TIGA JENIS KEPAHITAN HIDUP

TRANSINDONESIA.CO – Pernahkah saudara merasakan kepahitan dalam hidup ini? Kalau sudah pernah ataupun sedang, semoga kepahitannya tidak sampai membuat saudara merasa bahwa kehidupan ini tidak ada artinya. Sehingga berkata, “cukuplah hidup ini sekali saja,” maupun beranggapan kalau hidup itu hanya di dunia, dan meragukan akhirat.

Jangan pesimis, saudaraku. Tetaplah tenang dalam menghadapi kepahitan. Karena, “Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikan lah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Merekalah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. al-Baqarah [2]: 155-157).

Bersabar dan yakinlah kepada-Nya. Kita semuanya ciptaan dan milik Allah SWT. Tidak ada yang perlu kita risaukan. Dan, bagi saudara yang merasa belum pernah menemui kepahitan dalam hidup ini, maka bersiaplah. Karena kepahitan yang sedikit itu sudah pasti akan disentuh kan kepada kita. Tetapi jangan takut. Sebab semuanya sudah diukur, dan sebetulnya kepahitan itu adalah kabar gembira bila kita bersabar.

Nah, saudaraku, ada tiga jenis kepahitan yang saya pahami. Yang pertama, kepahitan yang memang sudah ditentukan oleh Allah ketika kita masih dalam kandungan ibu. Ibarat kita sekolah, kepahitan ini seperti jadwal ujian yang sudah ditentukan. Misalkan kita bakal kecopetan tanggal sekian. Oleh sebab itu, sikapilah dengan baik dan tenang.

Mungkin ada di antara saudara yang sedang membaca bertanya, bisakah jadwal ujian yang telah ditentukan ini ditolak? Maka tolak lah dengan sedekah dan doa. Tapi kalau saudara sudah bersedekah dan berdoa, ujian itu tetap terjadi, maka yakinlah bahwa pasti itulah yang terbaik menurut Allah.

Yang kedua adalah kepahitan buah dari keburukan kita sendiri. Kalau yang pertama ibarat jadwal ujian, maka yang ini ibarat tugas atau PR akibat kita berbuat kesalahan. Cara menyikapinya dengan bertobat. Periksalah diri kita, dosa apa yang telah menjadi pengundang masalah maupun musibah. Sesali dan mengaku kepada Allah SWT.

Jadi, tidak cukup dengan tenang saja. Jangan juga malah sibuk memeriksa dosa orang lain atau mencari-cari kambing hitam. Misalkan kita kecopetan. Antara kita dan si copet punya urusan masing-masing dengan Allah. Si copet mengambil dompet kita itu digerakkan oleh Allah, bukan keinginan dia. Dia hanya petugas yang membuat kita kehilangan. Mungkin dia memang punya niat jahat. Dan kita menjadi bagian terwujudnya niat buruknya itu. Dia dapat dosanya, kita dapat cobaannya.

Oleh sebab itu, kita harus fokus bertanya pada diri kita sendiri, dosa apa yang sudah kita lakukan sehingga si copet mengambil punya kita? Terus periksa, dan bertobat. Kalau kita sibuk memikirkan copetnya dan tidak bertobat, nanti bisa didatangkan lagi copet yang lain oleh Allah. Karena pengundang masalahnya masih kita pegang. Mari kita fokus pada dosa kita sendiri yang telah mengundang, supaya kita jadi untung, yaitu bisa tobat terus.

Contoh lain. Misalkan kita bekerja sama dalam sebuah bisnis. Kemudian rekan bisnis ternyata menipu dan tidak mau mengembalikan uang. Maka jangan sibuk mencari akal, bagaimana agar dia bayar. Tapi carilah akal, bagaimana agar kita ingat dengan dosa kita sendiri dan segera bertobat. Kalau kita ingatnya pada yang menipu, cuma akan membuat jengkel dan gelisah. Atau mungkin malah jadi naksir, dan kita ditipunya lagi.

Lebih baik mengingat dosa-dosa kita sendiri. Nanti kalau kita sudah bertobat, ada waktunya dia bayar, dan menanti sampai waktunya itu kita tetap akan tercukupi dari mana saja. “Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membuka kan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tak disangka-sangkanya.” (QS. ath-Thalaq [65]: 2-3).

