Kepailitan Developer: Perlu Haluan Hukum Baru
“Tidak Logis Messi Sengaja Gol Bunuh Diri”
TRANSINDONESIA.CO – Kepailitan dan penundaaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) developer mencorong. Asosiasi pengembang Realestat Indonesia (REI) minta relaksasi. Hanya gagal serah unit atau terlambat sertifikat, developer diajukan PKPU.
Dibalok itu, jika developer pailit, konsumen lebih beresiko. Statusnya hanya kreditur kelas paling bawah. Kalah dari kreditur berjaminan. Walau mengantongi ijin menghuni ataupun PPJB, belum berarti memiliki. Hanya menghuni!
Berikut tanya jawab kami dengan Muhammad Joni, praktisi hukum perumahan/properti, Managing Partner Law Office Joni & Tanamas yang juga Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute dan Ketua Dewan Pembina Lembaga Perlindungan Konsumen Properti dan Keuangan (LPKPK).
Dalam konsep hukum, ringkasnya pailit itu apa?
Pailit itu ibarat pintu exit. Seperti vonis kartu merah dalam laga sepakbola. Keluar gelanggang dunia bisnis. Mati secara perdata! Ibarat dunia usaha adalah organisme, pembentukan perusahaan dan ijin-ijin adalah cara masuk ke pasar formal. Entry to the market. Nah, pailit adalah exit from the market.
Fenomena developer berkelas diajukan pailit dan PKPU. Apa menurut anda dalam satu kalimat?
Apalah logis Messi sengaja gol bunuh diri? Kan dia punya reputasi dan melegenda. Tidak logis membunuh karier. Kariernya, ya mesin duitnya. Periksa kausalitasnya yang paling mendasar.
Menurut anda, ini soal bisnis atau hukum?
Fenomena ini persoalan ekologi hukum, hukum dan praktik hukum. Bukan hanya gejala tekanan perkonomian. Analisis permulaan saya, ekologi hukum properti belum utuh terbangun, belum ada ekuilibrium yang utuh menyeluruh antara developer dengan konsumen. Sehingga, untuk melindungi hak, diupayakan akrobat hukum, ini sangat beresiko.
Jika ekologi tak seimbang, bahaya bagi organisme berusaha?
Ya, sebenarnya kepailitan itu salah satu faktor kemudahan berusaha, selain misalnya perijinan yang cepat, prosedur mudah, dan transparan. Pailit mengeluarkan yang tidak layak dalam ekologi bisnis atau berusaha. Ya.., mudah masuk, mudah juga dikeluarkan. Begitu kekira logikanya. Sebab itu, yang tangguh dan patuh hukum saja yang bisa survival. Karenanya, dunia bisnis musti patuh hukum, pro lingkungan, intinya tidak eksploitatif dan nafikan hak-hak konsumen. Ingat, konsumen milenial itu cerdas dan “kejam”. Pergi ke toko sebelah lewat gawainya. Coba cermat membaca fenomena boikot buatan Prancis.
Kembali ke kepailitan/PKPU developer, langkah REI minta relaksasi menurut anda?
Langkah yang wajar dan patut. Namun perlu advokasi dan membangun haluan baru. Ibaratnya, yang dibutuhkan jalan baru, kawasan baru bahkan ekologi baru hukum properti-realestat. Sampai sekarang kita belum ada Undang-undang yang utuh mengatur perihal properti-realestat. Hemat saya, tak cukup hanya minta relaksasi, jangan tambal sulam. Ajukan yang sistemik dan lompatan besar, sekalian menata haluan baru berusaha, bagian dari roadmap sektor ini.
Maksudnya?
Tak cukup hanya mengubah jumlah nominal utang, usulan menaikkan dari 2 menjadi 5 kreditur, namun menata ulang ekologi hukumnya, termasuk membenahi sumber kompleksitas soalnya yang salah satu analisisnya berasal dari gap hukum antara developer dan perlindungan konsumen.
Resiko hukum yang ada pada konsumen, misalnya status kepemilikan, kepastian penyerahan dan sertifikat musti diatasi dengan norma hukum baru bahkan lembaga hukum baru. Jika tidak ada resiko hukum yang akut, konsumen tidak akan mencari celah hukum dan bahkan akrobat hukum. Saya sangat percaya watak konsumen kita jauh dari maksud buruk “membunuh” korporasi. Jangan sampai kepailitan dan PKPU dilakukan semberono. Developer tidak patut ugal-ugalan dalam pembangunan dan disiplin mengelola cashflow. Ini tantangan bagi asosiasi bahkan pemerintah. Standardisasi dan kepatuhan hukum sangat diperlukan.
Tak cukup dengan UU Cipta Kerja?
Tidak cukup, karena UU itu tidak membangun ekologi hukum baru bidang properti-realestat, dan belum menjawab soal-soal dan kritisi hukum, misalnya UU Nomor 1/2011 dan UU 20/2011. Walau ada UU Cipta Kerja secara omnibus law, UU properti-realestat masih perlu, lho.
