Baitul Maqdis Kita

TRANSINDONESIA.CO | Debu-debu itu bukan debu-debu yang biasa, tanah dan bumi itu pun lebih dari istimewa. Tak putus-putus para Nabi berjalan diatasnya, tak henti menunjukkan mukjizat bagi mata
Berkah berlapis-lapis memancar dari pusatnya, saksi perjalanan malam yang tak terlupa
Latar bagi kisah-kisah dalam Al-Qur’an mulia, menempati hati Muslim sebagai kiblat pertama

Tak layak jiwa yang lemah di tanah Palestina, para pengecut yang menyakiti Nabi Musa.
Tak patut hati penuh keserakahan bersamanya, yang bahkan mengeluhkan manna dan salwa.
Bagi yang sudah terbebas dari menghamba manusia, benteng dan gerbangnya lalu terbuka
Khalifah kedua Umar menggenapkan rencana, tunai sudah rancangan Rasulullah semasanya

Pasukan salib datang dengan pelajaran berharga, kekalahan telak itu ada saat shaff kita tak rata.
Saat keimanan ada dibawah kelompok dan fatwa, musuh menerobos menghinakan Masjidil Aqsha.
Tak lama hingga Muslim kembali menemukan senjata, persatuan yang lebih dari segala-galanya
Salahuddin datang membuka kembali gerbang kota, kedua kalinya Muslim menjaga damai dunia.

Sampai masa Abdul Hamid kedua penuh dilema, berjuang sendiri mempertahankan izzah Palestina
Zionis tak henti dengan semua siasat dan tipudaya, merampok Palestina lewat izin liga bangsa-bangsa.
Tak lama sebelum tusukan bilah pembunuh Amerika, akui israel penjajah biadab dirikan negara.
Maka nyawa tak lagi punya harga di Palestina, syahid adalah berita harian pertanda dekatnya surga.

Sepanjang lantunan ini mengisi ruang dengar kita, dentum bom jadi pengiring hari mereka.
Tiap pagi mereka berkata pada kawan mainnya, “Aku yakin adalah jatahku syahid hari ini, kiranya”.
Sedangkan kita hanya bisa berdonasi dan berdoa, sebab kekuatan dan persatuan kita masih hampa.
Sehari lagi saja kepemimpinan itu tertunda, sehari lagi juga kita beri waktu saudara kita terbunuh sia-sia.

Jangan kasihani penduduk Baitul Maqdis saudara, kasihani kemanusiaan yang hilang dari manusia.
Surga yang mereka ingin sama dengan surga yang kita pinta, hanya saja amal kita tampak jauh dari mereka.
Satu hari yang pasti kita berjalan di Tanah Palestina, yang Rasulullah kabarkan jadi pusat semua kita.
Satu saat persatuan itu pasti akan datang dengan atau tanpa kita, mengapa tak dimulai dari kita?

Felix Siauw

Share