Jadi, tolong saudaraku. Kalau saudara sedang punya masalah, jangan sok perkasa dengan tidak tidur siang-malam untuk memecahkan persoalan. Tapi perbanyaklah mengingat dosa yang sudah kita perbuat, dan menangis lah dalam tobat. Bukan menangisi masalah. Yang saya pahami, kita diperintahkan untuk bertakwa, dan tobat itu bagian dari takwa. Nanti Allah yang akan membimbing kita menyelesaikan masalah apa pun yang kita hadapi itu.

Dan yang ketiga adalah kepahitan yang diberikan Allah untuk mengangkat derajat. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya seseorang yang akan diberi kedudukan yang tinggi di sisi Allah, sedangkan ia tidak dapat mencapai amal itu dengan amalnya, maka Allah terus-menerus mengujinya dengan kesulitan dan kesusahan yang ia tidak menyukainya, sehingga ia dapat mencapai kedudukan tinggi tersebut.”

Misalkan ada orang yang sudah kena banyak ujian. Sebetulnya dosa-dosanya sudah bersih, tetapi Allah masih ingin mengangkat dia naik. Dan karena ibadahnya belum cukup, maka dia diuji lagi dan lagi, untuk menambah pahalanya, sehingga mencapai kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Pastinya, kesusahan yang disentuhkan padanya adalah yang tidak disukainya. Karena pahalanya yang belum cukup nanti akan ditambah dengan pahala sabar.

Jadi, antara ujian penggugur dosa dan ujian yang meningkatkan derajat, itu bentuknya bisa sama tapi berbeda rasanya. Seperti saudara-saudara kita di Jalur Gaza. Tekanan di hatinya berbeda-beda. Walaupun, misalnya, mereka tinggal di satu rumah yang sama, dan di atas rumah itu berseliweran pula bom yang sama.

Ada yang sangat tegang atau takut. Dan ada juga yang tenang saja karena dia yakin dunia ini cuma tempat mampir. Dia tenang karena merasa sudah dekat dengan malaikat ketika bom sudah di atas genteng. Bagi yang tenang, berarti akan dinaikkan oleh Allah menjadi syuhada. Sedangkan yang tidak tenang, berarti rasa tegang atau takutnya itu sebagai penggugur dosa.

Oleh karena itu, kalau ada orang yang terus-menerus diberi kepahitan, tapi dia tetap sabar dan tenang, nanti derajatnya di sisi Allah bisa naik. Tapi kalau dia masih takut, gelisah atau galau, maka itu baru sebagai penggugur dosa. Dan, selain sabar dan tenang, juga tidak GR. Nanti bisa jadi ujub atau riya. Kita merasa mau naik derajat, tapi raut muka sepertinya malah menurun.

Tidak ada kepentingan untuk mengekspos, dan tidak pula dibutuhkan pengakuan orang. Jadi, setelah saudara membaca tulisan ini, kita tidak perlu merasa maupun bercerita, misalnya: “Allah ingin menaikkan derajat saya.” Padahal kita bertobat pun belum. Jangan berpura-pura tenang supaya disegani dan dipuji orang. Mari kita bertobat saja, karena Allah Maha Mengetahui.

Nah, saudaraku, dari tiga jenis kepahitan yang telah dikemukakan, kira-kira masih perlukah kita merasa pesimis di tempat mampir ini? Sungguh tidak perlu. Dan saat kita disentuh oleh suatu kepahitan, maka marilah kita menangisi dosa-dosa yang sudah kita lakukan, dan kita bersabar. Benar-benar tanamkan dalam diri kita, bahwa “Sesungguhnya kita berasal dari Allah, dan sungguh kita akan kembali kepada-Nya.”

Semoga Allah SWT meridai kita pada hari habisnya waktu kita untuk mampir di dunia ini. Yang bisa kapan saja, di mana saja, dan dengan cara apa saja. Dan semoga kita diperkenankan berjumpa dengan Dia Yang Maha pencipta dan Pemilik Seluruh Alam ini. “Maka siapa yang mengharap pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah dia mengerjakan kebajikan, dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. al-Kahf [18]: 110).*

KH. Abdullah Gymnastiar

(Sumber : Buku Ikhtiar Meraih Ridha Allah jilid 1)

Share
Leave a comment