TRANSINDONESIA.CO | M. Zahrin Piliang
السلا م عليكم ورحمة الله وبركاته
ان الحمد لله نحمده و نستعينه و نستغفره و نعوذ بالله من شرور انفسنا و من سيئات اعمالنا من يهده الله فلا مضل له و من يضلله فلا هادي له
لا نبي بعده اشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له و اشهد ان محمدا عبده و رسوله
الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ءَالِهِ وَاَصْحَابِهِ اجمعين وَمَنْ تَبِعَهُم باحسان اِلَى يَوْمِ الدِّيْن
ياايها الناس اوصيكم و اياي بتقوى الله فقد فاز المتقون – قال تعالى- ياايها الذين ءامنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن الا و انتم مسلمون – ياايها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة و خلق منها زوجها و بث منهما رجالا كثيرا و نساء واتقوا الله الذي تساءلون به والارحام ان الله كان عليكم رقيبا – ياايها الذين ءامنوا اتقوا الله و قولوا قولا سديدا – يصلح لكم اعمالكم و يغفرلكم ذنوبكم ومن يطع الله و رسوله فقد فاز فوزا عظيما
Jamaah shalat Iedul Adha Rahimakumullah.
Hari ini, kembali kita mengenang peristiwa spiritual dari rangkaian pelaksanaan ibadah Haji sebagaimana disyariatkan ajaran Islam. Tiga sosok manusia digambarkan oleh Allah sebagai orang yang patut menjadi teladan bagi siapa saja yang sedang menjalankan amanah yang diembannya.
Ketiga sosok itu adalah Ibrahim AS, Ismail AS, dan Muhammad Rasulullah SAW. Ibrahim, tokoh sentral dalam rangkaian ibadah haji ini digambarkan sebagai sosok yang begitu teguh menjalankan amanah yang diperintahkan Allah padanya.
Lama berharap, bahkan dalam usia yang sudah renta baru mendapatkan seorang anak, yang menjadi pelerai demam, buah hati sibiran tulang. Namun, pada usia tertentu (sanggup berusaha bersama Ibrahim) Ismail harus disembelih. Itulah perintah Tuhan kepada Ibrahim AS (QS. Al- Shafaat/37 : 102).
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha, Ibrahim berkata : Wahai anakku, Sungguh aku melihat dalam mimpiku bahwa aku harus menyembelihmu!
Apa pendapatmu wahai anakku?
Ismail menjawab: Duhai Ayahanda, kerjakan apa yang diperintahkan padamu In Shaa Allah ayah akan menyaksikan anakmu ini termasuk orang-orang yang sabar.
Sungguh lugas jawaban Ismail. Jawaban yang mencerminkan tingkat iman yang tinggi atas apa yang diperintahkan Allah kepada ayahnya. Dan Ibrahim pun, tak bertindak otoriter, walau kewenangan mutlak itu ada padanya.
Sebagai ayah, Ibrahim masih bertanya pada anaknya: bagaimana pendapatmu tentang perintah itu?
Sungguh, suatu suri tauladan yang patut diteladani oleh para orangtua dalam mendidik anak-anaknya.
Perjuangan Ibrahim tak terbatas pada bagaimana ia melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih anaknya. Melainkan juga menegakkan keadilan di hadapan Raja yang zhalim. Juga Ibrahim tidak segan-segan memprotes Ayahnya Azar, sang pembuat patung berhala. Kepada ayahnya, Ibrahim mengingatkan agar berhenti membuat dan menyembah patung berhala itu. ..”Pantaskah engkau (wahai ayahku Azar) menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhanmu? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata…” (QS. Al-An’am : 74). Azar sangat marah pada Ibrahim, lalu mengusirnya. Tapi Ibrahim tak pernah sedikit pun menghentikan perjuangannya menegakkan tauhid.
Sebagai lanjutan dari perjuangan menghabisi berhala-behala itu. Ibrahim merusak semua patung-patung yang jadi sesembahan mereka.
Hanya satu yang tidak dirusak Ibrahim, yaitu patung berhala paling besar, yang di lehernya digantungkan kampak besar. Tatkala Raja Namrudz mengetahui bahwa yang merusak patung-patung itu adalah Ibrahim, Raja Namrudz sangat murka. Ketika Ibrhaim dipanggil untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, Ibrahim membantah dialah perusak berhala-berhala itu. Beliau berkata, patung paling besar itulah yang merusak berhala-berhala yang lain itu.
