IPW: Polri Harusnya Menangkap Buronan Kakap Bukan Memberi Karpet Merah
TRANSINDONESIA.CO – Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane meapresiasi Mabes Polri mencopot Brigjen Pol Prasetyo Utomo. Namun dugaan suap menyuap di balik persekongkolan jahat melindungi buronan kakap Djoko Tjandra harus diusut tuntas dan Brigjen Nugroho Wibowo yang telah menghapus red notice DJoko Tjandra juga harus dicopot dari jabatannya sebagai Sekretaris NCB Interpol Indonesia.
Dari penelusuran IPW kata Neta, “dosa” Brigjen Nugroho Wibowo sesungguhnya lebih berat ketimbang “dosa” Brigjen Prasetyo. Sebab melalui surat No: B/186/V/2020/NCB.Div.HI tertanggal 5 Mei 2020, Brigjen Nugroho mengeluarkan surat penyampaian penghapusan Interpol Red Notice Djoko Tjandra kepada Dirjen Imigrasi.
Tragisnya, salah satu dasar pencabutan red notice itu adalah adanya surat Anna Boentaran tanggal 16 April 2020 kepada NCB Interpol Indonesia yang meminta pencabutan red notice atas nama Djoko Tjandra. “Surat itu dikirim Anna Boentaran 12 hari setelah Brigjen Nugroho duduk sebagai Sekretaris NCB Interpol Indonesia. Begitu mudahnya, Brigjen Nugroho membuka red notice terhadap buronan kakap yang belasan tahun diburu Bangsa Indonesia itu,” ungkap Neta Pane dalan siaran persnya diterima redaksi, Kamis (16/7/2020).
Melihat fakta ini Neta Pane meyakini ada persekongkolan jahat dari sejumlah oknum pejabat untuk melindungi Djoko Tjandra.
“Jika Mabes Polri mengatakan pemberian Surat Jalan pada Joko Tjandra itu adalah inisiatif individu Brigjen Prasetyo, saya meragukannya. Sebab dua institusi besar di Polri terlibat “memberikan karpet merah” pada sang buronan, yakni Bareskrim dan Interpol,” terang Neta Pane.
Kedua lembaga itu kata Neta, nyata nyata melindungi Djoko Tjandra. “Apa mungkin ada gerakan gerakan individu dari masing masing jenderal yang berinsiatif melindungi Djoko Tjandra. Jika hal itu benar terjadi, betapa kacaunya institusi Polri,” ucapnya.
Lebih lanjut Neta Pane menyatakan, apa mungkin kedua Brigjen tersebut begitu bodoh berinisiatif pribadi “memberikan karpet merah” pada Djoko Tjandra.
“Kenapa Brigjen Nugroho yang baru duduk sebagai Sekretaris NCB Interpol begitu lancang menghapus red notice Djoko Tjandra. Apakah dia begitu digdaya bekerja atas inisiatif sendiri seperti Brigjen Prasetyo? Lalu, kenapa Dirjen Imigrasi tidak bersuara ketika Brigjen Nugroho melaporkan bahwa red notice Djoko Tjandra sudah dihapus?,” ujar Neta.
Aksi diam para pejabat tinggi ini sambung Neta Pane, tentu menjadi misteri. Semua ini hanya bisa dibuka jika Presiden Joko Widodo turun tangan untuk membersihkan Polri, dengan cara membentuk Tim Pencari Fakta Djoko Tjandra. “Tanpa itu semua, kasus Djoko Tjandra akan tertutup gelap karena tidak mungkin jeruk makan jeruk,” katanya.
Akibat ulah para jenderal itu, Neta Pane menyatakan kasus Djoko Tjandra menjadi catatan hitam bagi Polri. “Lembaga kepolisian yang seharusnya wajib menangkap buronan malah melindungi sang buronan kakap, bahkan memberinya karpet merah,” tambahnya.
Bagaimana pun sebagai pimpinan, Kapolri Jenderal Pol Idham Azis dan Kabareskrim Komjen Polisi Listyo Sigit Prabowo Slharus bertanggungjawab terhadap kekacauan ini.
“Jika Mabes Polri mengatakan kasus ini adalah inisiatif jenderal pelaku, bisa disimpulkan betapa tidak berwibawanya Kapolri dan Kabareskrim sehingga jenderalnya bisa bertindak ngawur seperti itu. Institusi Polri harus diselamatkan dari ulah para jenderal yang bermental bobrok. Setelah Brigjen Prasetyo, kini harus Brigjen Nugroho Wibowo yang segera dicopot dari jabatannya,” tutup Neta Pane.[mm]