Nashar: Menembus Sekat Antara Berbakat atau tidak Bakat dalam Melukis

TRANSINDONESIA.CO – Seringkali bagi orang yang dapat melukis atau menggambar secara realis barulah dikatakan atau diakui berbakat. Pada umumnya memang melihat gambar dari apa yang nampak. Seakan memindahkan fenomena ke dalam kanvas atau kertas. Bagi yang tidak menggambar secara realis tentu akan dihakimi tidak berbakat atau gambarnya tidak disukai.

Para pelukis yang bukan realis biasanya sulit menjualnya krn karyanya kurang diminati. Boleh dikatakan yang memahami hanya sedikit saja. Bahkan diberipun akan ditolak atau dianggap sampah. Pemahaman atas seni tergantung juga dasar pengajaran dan proses pembelajaran seni secara formal. Adapun secara non formal biasanya diikuti oleh orang orang yang memiliki kecintaan atau kesenangan dalam menggambar. Nashar yang oleh Sudjojono dianggap tidak berbakat namun terus diberi kesempatan untuk mencoba. Bukan hanya sekali namun sampai berkali kali hingga nashar diberi kesempatan mengikuti kursus menggambar asuhan sudjojono.

Dalam konteks ini, Sudjojono sebagai guru paham akan minat lebih penting dari bakat. Yang ideal memang minat sesuai bakat. Nashar sebagai orang yang sangat berminat menggambar tatkala diberi kesempatan seperti mendapat angin surga bahkan ia berani melupakan cita citanya menjadi insinyur dan memilih sebagai pelukis (besar). Menjadi pelukis pada saat itu dianggap kesia-sian termasuk ayah Nashar pun menganggap demikian.

Nashar memang gila melukis siang malam terus melukis banyak lukisannya dibuat pada malam hari. Apa yang dilukis oleh Nashar berbeda dengan orang kebanyakan. Suatu ketika penyair Chairil Anwar berkata kepada Nashar yang mungkin antara memuji dan mengkritik Nashar di mana Nashar memang rajin melukis bahkan melukis tentang penderitaan namun Chairil Anwar meragukan pemahaman Nashar akan penderitaan itu dan menyarankan agar mau atau berani menyelidiki atas penderitaan itu sendiri.

Kurang lebih demikian yang membuat Nashar berpikir keras atau bimbang. Nashar orang yang gigih dan gagah tahan banting dlm hidupnya yang sarat kesulitan hidup membuat kita miris sekaligus bangga dan memberi rasa hormat kepadanya. Ia berani meneliti dan mendalami penderitaan itu dengan mengorbankan dirinya. Dalam kehidupannya yang serba terbatas ia terus berkesenian, trs melukis, terus membicarakan tentang seni. Ia tidak peduli karyanya akan laku atau tidak ia tak peduli orang lain menyukainya atau tidak.

Seniman yang satu ini dengan tulus menjalankan spirit melukis dengan prinsip: non konsep, nonteknis dan non estetis. Nashar menyadari bahwa seni bukan penerimaan atau tepuk tangan kepura-puraan atau penghargaan ikut ikutan. Berkesenian dalam konteks ini melukis adalah panggilan jiwa. Yang ia jalani dengan mengalir tanpa prediksi tanpa pamrih atau mungkin juga berpikir untuk dapat memberi hidup dan menghidupinya. Seniman sejati mungkin ajaib bagi orang kebanyakkan yang selalu sarat kekhawatiran sarat keinginan sarat dengan ambisi ambisi keduniawian.

Hidup Nashar mungkin secara pemikiran orang kebanyakkan telah nyasar atau kesasar atau keluar konteks yang umum dilakukan banyak orang. Nashar tetap saja meyakini dirinya sebagai Nashar yang bukan orang lain. Mungkin saja bagi banyak orang aneh nyleneh bahkan nyebel-nyebelin tetapi nganenin. Ada saja sesuatu yang ingin dilihat atau apa yang baru dari Nashar. Itulah Nashar yang mampu membuat dampak atau pengaruh bagi orang lain. Ia tidak berpura pura atau dia bukan sengaja atau merancangnya namun ia benar-benar menjalani panggilan hidup dengan segala konsekuensinya.

Bangsa Indonesia memiliki Nashar sang maestro seni rupa dengan keIndonesiaannya. Nashar memang telah tiada namun karya dan perjuangannya abadi. Ia tidak meminta kita mengenang atau mengapresiasinya. Seniman dan berkesenian memang bukan sebuah cita cita. Itu sebuah panggilan jiwa. Seni penjaga kewarasan dan penyeimbang hidup. Nyentrik bagi Nashar bukanlah gaya ketika hanya tampilan fisik. Nyentrik itu karya dan pemikirannya keberaniannya menjadi dirinya sendiri. Apa yang dikatakan Nashar 3 non tadi menunjukkan bahwa seni itu jujur tulus panghilan jiwa bukan kepura-puraan atau menjadi aliran pasar dan yang serba ikut-ikutan. Tak populer pasti. Tak menikmati iya demikian sebagai resikonya.

Menurut Yulianto Liestiono 291020: Model Bienalepun kadang hanya menggunakan nama Nashar sebagai pemanis. Gak pernah ada dana Bienal digunakan untuk Membeli lukisan Nashar dengan harga yang pantas misalnya dan menamerkan karya Nashar sebagai pokok bahasan.

Dalam Bienale seperti ini harga lukisan Nashar malah sering memprihatinkan dan menumbuhkan pengertian bahwa lukisan Nasar murah dan kurang / tidak laku. Menghargai maestro tentu tidak cukup hanya dengan nenampilkan fotonya dalam sebuah acara. Namum harus membuat sistem / rekayasa agar karya Nasar menjadi dihargai baik secara pikiran maupun materi dengan harga yang pantas. Namun kita semua patut bangga punya ikon seniman yang ikut mewaraskan dan menyadarkan seni bukan kepura-puraan. Dan Nshar mampu membuktikan ia telah berhasil menembus sekat antara bakat atau tidak berbakat. Sudjojono sendiri mengatakannya tidak berbakan namun berulang kali disuruh mencobanya dan memberi kesempatan kepada Nashar untuk belajar menggabar. Nashar tidak salah memilih jalan hidupnya sebagai pelukis. Ia membuktikan dirinya menjadi pelukis besar.**

Penulis’ Chryshnanda Dwilkasana adalah Pemerhati Seni Budaya Kampoeng Semar

Share
Leave a comment