Guru: Tatanan, Tuntunan dan Tontonan
TRANSINDONESIA.CO – Menjadi guru seakan tersesat atau terjebak pada ruang yang sarat labirin, mau tidak mau harus mencoba bertahan. Pada jaman dahulu menjadi guru merupakan suatu kebanggaan sekaligus kehormatan. Guru sebagai sang pencerah pemberi tuntunan mengajarkan tatanan dan menghibur dengan berbagai tontonan. Guru seakan menjadi wakil dari banyak panutan. Hidup guru sangat bersahaja.
Lambat laun guru semakin redup sinarnya seakan ia hanya lilin yang terus menerangi dan meleleh lah dirinya. Sinar sinar dari berbagai sumber bermunculan. Guru mulai termarjinalkan.
Dalam tatanan kehidupan pun guru dianggap sebagai pelengkap penderita. Bahkan dalam birokrasi siapa yang bermasalah ditampung di lembaga pendidikan. Guru guru di lembaga pendidikan gurunya juga begitu begitu saja. Kariernya pun boleh dibilang byar pet, kembang kempis bahkan dilirik pun tidak. Pasrah seolah menjadi takdirnya. Bagaimana akan mencerahkan tatkala guru gurunya tidak tercerahkan. Bagaimana memajukan tatkala gurunya asal asalan bahkan dijadikan penampungan berbagai permasalahan.
Value lembaga pendidikan semestinya menjadi ikon centre of exelence. Faktanya memang bertolak tolak kan antara yang ideal dengan yang aktual. Mau melawan siapa harus dilawan tidak tahu. Mau protes siapa diprotes pun seakan sudah di tutup labirin tinggi. Pasrah sebagai kalimat penghibur. Guru yang sudah pasrah maka hanya bertahan saja dan melakukan pekerjaannya hambar. Motivasinya menguap atau sudah menjadi kenangan.
Lembaga pendidikan, pendidiknya sebagai pengisi memory book dan penabur gelar dan membagikan selembar ijazah dengan nilai bertaburan cum laude. Kecerdasan kaum cumlaude bukan mencerahkan saat bertugas di lapangan, malah malah bisa membuat kemelud. Karena memang isinya tidak ada dan perilakunya sama saja masih meras sana sini, nyogok sana sini berebut jabatan dan tidak ada kebanggaan sama sekali atas cumlaudenya itu.
Kembali kepada fungsi guru yang hakekatnya sebagai tuntunan pengajar atas tatanan dan mampu menghibur dalam berbagai kepakarannya dalam memberikan tontonan. Guru sebagai pilar Bangsa dalam perjuangan mencerdaskan kehidupan Bangsa.
Spirit guru adalah pejuang kemanusiaan dan membangun peradaban. Yang tanpa kenal lelah, konsisten walaupun harus dengan mecucu. Walau harus berjuang ke sana ke mari demi periuknya tetap ngebul dan berisi. Guru tetaplah guru apapun yang dilakukan terhadapnya, guru tetap sang pencerah. Sumber inspirasi, motivasi dan penjaga atas beradab kehidupan. Guru seringkali jadi tontonan karena situasi yang memaksanya atau nilai idealismenya yang leleh terbakar?
Bisa saja begitu namun guru tetaplah pejuang kemanusiaan. Apapun yang dilakukan tetap memberi pencerahan. Mencerdaskan tidak semudah berteriak: “Siap Grak, Cerdass Grak” .**
[Chryshnanda Dwilaksana]