Tim Pakar Satgas Beri Penjelasan Tentang Mutasi Virus Covid-19
TRANSINDONESIA.CO | Menyusul ditemukannya strain virus baru Covid-19, berakibat munculnya informasi simpang siur di tengah-tengah masyarakat pada pekan ini. Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito menerangkan bahwa terjadinya mutasi virus atau varian baru virus adalah hal yang lazim ditemui dalam masa pandemi.
Berita baiknya, lanjut Wiku, hasil penelitian menyatakan bahwa sebagian besar mutasi tidak secara material mengubah virolensi atau kemampuan virus untuk menimbulkan penyakit, begitu juga efektivitas vaksin secara signifikan. “Namun, perlu diingat, semakin sedikit keberadaan mutasi virus, maka semakin efektif vaksin yang sedang kita kembangkan ini dapat bekerja dengan baik,” jelasnya memberi keterangan pers perkembangan penanganan Covid-19 di Graha BNPB, Kamis (4/3/2021).
Pada prinsipnya, varian dapat terus bertambah khususnya saat pandemi masih berlangsung, karena banyaknya jumlah penularan yang terjadi di masyarakat. Mutasi yang dilakukan virus adalah upaya untuk bertahan hidup dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Dan mutasi adalah proses karena adanya kesalahan saat memperbanyak diri dan virus anakan tidak sama dengan induknya atau parental strain. Virus baru hasil mutasi tersebut akan menjadi varian. Lalu, jika varian menunjukkan sifat fisik yang baik dan jelas maupun sama serta berbeda dengan virus aslinya, maka varian akan disebut sebagai strain.
Para peneliti di dunia termasuk di Indonesia terus meneliti mutasi dan varian baru yang muncul. Untuk mengetahui dampaknya dan solusi menghadapinya. Saat ini beberapa varian virus yang sudah ditemukan menyebar secara global, yakni varian B117 di Inggris, B1351 di Afrika Selatan yang merupakan hasil mutasi dari virus B117, dan varian P1 di wilayah Brazil.
Pemerintah pun telah mengambil langkah-langkah strategis bekerjasama dengan para peneliti dan menginstruksikan petugas di lapangan untuk memperketat skrining demi mencegah masuknya varian baru dari negara lain, ataupun dari satu daerah ke daerah lain.
Untuk itu demi mencegah dampak negatif dari mutasi ini, semua pihak disarankan tidak hanya menunggu hasil temuan ilmuwan. Untuk menentukan apakah varian tersebut lebih berbahaya atau sekedar mengetahui pola distribusinya. Karena hasil penelitian saintifik membutuhkan waktu. Upaya proaktif melindungi diri dan orang di sekitar adalah dengan cara tidak melakukan mobilitas yang tidak perlu sehingga penularan dapat dicegah. Sehingga mutasi pun bisa dicegah untuk terjadi.
Upaya mencegah mutasi virus adalah dengan menghambat persebarannya. Karena tingkat infeksi yang tinggi tentunya meningkatkan peluang terjadinya lebih banyak varian yang dihasilkan. Dan seberapapun kuatnya varian potensial virus, jika tidak ada peluang menularkan maka virus tersebut tidak akan membahayakan.
Ia mengingatkan upaya 3T dan bagi masyarakat berpartisipasi dalam program vaksinasi untuk menumbuhkan imunitas secara spesifik. “Saya tidak akan lelah mengingatkan pentingnya protokol kesehatan, karena hal ini peting untuk dilakukan,” pesan Wiku.
Disamping itu, ilmuwan dunia terus mengamati dinamika persebaran virus ini, termasuk perubahan spikes atau protein yang akan menempel pada reseptor sel tubuh untuk memperbanyak diri. Untuk di Indonesia, dari hasil temuan Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, jumlah Whole Genum Sequencing (WGS) berjumlah 495 dengan 471 diantaranya WGS komplit.
Varian D614G sudah ditemukan sejak April 2020, dan hingga Februari 2021 seluruh WGS yang dilaporkan bervarian D614G. Namun data pelaporan WGS terbaru oleh Balitbangkes, menunjukkan ada 2 WGS yang memiliki varian B117 dari sampel yang diambil dari bulan Februari 2021.[vli]