Namrudz tidak percaya. Namrudz memerintahkan rakyatnya mengumpulkan kayu untuk membakar Ibrahim. Tetapi Ibrahim tak putus asa. Ia berdoa agar api itu tak membakarnya. Atas kekuasaan Allah Ibrahim selamat. Allah langsung memerintahkan api agar menjadi dingin, “qul yaa naaru kuunii bardan wa salaman ‘alaa Ibrahim” (Katakanlah, wahai api, jadilah engkau dingin untuk keselamatan Ibrhaim).
Jemaah Idul Adha Rahimakumullah
Di luar itu, Ibrahim sesungguhnya adalah tokoh sentral dalam penegakan keadilan dan pemberantasan perbudakan, perintis dan penegak hak-hak asasi manusia. Sejarah perbudakan di dunia tidak tunggal, ia ada dalam beragam budaya, kebangsaan, dan agama, sejak dari zaman kuno hingga sekarang. Dalam sistem perbudakan, kedudukan sosial, ekonomi dan hukum para budak juga berbeda dalam waktu dan tempat yang berbeda.
Sistem perbudakan dapat diketahui bermula dari catatan-catatan kuno, seperti di Mesopotamia berupa Kode Hammurabi (1860 SM), yang merujuk pada sebuah lembaga yang berdiri masa itu. Ini merupakan hal umum yang ada pada bangsa-bangsa kuno seperti Sumeria, Mesir Kuno, Akkadia, Elamit, Asiria, Babilonia, Hattia, Hittit, Amorit, Yunani Kuno, Kanaan, Eblait, Hurria, Mitanni, Israel, Persia, Medes, Kassit, Luwia, Moabit, Edomit, Ammonit, Armenia, Khaldea, Filistin, Skitia, Nubia, Kushit, dan lain-lain.
Sejarah juga mencatat, bahwa piagam tertua yang memuat aturan tentang perbudakan ditemukan pada Kode Ur-Nammu dari Sumeria. Piagam batu itu, konon berasal sekitar 2100 tahun Sebelum Masehi. Selain Kode Ur-Nammu juga ada Piagam lain yaitu Kode Hammurabi (seperti disebut di atas) yang diperkirakan sudah ada pada tahun 1760 Sebelum Masehi. Isinya berupa ancaman hukuman mati bagi siapapun yang membantu seorang budak melarikan diri.
Ketentuan yang mengatur perbudakan dalam kedua piagam itu (dan juga piagam-piagam dari daerah lain) menunjukkan bahwa di tempat-tempat itu, perbudakan bukanlah hal baru, melainkan sudah menjadi pranata sosial dan budaya di tempat masing-masing.
Sejak manusia mengenal peradaban di lembah Sawad (Mesopatamia, Irak sekarang) 6000 tahun lalu, persoalan keadilan sebagai puncak dari hak asasi manusia merupakan tantangan hidup yang tidak pernah berhenti diperjuangkan. Nabi Ibrahim AS, seorang tokoh dari Ur atau Kaldea, Mesopatamia, bermukim dan wafat di Kan’an, atau Palestina Selatan sekarang ini, berhadapan dengan Raja Namrudz menentang setiap bentuk perbudakan, kesewenang-wenangan.
Sistem perbudakan ini berlanjut dalam sejarah kehidupan bangsa-bangsa di Eropa, Amerika, Asia, dan di seluruh pelosok negeri di dunia ini. Sejak zaman gelap, sistem perbudakan itu menghiasi kehidupan Kerajaan, Kekaisaran, dan bahkan negara Republik dalam bentuk eksploitasi terhadap manusia, hingga pada Perang Dunia I dan II. Bahkan, di negara-negara yang sudah merdeka sekalipun sisa-sisa perbudakan itu juga masih ada, dalam bentuk perbudakan modern, yang pada intinya adanya perlakuan yang berbeda terhadap manusia, baik karena alasan ras, suku, agama, maupun golongan.
Sistem perbudakan kuno dan modern inilah, antara lain yang mendorong lahirnya keinsyafan manusia akan harga diri, harkat dan martabat kemanusiaan. Manusia, sadar, bahwa setiap orang lahir dalam kedudukan yang sama; semua orang memiliki hak untuk hidup, dan mendapat perlakuan yang layak di antara sesama manusia.