Seberapa penting?
Sangat. Faktanya, sektor realestat terkait lebih 170-an bidang usaha lain. Menghidupkan ratusan bidang usaha. Rantai bisnisnya mulai dari pasir halus, sampai ide gagasan besar kota mandiri. Kontribusi sektor realestat bagi pertumbuhan ekonomi, beralasan ditingkatkan. Caranya dengan ekologi bisnis yang sehat termasuk ekologi hukumnya. Hukum yang kondusif itu ada 5 kualitas, stability, fairness, predictablity, education dan kompetensi profesi hukum.
Koq profesi hukum?
Ya.., badan peradilan dan termasuk kompetensi lawyer-nya. Ramainya soal kepailitan dan PKPU kan bermuara ke aras hukum.
Apakah gagal serah apartemen sama dengan utang?
Ini soal hukum yang menarik dikaji dan diuji, sekaligus soal yang krusial, karena ada dua haluan dalam berbagai putusan pengadilan di Indonesia. Di satu sisi mendefenisikan utang sebagai semua prestasi yang belum dilaksanakan atau dibayarkan yang timbul dari perjanjian para pihak. Akibatnya, wanprestasi perjanjian dalam bentuk apapun sama saja dengan utang. Di sisi lain, utang yang dijadikan dasar kepailitan hanya utang yang terbit karena perjanjian utang piutang uang, berikut kewajiban bunganya. Soalnya menurut sistem hukum Indonesia, putusan hakim atas perkara serupa tidak mengikat hakim yang lain. Bisa diikuti, bisa juga tidak. Beda dengan sistem hukum Anglo Saxon, yurisprudensinya bersifat binding force of precedent. Kita tidak, alasannya kemandirian hakim. Tak ada duduk perkara yang identik alias persis sama.
Soal usul pembatasan jumlah nominal utang?
Itu salah satu yang logis diusulkan. Berapa nilai nominal yang wajar dan jumlah kreditur yang patut? John Austin bilang, hukum itu normatif namun sekaligus logis, normative and logic. Selain itu, beralasan jika membenahi hukum acaranya dengan diwajibkan menguji lebih dahulu apakah beralasan diajukan pailit dengan insolvency test.
Untuk apa?
Agar kepailitan tidak diajukan semberono, musti disyaratkan sebagai upaya terakhir atau ultimum remidium, bukan premium remidium. Saat ini hanya gagal serah 2 unit saja, langsung bisa tancap gas mengajukan PKPU atau bahkan pailit developer, padahal membangun belasan menara, ribuan unit bahkan skala kota mandiri. Kan tidak logis. Hukum itu normatif, dan sekaligus juga logis. Norma hukum yang tidak logis akan ditinggalkan, bahkan dibangkangi. Istilah hukumnya uneffeciveness of the law. Juga, hukum mustinya mengandung asas kepatutan dan keadilan. Jangan sampai UU apapun menjadi celah “membunuh” korporasi yang sehat.
Selain developer dan konsumen, efeknya kepada siapa?
Efeknya bisa lebih banyak lagi. Bukan hanya konsumen namun kontraktor, konsultan, pemasok, bahkan pekerja, investor, dan gejolak di bursa karena developer go public melantai di bursa. Sekali lagi, UU apapun dibuat pasti melekat unsur kepastian, kemanfaatan dan keadilan. Hukum adalah instrumen perlindungan, bukan justru memberangus hak, baik developer maupun konsumen. Bahkan bidang usaha ini musti ramah lingkungan dan tidak menggerus hak lokal dari warga masyarakat sekitar.
Gagasan anda?
Harus ada langkah transformasi hukum skala besar, dengan membangun sistem hukum yang utuh, karena tidak memadai dengan UU Rusun yang sekarang ini. Opini hukum saya, pemerintah segera ajukan RUU yang mengatur industri properti-realestat, menjawab daftar masalah aktual, menjaga kesehatan industri ini, termasuk relasi hukum yang rentan antara developer-konsumen. Arsitektur hukum baru itu nantinya bisa dikawal dengan profesional hukum yang kompeten, menyediakan pilihan forum atau choise of forum yang efektif, cepat dan sederhana.
Disisi lain, lakukan advokasi soal kualifikasi utang, jumlah kreditur, nominal jumlah utang, diwajibkan pemeriksaan pendahuluan insolvency test, dan banyak hal lain. Intinya, advokasi rezim UU kepailitan dan PKPU, dan mendorong terbangunnya rezim hukum dengan haluan hukum baru yang mengatur properti-realestat dalam UU tersendiri. Developer sehat, konsumen berdaya, hukum berwibawa, pemerintah semakin dipercaya, menjadi negara kesejahteraan. Sebab sejahtera alasan kita bernegara.**