TRANSINDONESIA.CO | Seni menjadi tanda karya manusia yang memiliki jiwa, imajinasi dan hati. Apa yang dibuat dengan sepenuh hati akan mentransformasikam jiwanya. Karyanya menjadi karya jiwa dan di dalam karyanya ada jiwanya.
Dialog antara jiwa dengan indera menangkap yang nampak dalam rupa, di situ getar getar dawai rasa menggerakkan hati. Dari mata turun ke hati dan dari hati muncul imajinasi. Di situ jiwa yang dituntun rasa mampu menelusuri relung-relung karya dan lorong lorongnya untuk dapat merasakan memahami apa yang dirasa dipikirkan bahkan menunjukkan jiwanya.
Jiwo ketok atau jiwa yang nampak kata sang maestro S Sudjojono untuk menunjukkan bahwa seni bukan semata mata teknis namun rasa dan jiwa yang dapat ditunjukkan dalam garis, warna, kata, rupa, nada, suara, gerak, dsb. Tanpa imajinasi memang sulit memahami. Imajinasi bukan hayalan namun kemampuan melihat makna di balik fenomena.
Menafsirkan secara obyektif dan bukan sekedar membunyikan atau melafalkan pujian atau sesuatu yang bersifat pseudo melainkan menangkap jiwa rasa dan pemikiran dari dialog jiwa dan indera yang akan menjembataninya. Suatu karya akan ada “greng” nya kata pelukis Widajat jika ada jiwanya.
Karya seni rupa yang merupakan karya jiwa dan di dalam karyanya ada jiwanya, kita bisa belajar dari karya-karya maestro dunia maupun Indonesia. Karya Edward Munch, Mac Chaggal, Paul Gauguin, Claude Monet, Henry Matise, Paul Cezane, Leonardo Davinci, Pablo Picasso, Rembrand, Vincent Van Gogh, Salvador Dali, Norman Rockwell, Degas, Edward Manet, Otto Dix, Albrech Durer, Raphael, Michelangelo, Paul Pieter Rubens, dsb, walaupun dalam gaya yang berbeda namun jiwa dalam karya mereka nampak kuat.
Garis dan warnanya seakan menunjukkan jiwanya. Kekuatan teknis, anatomi, pencahayaan, pemilihan warna, tarikkan garis emosi semua saling menyatu menguatkan mwnjadi karya yang berjiwa.
Dari para maestro seni rupa Indonesia kita dapat melihat karya karya seperti: Affandi, Hendra Gunawan, S Sudjojono, Basoeki Abdulah, Dullah, Widajat, Sujono Kerton, Sunaryo, Sri Hadi Sudarsono, Jeihan Sukmantoro, Dede Eri Supria, Heri Dono, Nasirun, Joko Pekik, I Gusti Nyoman Lempad, Nyoman Masriadi, Agus Suwage, Tisna Sanjaya, Putu Sutawijaya, Samuel Indratma, I Bagus Made Poleng, Tedja Suminar, Rustamadji, Nashar, Zaini, Oesman Effendi, Jumaldi Alfi, Hanafi, Suprobo, Mangu Putra, dan masih banyak lainnya. Karya karya mereka menjadi suatu tanda peradaban. Karya mereka karya ketulusan dengan jiwanya dan di dalam karyanya bukan sebatas benda semata namun di situ ada jiwanya.
Kekuatan karya jiwa dalam rupa akan nampak jiwanya dalam karya rupanya. Di sinilah sebenaenya kekuatan jiwa untuk saling menguatkan dan menunjukkan imajinasinya. Karya jiwa dan jiwa karya dalam rupa perlua dimaknai, perlu adanya kemasan dan marketing agar semakin dikenal luas dalam berbagai kalangan.
Media dibera digital mempengaruhi juga pembangunan karakter para warganet dalam berkarya. Seni sebagai ikon peradaban saja malah menjadi perusak peradaban. Seni akan mampu tumbuh berkembang dan menginspirasi tingkat lokal hingga global bukan semata mata tergantung dari senimannya tetapi juga kekuatan politiknya.
Politik sebagai jiwa dan kekuatan bagi hidup berdaulat berdaya tahan berdaya tangkal hingga berdaya saingnya suatu bangsa memerlukan politikus yang handal dan political willnya yang kuat. Keberpihakkan pada seni sebagai bagian dari jiwa bangsa makabtak lepas dari peran dan fungsi politik di dalamnya. Mau mendunia hingga mati semua ini memerlukan power sebagai ruang kobaran jiwa seni tumbuh berkembang.*
Chryshnanda Dilaksanakan