Kesadaran itulah yang kemudian melahirkan perjuangan menegakkan HAM, mendorong agar kekuasaan negara dibatasi, sehingga tidak terjadi lagi kesewenang-wenangan negara terhadap rakyat. Bahkan, adanya tuntutan terhadap negara, agar tidak lagi sekedar melakukan kesewenang-wenangan, melainkan juga negara harus menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) hak-hak asasi manusia tersebut.
Banyak pihak menyebut Inggris sebagai negara pertama di dunia yang memperjuangkan hak Asasi Manusia. Hal ini dapat diverifikasi melalui berbagai dokumen kenegaraan yang berhasil disusun dan disahkan. Magna Charta 15 Juni 1215 selalu dijadikan patokan. Piagam yang memuat prinsip-prinsip pembatasan kekuasaan raja, sekaligus menempatkan hak asasi manusia lebih penting dari kedaulatan raja. Magna Charta ini dianggap sebagai pertanda kemenangan telah diraih, karena hak-hak tertentu yang sangat prinsipal sudah diakui dan dijamin oleh pemerintah. Tetapi itu hanya berlaku bagi kepentingan para Baron, suatu kelompok masyarakat elit di Inggris pada masa itu.
Padahal, jauh sebelum ini, di tahun 643 M, Muhammad sebagai Nabi dan Rasul Allah yang terakhir, menyampaikan pidato kemanusiaan (oratio de hominis dignate atau De hominis dignate oratio) yang paling fundamental, saat jemaah Haji berkumpul di Padang ‘Arafah. Dalam pidato itu, antara lain beliau menegaskan: “Sesungguhnya darahmu, harta bendamu dan kehormatanmu adalah suci atas kamu, seperti sucinya hari (haji)-mu ini, dalam bulanmu (bulan suci Dzulhijjah) dan di negerimu (tanah suci) ini.”
Beliau berpesan, agar pidato ini disampaikan kepada mereka yang tidak hadir hari ini. Pidato Arafah ini merupakan “pidato perpisahan” Nabi dengan umatnya, karena beberapa bulan kemudian beliau wafat.
Sebelum wafat, beliau banyak sekali meninggalkan pesan terutama tentang prinsip-prinsip kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi, dan karena itu umat Islam harus menjaganya. Setiap pribadi (individu) manusia harus dihormati hak-haknya, karena setiap pribadi mempunyai nilai kemanusiaan sejagad (universal). Di antara pesan pidato beliau menjelang beliau wafat, itu terdapat pernyataan tentang hak-hak asasi budak dan buruh: “Wahai manusia, ingat Allah! Ingat Allah, berkenaan dengan agamamu dan amanatmu! Ingatlah Allah, berkenaan dengan orang yang kamu kuasai di tangan kananmu (budak, buruh, dan lain-lain). Berilah mereka makan seperti yang kamu makan, dan berilah mereka pakaian seperti yang kamu kenakan,! Janganlah mereka kamu bebani dengan beban yang mereka tak mampu memikulnya, sebab mereka adalah daging, darah dan makhluk seperti kamu! Ketahuilah bahwa orang yang bertindak zalim kepada mereka, maka akulah musuh orang itu di Hari Kiamat, dan Allah adalah Hakim mereka”.
Paham kemanusiaan yang sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia ini, dengan berbagai saluran, akhirnya sampai juga ke Eropa, tumbuh, dan berkembang di sana.
Adalah Giovanni Pico Della Mirandola, menurut Nurcholis Madjid, orang pertama yang mengetengahkan faham kemanusiaan ini di Eropa pada zaman Renaissance, di hadapan para pemimpin Gereja. Dalam pidato pembukaannya, sebagaimana dikemukakan Madjid, Mirandola mengatakan, “Saya telah membaca, para Bapak yang suci, bahwa Abdullah seorang Arab Muslim, ketika ditanya tentang apa kiranya di atas panggung dunia ini, yang dipandang paling menakjubkan, ia menjawab: kemanusiaan. Akibat pidatonya ini, Mirandola dimusuhi geraja, lalu “bertobat”, namun pidato tersebut sekaligus menjadi salah satu fondasi paham kemanusiaan dan keadilan di Barat, yang kemudian kita kenal dengan Humanisme modern.
