Sejarah peradaban umat manusia meningkat secara tajam saat adanya kebangkitan Islam dengan adanya risalah yang dibawakan oleh Rasulullah SAW manusia terbaik sepanjang masa. Sejarah perubahan peradaban ini diawali dengan perbaikan adab (akhlak, red) dimana saat itu terjadi pembunuhan dan kekejian lainya meraja lela yang kemudian masyarakat kala itu berubah secara drastis menjadi bangsa yang menjunjung tinggi peradaban. Berdasarkan kisah ini maka adab merupakan hal pokok yang harus dipelajari terlebih dahulu. “Kalau adabnya sudah benar, InsyaAllah tak akan terjadi orang pintar melakukan perbuatan yang dilarang agama,”. Dengan adab yang bagus, lanjutnya, Islam zaman keemasan telah merubah penganutnya. Dari yang tadinya tak pernah menulis menjadi tergila-gila dalam hal menulis. Hal tersebut di buktikan dengan banyaknya sahabat di zaman Rasulullah yang pandai dalam hal tulis-menulis. Setelah itu, peradaban Islam pun semakin berkembang di bidang keilmuan. “Pada zaman tersebut science dan Islam bisa bergandengan dengan sangat baik,” ujarnya. Berbeda sekali dengan sekarang, menurutnya, ada beberapa ilmuwan yang terang-terangan menentang hubungan agama dengan science.

Tak berhenti dalam khazanah ilmu, kemuliaan seseorang pun memiliki penilaian yang berbeda pada zaman sekarang. “Saat itu kemuliaan manusia itu dilihat dari keimanan dan ketaqwaannya,”. Tak heran, jika orang-orang miskin sangat di hargai dalam abad keemasan itu. Saat ini kita perlu  menyiapkan diri mengangkat kembali kejayaan Islam yang saat ini masih tertidur. “Jadilah teladan yang baik di manapun kita berada,”. Menjadi teladan berarti menjadi yang terbaik dalam hal apapun dengan kemampuan yang di miliki oleh masing-masing individu. Teladan yang baik mampu menarik perhatian orang-orang untuk masuk ke dalam Islam.

Penulis mencoba mengangkat tema tentang adab ini karena berawal dari keprihatinan penulis tentang akhlak peserta didik yang kurang  memperhatikan sikap yang baik,  penulis berusaha mendalami lebih jauh tentang etika peserta didik dalam menuntut ilmu. peserta didik cenderung membantah dengan alasan yang kurang sopan ketika diberi teguran. Dalam hal ini seharusnya  peserta didik mengikuti anjuran pendidik selama masih dalam kebaikan dan  memuliakan pendidiknya sebagai pengganti orang tuanya dikarenakan  kemanfaatan ilmu yang akan dipelajarinya.

Adab adalah norma atau aturan mengenai sopan santun yang di  dasarkan atas aturan norman dan agama. Norma tentang adab ini di gunakan  dalam pergaulan antar manusia, antar tetangga, antar kaum. (Wikipedia). Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), mencari diartikan berusaha  mendapatkan (menemukan, memperoleh). Ilmu menurut para ahli adalah proses perbaikan diri terus menerus yang terdiri dari  pengembangan uji teoritis dan empiris. Einstein menyatakan bahwa pendidikan bukanlah menjelaskan tentang fakta-fakta empiris, namun pendidikan adalah bagaimana terjadi proses mengupgrade konsep berfikir peserta didik. Tentu saja jika adab siswa masih rendah akan sangat sulit bagi siswa untuk mampu menelaah dan memproses keilmuan digunakan sebagai bahan dalam proses berfikir.

Terkait adab ini erat kaitannya dengan sebuah dalil yang akan memandu kita dalam kehidupan sehari-hari yaitu:
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh berbuat yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah…”
(Q.S. Ali Imrân [3]: 110).

