Bisma Yang Agung Gugur

TRANSINDONESIA.CO | Bisma putra Gangga yang dikatakan Agung karena kesaktian kehebatan dalam olah jiwa dan memiliki banyak karunia kedewataan. Namun sesungguhnya Bisma dikatakan Agung karena keutamaan atas hidupnya dan pengorbanannya.

Bisma putra Dewi Gangga seorang bidadari yang menitis manusia. Umur yang sangat panjang merupakan anugerah dari para pararsu yang ditolong reinkarnasi oleh ibunya. Keberanian mengambil sumpah untuk meletakkan tahta Hastinapura yang menjadi haknya agar ayahandanya dapat menih lagi dengan Dewi Setyawati. Sumpah itupun masih diragukan karena khawatir anak keturunannya menuntut balas. Bisma pun mengambil sumpah untuk melajang seumur hidupnya. Bisma membantu adik adik nya mencarikan istri yang salah satunya bernama Dewi Amba yang begitu mencintainya dan berharap kepada Bisma. Tentu saja Bisma sudah terikat akan sumpah dan janjinya. Dewi amba sangat kecewa merana hingga ajal kematiannya. Dalam sumpahnya dewi Amba akan menuntut balas dan menjemput Bisma di Kurusetra yang merupakan medan perang Bharata Yuda.

Bisma yang Agung tak tertandingi ia mengamuk membabi buta tatkala di perang Bharata Yudha bahkan ia sesumbar tak ada yang bisa mengalahkannya. Basudewa Krisna menasehatinya malah diajaknya beradu argumentasi. Basudewa Krisna mengatakan bahwa ia bisa mengalahkan Bisma tanpa senjata. Ia turun dari keretanya mengambil roda kereta dan diarahkan ke Bisma dan bisma memanah Basudewa Krisna dan menjadi puluhan anak panah. Namun tatkala mendekati tubuh Basudewa Krisna semua anak panah itu berhenti dan dunia pun seakan berhenti. Roda kereta di tangan Krisna menjadi senjata Dewa Wisnu ada ditangannya siap menghukum Bisma yang agung. Bisma segera menyadari siapa yang dihadapinya. Ia berlutut pasrah dan memohon maaf atas kejumawaan dan kesalahannya.

Basudewa Krisna memberikan pencerahan kepada Bisma bahwa : Keserakahan membuat jumawa lupa akan kebaikan kebenaran bahkan mematikan bagi manusia dan kemanusiaan. Bisma seakan buta akan kebenaran dan hanyut pada ketamakan dunia menyesatkan hidup bahkan kehidupan manusia. Keduniawian tanpa kendali kebahagiaannya semu. Hanyalah fatamorgana yang fana. Kalau saja Bisma sadar maka ia bisa saja mencegah perang Bharata Yuda yang berbuah rasa duka malu kecewa sarat dengan kesakitan bahkan kematian. Hidup dan kehidupan bagai suatu proses perjalanan tak jarang juga merupakan suatu permainan yang bercampur antara keutamaan kelicikan kejahatan untuk bertahan hidup dan berkembang, kebebasan memilih adalah sesuatu kemerdekaan bagi setiap manusia. Kehormatan diperoleh bukan dari pangkat derajat kekayaan kepandaian bahkan juga kekuasaannya melainkan dari kelakuan, amalan dan kemanfaatan bagi sesamanya. Faktanya Bisma malah mendukung Kurawa yang diselimuti angkara murka.

Bisma menyadari akan kesalahan ia memohon maaf kepada Basudewa Krisna dan siap menerima hukuman. Di saat itu ia menyadari dan merasakan bahwa : Hidup merupakan suatu kesempatan untuk memenuhi harapan menjadi kenyataan, tatkala hidup tanpa pengharapan maka kesempatan akan tertutup dan tiada lagi kenyataan yang akan diwujudkan. Kini ia hanya menanti dibebaskan atas belenggu belengu keduniawian yan merupakan dosanya. Ia sadar bahwa ia akan dijemput Dewi Amba melalui panah Srikandi.

Kisah kisah dari cerita pewayangan adalah bayangan sebagai refleksi atas hidup dan kehidupan manusia, dari keluhuran budi hingga kejahatan jiwa manusia ada di sana, yang semuanya berakhir atas karmanya. Angkara murka lebih mudah merasuk dibandingkan keutamaan hidup, karena angkara murka menjanjikan dan memberikan kebebasan pemenuhan hawa napsu, sebaliknya keutamaan hidup justru membatasi bahkan mengekang hawa napsu. Kata kata manis sering dianggap lebih menyenangkan menentramkan hati walau sebenarnya itu sebenarnya jilatan jilatan berbisa yang menjerumuskan hidupnya. Sebaliknya kata kata pedas dianggap pahit dan menyakitkan hati yang sebenarnya suatu obat yang menyelamatkan hidupnya

Bisma akhirnya tertembus 0anah Srikandi yang terus dihujani panah panah dari Pandawa lainnya. Bisma diberi ijin melihat sampai akhir perang Bharata Yudha. Jiwanya tenang tak lagi merana. Dalam kesendiriannya pikiran perkataan perbuatannya dan hawa nafsunya telah ia kuasai bahkan belenggu hal hal yang duniawi  terlepas daripadanya. Mata hati dan suara hati mulai terdengar lagi menggema menemani dalam kesendiriannya. Hidup dan kehidupan Bisma yang Agung bagai perjalanan dan peziarahan panjang untuk menemukan  keutamaan hidup. Keagungannya karena perjuangan dan proses panjang yang mampu mengalahkan diri sendiri.*

Pusdik Lantas 090921
Chryshnanda Dwilaksana

Share
Leave a comment