Perhimpunan “Kakak” Penjaga KHA
TRANSINDONESIA.CO – Ini sepotong cerita. Yang bukan rahasia. Bergiat dunia advokasi anak –dan orang muda belia– anda pasti gembira! Awet muda. Dan, bergelimang tenaga. Luber endorphin enzim bahagia.
Walau sudah usia kakek-nenek, tetap disapa: “Kakak”.Apa sebab gembira? Karena anak zona bahagia.
Walau hanya melihat kerlingnya. Sunggingnya. Bola matanya yang tersenyum. Pun bau hawa pori-porinya. Damai adalah defenisi rasanya.
Siapa tak suka pada si ‘buah hati sibirang tulang’, ‘intan payong’, tamsil orang Melayu, ‘tondiki’ sebut orang Tapanuli. Pun, ‘qurrata a’yyun’. “Robbanaa hablanaa min azwajinaa wadzurriyaatinaa qurrota a’yun waj alnaa lil muttaqiina imaamaa”.
Kalau sebab bergelimang tenaga? Saya mengilhami perlindungan anak dari kisah lama ini. Dari teladan Sang Nabi. Dari tulus bunda Hajar. Yang kasihnya tak kikis sekulit ari. Walaupun musti berlari-lari kecil. Sendiri. Di lembah kerontang dan sepi. Tak berkawan. Hanya bunda Hajar saja, dan Ilahi Rabbi –Tuhan Yang Maha Penjaga Hidup– saja. Lalui dua bukit berbatu terjal dan –sekali lagi– kerontang.
Tak hanya sekali. Hajar tabah diuji. Hajar berlari tujuh kali. Hajar tak bisa menunggu. Can Not Wait. But, to Day. Hajar bergelimang tenaga.
Seperti teladan Nabi Ibrahim. Yang menjadi mubaligh kepada Ismail kecil. Ayah-lah mubaligh pada anak. Mengarahkan dan memandu: “direction and guidance”, tugas kembar orangtua. Jika mengacu ‘Implementation Handbook on the Rights of the Child’ terbitan Unicef.
Seperti teladan Siti Hajar. Yang ikhtiar tulus lari-lari kecil di bukit bersejarah: Safa-Marwa. Dua bukit paling dicari kala umroh dan haji. Seperti kausal hentak kaki Ismail. Yang musabab hausnya mencairkan zam-zam. Air tiada akhir. Air kehidupan paling bergizi.
Bagi saya, begitulah makna cerita yang bukan rahasia, pun sebutlah “pahala” sosial amaliah perlindungan anak. Sesiapa saja yang loyal pada takdir sosial perlindungan anak, bahagialah!
Mengapa? Sebab anda melakoni teladan Rasul-rasul: Ibrahim, Ismail, dan perempuan taat, pun istimewa-mulia: Hajar. Anda sehaluan mereka, sepengikutnya. Se-koum dengan zuriat Rasul.
Mereka teladan yang mengajarkan akhlak cerah. Dari Makkah al-mukaaramah, bukit Safa-Marwa bersejarah dan sumur zamzam airnya meruah; bahwa perlindungan anak itu tinggi-mulia ikhwal amaliah.
Dulu pun kini, kita tak kekurangan pengasih anak. Pembela koum muda belia. Penjaga putra putri kehidupan, meminjam diksi Kahlil Gibran. “Children are from heaven”, tulis John Gray.
Dibanding kelompok rentan lain, hanya anak masuk dalam konstitusi: Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Saya menyebutnya Konstitusi Hak Anak (KHA). Ikhtiar demi anak jangan percaya itu ecek-ecek. Musti dilakoni ‘progresively and full achievement’. Bukan ordinary effort, sebab: “Many think can wait. Children can not. To them we can not say tomorow. Their name is today”, gubah Gabriella Mistral.
Konkritnya apa? Angka stunting anak balita yang indeksnya 30,8%; ayo di-nol-kan! Kekerasan anak; hentikan sekarang! Walau dianya bukan paskibra. Bukan peserta rumah nyaman.
Pengawasan hak anak, jangan kasi kendor. Batas usia tanggungjawab pidana anak, telah lama dinaikkan. SPPA jangan jaya dalam kitab peraturan. Misi ‘Penjara Bukan Tempat Anak’, musti diteruskan. Kekerasan anak –fisik, psikis, seksual, dan keyaqinan & pikiran– pastikan dihapuskan.
Sebab kekerasan itu bagian luar pengajaran. Bahkan vis a vis pendidikan. Pendidikan tipe paling merdeka sekali pun. Pastikan literasi-edukasi pada anak tak henti nadi. Gagasan, ‘Anak Belajar, Negara Membayar’ menjadi konvensi popular. Padamkan asap rokok. Larang iklan, promosi dan sponsori rokok. Aksesi FCTC.
Kota Layak Anak (KLA), lanjutkan ke Kota Bahagiakan Anak (KBA). Menuju perumahan dan permukiman layak juncto bahagia anak. Yang terjangkau semua keluarga.
Majelis Pembaca. Salah satu ciri kuatnya isu hak anak, periksalah riwayat aktifisnya. Cermatilah organisasi masyarakat alias organisasi nonpemerintah (ornop)nya.
Aktifis anak dan ornop perlindungan anak, hemat saya cukup banyak. Lebih banyak dari cukup. Lapangan sosial ini tak akan sepi. Tunas pasti regenerasi. Pun sejak zaman dulu kala, jauh sebelum UU Perlindungan Anak; ada berada.
Orang-orang tulus cum istimewa kepada anak (dan perempuan) –yang sampai sepuh mengabdi– seperti (almarhumah) ‘eyang’ Oetaryo dari Ngayogjakarta, musti dikenang. Dan, pantas dicemburui dalam berdedikasi. Mari hening sejenak. Lantun doa dan bacakan Al Fatiha, maksudkan padanya.
Tahun lalu, via sahabat saya pak Nahar –sosok yang kalem bertalenta yang “kakak” Deputi Kementerian PPPA– pernah beta usulkan. Penghargaan negara pada sang bunda patut diberikan, atas riwayat jasa baik dan teladan, aksi mulianya ke anak negeri usah ragukan.
Adat zaman, bergerak. Adat lembaga, kaderisasi. Adat baik (dan kebaikan), diistiadatkan. Adat jernih air di hulu, jangan keruhkan tiba hilir. Waktu ke waktu. Generasi pun berpinak. Lembaga pun makin jamak. Tabah dan loyal pada hak anak.
Aktifis-aktifis hak anak itu. Kawan-kawan hebat saya itu. Defenisi mereka adalah “kakak” pejuang. Mereka sang penjaga hak anak. Mereka yang taknak berpikir pada penghargaan. Tak ke hulu ke hilir karena sanjungan. Mereka yang takkan keruhkan air jernih kehidupan. Begitu yang saya tahu.
Berada bersama anak-anak, anda dilanda enzim gembira dan surplus tenaga. Zona bahagia menjadi “Kakak” anak Indonesia. Biar publik, sejarah, dan pemilik langit berapresiasi –dalam gemahripah sunyi. Terus dalam misi. Ini bukan audisi. Sebagai tugas besar warga pengawal KHA –Konstitusi Hak Anak.
Biarlah daku juris-konstitusionalis di hulu, menjadi peserta perhimpunan “kakak” pengawal hak anak, sahaja. Memastikan jernih air di hulu, sang generasi belia bangsaku.
Anak dilindungi, Indonesia maju berkonstitusi. Selamat Hari Anak Nasional, 23 Juli 2020.
Maaf atas sang khilaf, ampon ntuk yang tak santon. Tabik. (Muhammad Joni)