Pemimpin Palestina Tolak Rencana Aneksasi Israel

TRANSINDONESIA.CO – Penasihat senior Presiden Palestina Mahmoud Abbas hari Minggu (21/6) mengatakan Palestina menolak aneksasi apapun terhadap permukiman Lembah Yordania dan Tepi Barat. “Ini soal prinsip!” ujar Nabil Abu Rudeineh dalam konferensi pers.

Ditegaskannya, “Rakyat Palestina telah melalui jalan panjang hingga tiba pada 10 hari yang berbahaya dan penting ini.”

“Kami menolak aneksasi itu, kecil atau pun besar. Ini adalah masalah prinsip. Ketika Presiden Amerika Donald Trump mengatakan tidak akan menjadikan Yerusalem sebagai ibukota negara Palestina kelak, Presiden Palestina bersama pemimpin Fatah dan Organisasi Pembebasan Palestina, Presiden Abu Mazin mengatakan tidak untuk Trump, tidak untuk Amerika. Ini adalah posisi yang akan terus dipertahankan dan diperjuangkan oleh para pemimpin Palestina. Rakyat Palestina telah melalui perjalanan jauh, dan sepuluh hari ke depan merupakan saat yang penting dan berbahaya. Oleh karena itu, lepas dari ketidakpercayaan kami pada pemerintah Amerika dan Israel, kami akan melihat apakah pemerintah Amerika dan Israel menarik kembali posisi mereka. Ini adalah gelombang kolonialisme yang telah dihadapi rakyat Palestina selama 100 tahun,” tandasnya.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bertekad akan menganeksasi Lembah Yordania dan seluruh permukiman di Tepi Barat yang sangat luas, sejalan dengan rencana Timur Tengah yang disampaikan Presiden Donald Trump, yang sangat berpihak pada Israel dan telah ditolak oleh Palestina.

Proses aneksasi ini diperkirakan akan berlangsung mulai 1 Juli.

Netanyahu mengatakan Israel akan menganeksasi kawasan itu tetapi orang-orang yang tidak mempercayai hal itu mengatakan pada sebuah surat kabar Israel bahwa mereka masih akan berada dalam “kantong wilayah” di bawah pemerintahan sendiri yang terbatas, di mana Israel mempertahankan kendali keamanannya.

Rencana aneksasi Israel ini telah memicu kecaman luas masyarakat internasional, di mana negara-negara Arab dan Eropa mengingatkan bahwa hal itu akan melanggar hukum internasional dan mengancam harapan yang tersisa tentang solusi dua negara. [em/ii]

Sumber : Voaindonesia

Share
Leave a comment