Seni sebagai Kebutuhan Adab?

TRANSINDONESIA.CO | Masa pandemi Covid-19 memutus rantai sosial sebagai mahkluk sosial. Kita dapat mensyukurinya walau tetap berat keadaannya karena media masih dapat menjembatani. Manusia untuk dapat bertahan hidup tumbuh dan berkembang selain terpenuhinya kebutuhan primer maupun skunder juga terpenuhinya kebutuhan adab. Kebutuhan adab setidaknya dapat dipahami sebagai kebutuhan manusia sebagai mahkluk sosial. Seperti berkumpul atau bertemu dalam hubungan komunitas, komunikasi, pamer, menunjukkan pemikiran dan hasil kerja bahkan melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan sebagai seni.

Seni tatkala dimaknai sebagai bagian dari hidup dan kehidupan manusia untuk bertahan hidup, tumbuh dan berkembang maka seni menjadi kebutuhan adab. Seni menjadi hak setiap orang. Apakah setiap orang dalam hidupnya melakukan suatu seni? Jawabnya iya. Hanya saja mampu ditangkap ditumbuhkembangkan atau tidak. Seringkali hidup dan kehidupan manusia dianggap sesuatu yang biasa biasa saja. Atau seni dipahamkan dengan derajat kasta atau dalam konsep yang absurd jauh dari fenomena kehidupan. Apalagi kalau sudah masuk pasar maka ada politik seni di situ. Goreng menggoreng maknaan yg rumit seolah zigzag dalam labirin yang memusingkan kepala. Dengan demikian seni yang ada menjadi terstratifikasi. Seni seakan hanya milik golongan tertentu atau kaum kaum yang punya kuasa atau dekat dengan yang berkuasa. Sejarah mencatat atau dicatat sesuai apa yang diinginkan penguasa atau sebagai buluh bekti glondong pangareng areng bagi yang berkuasa.

Tatkala seni bagian dari dominasi kekuasaan maka kaum kebanyakkan dianggap orang kecil. Orang yang tidak berseni, tidak paham seni bahkan kaum yang kurang tata krama tidak sesuai dengan umpan papan yang dibangun atas peradaban kekuasaan. Kaum ningrat seni menjadi punggawa kuasa penilai. Bahkan dampaknya pendidikan seni dimarjinalkan. Lihat saja betapa imajinasi anak anak dari generasi ke generasi dimatikan dari pemahaman pengalaman dan pemenuhan kebutuhan dialihkan menjadi hafalan. Seni bukan yang utama namun sebagai milik golongan tertentu saja. Tatkala kuasa tiada seni maka alan kering kekuasaannya. Bisa saja malah mengabaikan dalam berbagai kebijakannya.*

Senja Sumeng 280821
Chryshnanda Dwilaksana

Share
Leave a comment