Ilmu ialah hal yang sangat berharga di dunia ini. Ilmu sebagai alat untuk menilai baik dan buruk, benar dan salah, halal dan haram. Allah zat yang ilmunya tidak ada sekutu dan ilmunya paling luas, Dia menunjukan tanda-tanda keluasan ilmunya dengan mengajarkan Nabi Adam berbagai macam nama-nama yang ada di jagad raya. Apalagi jika menyandarkan pada sebuah dalil yang menyebutkan bahwa ”SEBAIK-BAIK MANUSIA ADALAH YANG BERMANFAAT BAGI ORANG LAIN”. Jika setiap ilmuan menyandarkan pada kaidah ini tentu saja mereka akan selalu menjaga adab dan sikap dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena sangat pentingnya menjaga adab maka para pencari ilmu harus berlatih dan membiasakan diri dengan budaya menjaga adab yang luhur. Spirit memberikan manfaat kepada sesame manusia tentunya dengan sendirinya akan bisa menjaga adab dari si penuntut ilmu, karena selalu berfikir dan berprinsip untuk bisa menyumbangkan karya yang bermanfaat bagi sesame manusia.

Kriteria orang berilmu dibagi menjadi tiga yaitu, muqallid, muttabi’, mujtahid. Orang-orang ini merupakan orang-orang yang berilmu tetapi berbeda tingkatannya. Muqallid adalah orang yang ilmunya sedikit, dia adalah yang mengikuti ilmuan tanpa tahu dalil atau dasar dari suatu rujukan. Sebagai orang yang muqallid dia harus belajar dan bila ada kerancuan hukum dia belum boleh berfatwa tentang sebuah hukum keadaan sesuatu. Muttabi’ adalah orang yang berilmu dan masih menuntut ilmu. Kelebihan muttabi’ dia mengikuti ilmuan tetapi dia tahu dalil-dalil yang membuat dia tertuju kepada satu ilmuan tertentu dengan yakin. Mujtahid adalah orang yang mendalam ilmunya dan jika ada hukum yang masih rancu maka diharuskan seorang mujtahid ini mengeluarkan fatwanya.

Begitu pentingnya posisi ilmuan ini sehingga perlu dijaga adab dan perilaku para pelajar dalam menuntut ilmu. Sebab ilmuan ini akan menjadi rujukan dan tempat meminta fatwa oleh siapapun termasuk para penyelenggara yang nantinya jika banyak mendapat kesulitan akan meminta advice dari ilmuan. Berdasarkan hal ini ada beberapa adab yang harus ditegakkan oleh ilmuan yaitu;

1. Jangan menyombongkan diri

Seseorang yang menyombongkan diri karena keluasan ilmunya adalah salah besar. Allah berfirman:
“Dan janganlah engkau berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan bisa menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang seperti gunung”. (Q.S. al-Isra [17]: 37).

Allah memberikan sindiran kepada orang-orang yang sombong. Sombong dalam harta, tahta, ataupun dalam hal memiliki ilmu. Terbesit jelas apa yang tersirat dalam ayat tersebut, bahwa bagi orang-orang yang sombong dengan hal yang dimilikinya pasti ada yang lebih dari apa yang mereka sombongkan. Maka dari itu mereka yang menyombongkan ilmu yang mereka miliki, mereka tidak akan mampu menjulang seperti gunung.

2. Menjaga Ilmunya

“Bencana orang berilmu adalah lupa, dan membicarakan dengan yang bukan ahlinya”(Ibnu Abu Syaibah)
Sungguh benar-benar merugi orang-orang yang tidak menjaga ilmunya. Itu menjadi sebuah bencana bagi para penuntut ilmu, mereka mencari ilmu dengan susah payah namun mereka lupa akan ilmu-ilmunya.

Ada beberapa kiat-kiat untuk menjaga ilmunya, yaitu:

Pertama, Menulis. Ilmu yang tidak ditulis bagaikan unta di padang pasir, unta tersebut jika sudah lepas sangat mudah untuk hilang. Itulah ilmu yang diibaratkan dengan unta lepas. Dia akan mudah lupa jika tidak diikat dengan tulisan, dan setelah lupa tidak ada lagi yang harus di ingat karena tidak ada lagi yang membekas baik di fikiran maupun di tulisan. Maka sangat penting ilmu itu ditulis, sebagai bahan muroja’ah ataupun sebagai bahan untuk mengajarkannya kepada orang lain.