Jika memperhatikan perkembangan pemikiran tentang Hak Asasi Manusia, maka dapat dikatakan, bahwa pidato Rasulullah SAW. Pada 10 Dzulhijjah 10 H di Lembah Uranah, Gunung ‘Arafah, merupakan “Pidato Kemanusiaan” (Oratioe de hominis dignate) yang pertama di dunia, dalam konteks perumusan Hak Asasi Manusia. Setelah itu, lebih dari 700 tahun kemudian, muncul pidato kedua di Eropa (Italia) melalui lisan Giovanni Pico Della Mirandola, seorang pemikir humanis, di hadapan para pemimpin gereja Italia di abad ke 15.
Selanjutnya, muncul pidato ketiga yang lebih sistematis dan modern dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh PBB dan seluruh traktat atau kovenan-kovenannya pada 1948. Namun, harus diingat bahwa Deklarasi Universal itu hanyalah satu titik, mungkin merupakan titik terakhir, dari perjalanan umat manusia menemukan jati dirinya, dan untuk menghormati dan melindungi jati dirinya tersebut. Deklarasi Universal itu, menurut Madjid, merupakan “hasil bersih” atau “hasil akhir” dari proses pertumbuhan yang panjang yang ditempuh umat manusia dengan susah payah dalm mendapatkan keadilan. Karena itu, kata Madjid, umat manusia harus mengetahui ini, sekaligus mengakui dan disadari bersama.
Dengan demikian, Idul Adha ini, dari perspektif pidato ‘Arafah adalah tonggak sejarah pemikiran dan perjuangan Hak-Hak Asasi Manusia. Hal ini bukanlah sesuatu yang aneh dari rangkaian ajaran Islam. Alquran pada surat Al-Hujarat ayat 13 menyebutkan:
وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا شُعُوْبًا اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ
اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ayat ini secara gamblang juga menjelaskan bahwa manusia di mata Allah memiliki kedudukan yang sama dan setara. Tidak ada perbedaan antara orang Arab dengan non Arab. Semuanya sama. Karena itu, seseorang atau kelompok tidak dibenarkan saling merendahkan satu sama lain. Yang mampu membedakan manusia yang satu dengan manusia lainnya hanyalah derajat ketakwaannya, prestasi imannya.
Secara tegas ayat ini melarang manusia melakukan segala bentuk tindakan kebencian kepada sesama manusia dengan mengatasnamakan suku, ras, agama, dan lain sebagainya.
Demikianlah, sholat Idul Adha yang kita selenggarakan ini, bukan hanya sekedar ibadah ritual dalam bentuk sholat dan berqurban, melainkan juga mengingatkan pada kita bahwa sesungguhnya Pidato Arafah di 10 Zulhijjah ini adalah pidato kemanusiaan yang patut direnungkan oleh semua pihak, mulai dari penguasa, pengusaha, kaum cerdik cendekia, hingga rakyat jelata. Bahwa tindakan sewenang-wenang, adalah perbuatan yang melanggar secara nyata bukan hanya HAM, melainkan ajaran Allah Swt. Bahwa penegakan keadilan adalah perjuangan panjang yang terus menerus harus dilakukan sepanjang kehidupan umat manusia. Umat Islam harus menjadi penerus Ibrahim, Ismail, dan Muhammad Rsulullah SAW untuk menegakkan keadilan, menjunjung tinggi harkat kemanusiaan. Umat Islam tidak boleh membiarkan terjadi pelanggaran HAM terhadap rakyat baik yang dilakukan oleh individu, corporate (perusahaan), apalagi aktor-aktor Negara.
Pembunuhan terhadap 6 orang warga Negara di KM 50 jalan toll oleh oknum atau aktor-aktor Negara tidak boleh dibiarkan hilang ditelan isu Pandemi Covid-19, atau jika pun telah memasuki peradilan, umat Islam harus waspada kemungkinan terjadi peradilan sesat.
Umat Islam sudah dengan kasat mata menyaksikan betapa penegakan hukum masih diskriminatif. Dr. Lois yang nyata-nyata sudah diperiksa oleh kepolisian karena menyebarkan hoax soal covid-19 malah dibebaskan alias tidak ditahan, sementara HRS atau pihak lain yang dituduh memalsukan hasil SWAB justru ditahan dan divonis bersalah.
