Kritik Politik Biasa Biasa Saja atau Luar Biasa?

TRANSINDONESIA.CO | Mengkritik di arena politik sebenarnya hal biasa saja. Arena politik, ruang perebutan kekuasaan dan penguasaan atas dominan dan pendominasian eksplorasi sumberdaya atau juga pendistribusian sumber daya. Dalam konteks ini tentu ada tujuan yang akan dicapai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk dapat melindungi segenap tumpah darah bangsa, mensejahterakan, mencerdaskan, konteks luas lagi dengan keadilan sosial dengan musyawarah mufakat.

Konflik dimulai tatkala ada isu isu di dalam perebutan sumber daya dan perebutan pendistribusian sumber daya. Dari diskriminasi, ketidak adilan, korupsi, pelanggaran HAM, dll. Isu isu yang dilontarkan akan dikemas dan diviralkan melalui media. Pengemasan ini by design bukan sekedar dilempar.

Lempar melempar issue di era post truth menjadi semakin viral semakin dianggap sebagai kebenaran. Isu isu yang menjadi viral dianggap kebenaran akan menjadi labeling dan tatkala terus dihembuskan maka siapa saja yang kena label buruk apa saja yang dilakukan buruk, salah. Demikian sebaliknya tatkala dilabel baik apapun yang dilakukan dipercaya bahkan dibela. Arena lempar lemparan isu ini seringkali dikatakan sebagai kritik. Yang dikritik biasanya langsung bertanduk mengatakan itu sirik. Debat kusir dalam dunia virtual menggelinding lupa tata krama. Semua dianggap bebas sebebas bebasnya apa saja boleh, tidak lagi peduli apa saja siapa saja bisa dibully.

Tatkala memuncak sudah sampai pada kebencian maka tinggal menunggu triger untuk mengaktualisasikan dalam dunia nyata. Tatkala di dunia aktual terprovokasi dunia virtual maka konflik sosial ini dapat terjadi bahkan hingga chaos dengan tindakan anarkis. Dunia virtual mendesign opini. Seakan ia bisa menghitamkan atau memutihkan logika pubik. Ke kanan ke kiri ke atas ke bawah ke manapun bisa dilakukan. Serang menyerang buzer menjadi pilihan. Ini semua di design dan digerakkan kaum berotak. Bukan orang biasa. Kaum intelektual paham dan memanfaatkan era post truth melalui media. Media menjadi ruang mengobok obok opini publik. Yang semestinya apa yang jadi amanat konstitusi dapat dilakukan di sini.

Media menjadi jembatan virtual dan aktual maka akan menjadi arena atau bahkan pasar apa saja bisa dilakukan di situ. Akankah dunia virtual menjajah dunia aktual? Bisa saja begitu, tatkala sumber daya manusianya gampang dibodoh bodohi, mudah diadu domba.

Kedangkalan pengetahuan dan daya nalarnya membuat lebih mudah diwarnai logika dan akal sehatnya. Parahnya tatkala kepercayaan publik menguap, apa saja mudah dihembuskan dan disuntikkan ke dalam persepsi imajinasi mereka. Premanisme virtualpun terjadi. Makelar makelar virtual semakin merajalela. Kritik bukan lagi hal kritikal entah apa saja bisa dimasukkan. Semua serba pokok e walaupun yang keluar pekok e.*

Jelang Tengah Hari 070821
Chryshnanda Dwilaksana

Share