Kepada Nashar yang Tak Kukenal

TRANSINDONESIA.CO – Aku melihat karya Nashar ada di toko buku Yose Rizal Manua di TIM  tahun 1997. Lukisan itu kecil mnurut saya, gambar kapal atau perahu cadik. Yose waktu itu melabel harga 2 juta kalau tidak salah. Pernah juga aku melihat pameran bersama di Galeri Cipta II TIM salah satu yang dipamerkan ada karya Nashar. Kalau tidak salah pameran bersama Mustika. Tahunnya lupa. Seperti kena angin pemikiranku tidak pernah lagi teringat akan Nashar.

Dari berbagai Medsos, ya melihat sekilas sekilas saja. Tahu ada buku Nashar oleh Nashar yang diterbitkan oleh Bentang namun tidak juga ada minat membeli. Dari berbagai cerita tentang Nashar pun tidak satu pun yang nyangkut di kepalaku. Aku sering mendengar ada tulisan Nashar tentang surat surat malam namun aku sama sekali tidak berhasrat membacanya apalagi mencari dan membeli bukunya. Nashar bagiku ya pelukis hebat titik sampai di situ saja. Karya dan perjuangannya apalagi ajaran ajarannya sama sekali aku tidak tahu dan tidak ingin tahu. Entah apa yang menjadi pengaruh dalam pikiranku sekira bulan Juni 2020 aku menulis dan memposting tulisan Rindu Nashar dan beberapa minggu kemudian memposting Nashar yang Nyasar.

Semua itu hanya imajinasi ku dan aku tulis begitu saja tanpa tahu tentang Nashar. Selesai itu juga lewat saja aku sudah lupa dengan kesibukan kesibukanku. Entah apa yang membuat aku seperti tersengat Nashar saat mempersiapkan pameran tunggal karikatur Pramono Pramoedjo di Balai Budaya. Di kepala dan hatiku seakan aku diminta memikirkan tentang Nashar. Suara hati itu kuat sekali dan membuatku bingung karena aku blank sama sekali ttg Nashar. Aku mengikuti suara hatiku mulai menulis apa saja tentang Nashar. Joko Kisworo temanku pelukis mengingatkanku untuk fokus satu persatu. Aku menjawab: “Mas iki ra iso dikon antre, nronjol2 terus”. Aku sendiri tidak memahami harus bagaimana. Aku mulai share ke sahabat sahabatku, Yulianto Liestiono, Aisul Yanto, Gatot Eko Cahyono, Joko Kisworo dan Doni Blero. Doni Blero mengabarkan ada buku tentang Nashar oleh Nashar. Sontak aku bilang: “Kirim aku mas”. Saat bertemu Joko Kisworo, ia menceritakan sirat sirat malam Nashar. Aku memfoto copynya dan mulai membaca satu persatu. Aku juga mencari di google youtube dan juga Facebook serta Instagram. Banyak sekali tulisan tentang Nashar namun semua pating slebar belum bisa aku pahami secara utuh.

Pada saat pembukaan pameran karikatur Pramono aku bertemu Cak Kandar Syahnagra Ismail, Aisul Yanto kembali membahas Nashar. Cak Kandar mengabarkan kalau Hendro Tan memiliki koleksi Nashar cukup banyak. Setelah saya Posting memang Hendro Tan menuliskan tidak untuk di jual atau dipinjamkan sekalipun untuk pameran. Hati saya langsung ciut dan teringat cerita Helvi Dirix cucu Affandi yang salah satu lukisan koleksi museum dipinjam pameran di Jepang kembalinya rusak. Untung ada asuransi. Dari situ saya bingung lagi mau memamerkan apa tentang Nashar. Aisul Yanto saya ajak podcast tentang Nashar dan kami sepakat membuat suatu tribute bagi Nashar.

Memamerkan karya masing masing pelukis sebagai penghormatan kepada Nashar. Di samping itu kami juga sepakat untuk masing-masing pelukis membuat tulisan bagi Nashar. Dari situ referensi tentang Nashar semakin terbuka lebar aku mendapatkan beberapa katalog pameran Nashar di Jakarta maupun Bali. Aku juga mendapat buku elegi estetik tentang Nashar yang di edit Agus Dermawan T. Aku semakin banyak mengenal Nashar dari tulisan dan karyanya walaupun secara personal sama sekali tidak mengenal. Aisul Yanto mengajak saya ke kediaman Rudolf Puspa yang beberapa tahun hidup bersama Nashar di Balai Budaya.

Cerita humanisme Nashar banyak dan menurut saya menarik untuk dijadikan suatu catatan tentang Nashar. Aku terus saja menulis, menulis dan menulis tentang Nashar mungkin ada yang marah atau jengkel atau mengkritik, namun aku tidak mempedulikan, toh mereka juga tidak berbuat. Aku seperti diwejang Nashar tentang hidup berkesenian. Setiap terbangun tengah malam buang air kecil setelah itu tidak bisa tidur lagi kalau tidak menulis atau memikirkan tentang Nashar. Aku mulai memahami spirit konteks tulisan dan karya karyanya. Ini juga kebetulan aku yang merindukan ada informasi tentang karya Nashar yang bisa kita jadikan jimat pada saat pameran.

Awal ada lukisan Nashar yang masih berfigur. Aku ajak teman teman membahas ori (asli) atau kawe (semi asli), hasilnya seru pendapat kritis memang muncul. Tatkala aku sodori karya abstrak Nashar teman teman hampir semua mengaminkan tanpa kritik seperti karya yang berfigur kemarin. Nashar memang unik hingga hari ini aku masih terus merenungkan memahami apa maksud omongannya yang aneh bin ajaib namun penuh makna.

Nashar memang tak ku kenal namun mungkin aku sefrekwensi dalam dimensi yang berbeda yang juga ikut mumet memahami dan mempelajari Nashar dan terus saja aku nekad karena kata Nashar: “Kalau ada niat pasti bisa”. Bisa saja kalimat itu tidak sesederhana yang aku tulis namun setidaknya itu yang mendorongku terus mempelajari dan memahami Nashar.

Jakarta, 24 Januari 2021

Penulis: Chrysnanda Dwilaksana (Pemerhati dan Pecinta Seni Budaya Nusantara, Pelukis dan Creator Kampoeng Semar)

Share