Menegakkan keadilan adalah jalan menuju kemuliaan, jalan membebaskan kaum lemah dari penindasan. Jangan sempat kaum mustdh’fin ini berdoa kepada Allah, agar kepada mereka dikirim pemimpin sejati, karena kita berpangku tangan menyaksikan ketidakadilan berkeliaran di depan mata. Allah berfirman dalam QS. Al-Nisa’ : 75 sbb:
وما لكم لاتقاتلون في سبيل الله والمستضعفين من اارجال والنساء والولدان الذين يقولون ربنا اخرجنا من هذه القرية الظالم اهلها واجعلنالنامن لدنك نصيرا
Mengapa kamu tidak mau berjuang di jalan Allah dan membela orang-orang yang tertindas, yang terdiri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak; yang mereka itu berdo’a, Ya Tuhan kami! Keluarkan kami dari negeri yang penduduknya berbuat durjana (zalim) ini, dan kirimlah kepada kami Pemimpin sejati.
Karena itu ibadah Idul Adha yang kita laksanakan setiap tahun, yang ditandai dengan menyembelih hewan qurban itu, hendaknya tidak sekedar peristiwa rutin tahunan belaka, melainkan ibadah ini menjadi pembangkit kesadaran dan penguat komitmen kita untuk menegakkan keadilan, mengimplementasikan spirit pidato Arafah Rasulullah 10 Zulhijjah itu, dan melakukan reformasi social di tengah-tengah masyarakat, di negeri yang pemimpinnya suka berbohong, tidak menepati janji, dan yang langkah-langkah politiknya selalu menyudutkan umat Islam. Mereka yang melakukan reformasi sosial itulah sesungguhnya yang disebut pemimpin sejati.
Semoga dari jemaah masjid ini, kelak akan lahir pemimpin sejati itu.
Untuk menguatkan komitmen itu, di akhir khutbah ini, marilah kita berdo’a kepada Allah, sambil menengadahkan tangan, memohon petunjuk dan ampunan-Nya, atas segala penyimpangan dan dosa yang kita lakukan hingga di usia kita sekarang ini. Kita berdo’a agar rakyat tidak mengalami penindasan oleh penguasa yang zalim, agar kaum miskin dan anak-anak yatim terangkat derajat mereka, agar kehidupan kita di Negara Pancasila ini semakin lebih baik di bawah lindungan Allah Yang Maha Pengampun.
اللهم اغفر للمسلمين والمسلمات والمومنين والمومنات الأحياء منهم ولاموات انك سميع قريب مجيب الدعوات ويا قضى الحجات . اللهم اغفرلنا ذنوبنا ولى وا لدينا ورحمهما كما ربينى صغيرا. ولجميع المؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات برحمتك ياأرحم الراحمين
Ya Allah, kami berlindung pada Engkau dari hal-hal yang memalingkan kami dari-Mu, dan dari setiap hambatan yang akan menghalangi kami dari-Mu,
Demi kemuliaan-Mu, walau Engkau tolak kami mengetuk pintu-Mu, kami akan tetap menanti di depannya, karena hati kami telah terpaut pada-Mu,
Kami mengabdi kepada-Mu bukan karena takut pada neraka-Mu, tidak pula karena ingin masuk surga-Mu, tetapi kami mengabdi karena cinta kami pada-Mu, Tuhan kami, jika Engkau kami puja, karena takut pada neraka-Mu, maka bakarlah kami di dalamnya, dan jika kami memuja-Mu karena mengharapkan surga-Mu, maka jauhkan kami darinya, tetapi jika kami memuja-Mu semata-mata karena-Mu, maka janganlah Engkau sembunyikan kecantikan-Mu yang kekal itu dari kami,
Hanya Engkaulah yang pantas dipuja, Engkaulah harapan kami, Engkaulah kebahagian kami, Engkaulah Sang Raja mahacantik, pesona dari segala pesona, ke arah mana segala yang ada di langit dan di bumi tertarik.
Engkaulah buah kerinduan segala jiwa, tempat berlabuh segala hati yang merindu; berilah kami ampunan-Mu atas dosa dan kesalahan yang pernah kami lakukan. Tiada kekuatan bagi kami kecuali atas kemurahan-Mu.
لاحول ولا قواة الا بالله العلى العظيم ربنا اتنا فى الدنيا حسنة وفى الاخرة حسنه وقنا عذاب النار . والحمد لله رب العا لمين ..
السلا م عليكم ورحمة الله وبركاتة