“Ayo Ngguyu Koprol Koplak Koplakan” Menikmati Hidup dan Kehidupan

TRANSINDONESIA.CO | Hidup dan kehidupan itu sarat dengan hal hal lucu koplak bahkan yang dapat mjd bahan plesetan atau sindiran atau kritik melalui berbagai simbol. Dari pikiran perkataan tulisan hingga perbuatan tatkla diamati dan dirasakan ada saja faktor penggeli hati. Salah yang dianggap benar. Sebaliknya benar yang disalahkan. Gila yang diagungkan waras malah dilabel gila. Bener yen ora umum iku salah, salah yen wis umum iku dianggep bener.

Persaingan pembenaran dengan kebenaran sedemikian ketat. Hati kadang menjadi baper atau gampang terluka meninggikan emosi yang ujungnya menguapnya logika. Diskusi dalam perbincangan sehari hari dari religi politik hingga berbagai masalah kenegaraan menjadi issue di warung kopi bagai jalan tak berujung. Kelompok kelompok tertentu dengan pekok e menggelorakan pokok e. Memaksakan, menunjukkan kekoplakannya. Nalar seringkali di nomor seratuskan. Spirit asu gedhe menang kerah e. Dalam diskusi apa saja “aku” isme ingin selalu nomor sata. Banyak hal lain yang sebenar menjengkelkan dan pingin ngeplaki namun ketika direnungkan itu semua sumber inspirasi.

Dalam berlalu lintas misalnya. Melanggar rambu rambu tanpa rasa malu. Pamer berkendara tanpa helm menunjukkan kepalanya lebih keras dari aspal. Melawan arah, parkir sembarangan hingga ribut dengan petugas. Ngeyel mbregudul menunjukkan saya saya saya dan saya. Apalagi pejabat atau punya kewenangan atau kekuasaan, petugas lapangan bisa dianjing anjingkan. Masyarakat bs ditodong senjata. Atau kenalan ndoro ndoro sontoloyopun akan pamer taring dan melanggar biasa dan tatkala lepas dari hukum merasa bangga.

Ada lagi perilaku di pasar misalnya. Dari tawar menawar sampai percekcokkan antara preman pasar dg pedagang. Cara memawarkan barang dagangan sampai cara memgemas dari cara sederhana sampai dengan atraksi. Perilaku perilaku di area publik ini juga banyak yang koprol bahkan nampak memalukan tetapi dibanggakan. Masalah sampah misalnya. Masalah kebijakan publikpun tak jarang menjadi inspirasi seni. Dialog para pokitikus hingga debat publiknya tanpa sadar akan trs menggelora pameran ketololan. Tatkala diuraikan dan ditangkap tiada habisnya untuk membuat karya yg satire, karikatural hingga kartunal.

Membahas koplak koprol ini jadi teringat pertunjukkan monolog Butet K. Yang menampilkan cerita; “Matinya tukang kritik”. Tukang kritik ini imortalitas ia hidup sepanjang hayat. Karena selalu ada saja yang bisa ia kritik. Dari rakyat hingga pejabat. Nyelathu yang mencerdaskan itu memang bukan sebatas menyalahkan atau memcari kesalahan namun memerlukan kepekaan kecerdasan dan mampu memberikan sindiran atau kritik namun tetap dalam koridor tata krama dan menyadarkan. Bukan membunuh karakter. Bukan ancaman. Bukan kepentingan agar kebagian. Bukan pula suatu konspirasi jahat. Kembali ke tukang kritik tadi mengapa tiba tiba ia merasa lemas dan merasa tidak ada gunanya. Bahkan memilih mati saja. Karena semua sudah teratur tertata tertib dan sesuai apa yang sebagaimana seharusnya. Tidak ada celah yang dapat dikritik.

Dalam hidup dan kehidupan tatkala tidak mampu mengontrol emosi dan membangun jembatan waras antara harapan dan kenyataan, yang ada hanya menabung keluhan, sikap ndongkolan, baperan, marah emosi menyalah nyalahkan. Koplak itu indah, ligika yang koprolpun menjadi sumber inspirasi. Terbukti para kritikus, penulis, karikaturis, kartunis, jurnalis, seniman, bahkan peneliti terus memiliki sumber inspirasi yang tak pernah kering. Bahkan para pelawak sekalipun dengan guyon matonnya atau mengkoprolkan logikanya untuk mendudukkan ketololan menjadi ikon sesuatu. Para kartunis tiap hari mampu memciptakan kisah kisah lucu lucu. Menertawakan diri sendiri.

Pelukis pelukis surealispun dengan ikon dan satirenya terus dapat berkarya. Para penyair sampai pelantun jula julipun meraup rejeki dari koplaknya kehidupan. Hidup itu indah seni walau dibumbui berbagai ligika koprol dan perilaku koplak. Kalau tidak ada itu kita trs terjebak dalam ketegangan dan oleh sebab itu, “Ayo ngguyu”…. hahhahahahahaha….**

Jakarta 2 Mei 2021

Chryshnanda Dwilaksana

Share