Kedua, Muroja’ah. Muroja’ah menjadi sangat penting sebagai kiat untuk menjadikan terjaganya ilmu yang dihafal. Muroja’ah juga bisa sebagai metode untuk mengkoreksi jika ada hal yang kurang dalam ilmu-ilmu yang didapat. Sedikit kisah tentang Imam Bukhari, ia seorang imam besar perawi hadist-hadist yang sahih. Setiap setelah beliau belajar dengan seorang guru, beliau selalu mencatat dan me-muroja’ah ilmunya di rumah. Ini adalah tanda keteladanan seorang yang berilmu. Dia giat dan selalu bersemangat dalam menuntut ilmu.

3. Mengamalkan

Semaksimal tingkatan seorang yang berilmu adalah mengamalkannya. Sungguh orang yang mengamalkan ilmunya dia sungguh telah benar-benar menjaga ilmunya. Menjaga ilmunya dari kepunahan, karena akan dikaji oleh murid-muridnya. Sekaligus amal jariyah bagi yang mengamalkan ilmunya. Sebagaimana yang dikatakan dalam Hadist:
“Jika seseorang meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara yaitu sodaqoh jariyah, ilmu yang diamalkan dan anak yang sholeh”. (H.R. Muslim no. 1631)

4. Amanah dalam menyampaikan

Seorang yang berilmu dilihat dari cara menyampaikan ilmunya dia harus amanah. Sesuai dengan redaksi yang diterima dari guru-gurunya yang terdahulu. Bukan hanya dengan kepentingan hawa nafsunya saja. Dia menafsirkan sendiri dengan keterbatasan ilmunya dalam bidang tertentu.

Sifat amanah dalam menyampaikan ini menjadi tolak ukur para ulama dalam menentukan bahwa dia berilmu atau tidak berilmu. Sebagai contoh adalah bagaimana terciptanya hadist-hadist yang muttawatir dan sahih. Di mana para perawi hadist tersebut adalah orang-orang yang kesehariannya sangat amanah dan zuhud, maka terciptalah hadist yang bisa dijadikan hukum. Dan jika salah seorang dari perawi hadist tersebut tidak amanah maka bisa disimpulkan bahwa hadist yang redaksinya dari perawi tersebut tidak bisa dijadikan hujjah untuk menentukan hukum.

5. Lemah lembut dalam menyampaikan

Sebagaimana yang terdapat dalam surat Ali Imrân ayat 159, “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu…” (Q.S. Ali Imrân [3]: 159).

Dalam tafsir ibnu katsir menjelaskan bahwa Allah telah merahmatkan kepada Rasul-Nya hati yang lemah lembut sehingga umatnya menerima dengan apa yang dikatakan oleh Rasul-Nya. Maka umatnya tersebut menaatinya menjauhi yang mungkar dan mendekati yang ma’ruf. Allah juga menjadikan tutur kata Nabi Muhammad ` terasa sejuk dan lembut sehingga umatnya betah berlama-lama dengan Nabi Muhammad.

Apa yang disebutkan barusan adalah contoh bagi orang-orang yang berilmu jika ingin mengamalkan ilmunya dengan cara lemah-lembut. Itu sangat menentukan kualitas ilmu seseorang. Karena orang yang berilmu tahu lemah-lembut adalah cara bagaimana sampainya ilmu kepada penuntut ilmunya.

Ketinggian ilmu seseorang tercerminkan dari tebalnya rasa kasih saying kepada semua manusia dan makhluk serta seluruh alam dan seisinya. Hal ini dikarenakan orang yang memilki ilmu yang tinggi tidak membutuhkan pujian dan balasan dari manusia lain, bahkan ilmuan sejati cenderung untuk memberikan kebermanfaatan kepada semua manusia. Teringat kisah Nabi Muhammad SAW yang pada awal menyampaikan ilmu disambut dengan lemparan batu, karena rasa kasih dan sayangnya maka beliau tetap teguh dengan penuh kesabaran menyebarkan keilmuan dimana ilmu yang disebarkan adalah berkaitan dengan pegangan hidup manusia agar tidak tersesat dan menderita hidup di dunia bahkan jika mengamalkan apa-apa ilmu yang disampaikan Nabi Muhammad maka akan mendapatkan petunjuk dan penerang dalam kehidupan. Sehingga siapa saja yang menerapkan ilmu yang berkualitas akan mendapatkan keberuntungan dan ketentraman dalam kehidupan sehari-hari.

Dr. Daduk Merdika Mansur
Praktisi dan Peneliti Human Capital Development

Share
Leave a comment