Dana Tapera, Apa Manfaat Berskala Besar bagi Perumahan Rakyat?

TRANSINDONESIA.CO – Walau berat, pembuat peraturan bekerja sungguh-sungguh. Buktinya, pun ditengah imbas pendemik belum reda, Peraturan Pemerintah (PP) yang mengesahkan  3% (tiga persen) Simpanan Tapera; tetap diundangkan. Terbit di era pengusaha dan pekerja terimbas tekanan pendemi Covid 19, PP No 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera, sesuai hukum mengikat rakyat.

Selain itu PP Tapera memberi wewenang pengalihan  FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) ke Dana Tapera yang 2021 nanti dikelola Badan Pengelola (BP) Tapera. Pos khusus APBN berkonsep dana bergulir itu sudah bertahun-tahun membiayai pembiayaan bersubsidi perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Walau dari sumber APBN, sampai ke MBR,  bunga FLPP dipatok hanya 5%. Dulu, sempat lebih tinggi lagi.

Konsep FLPP ini sebagai  subsidi pembiayaan kepada MBR. Dasarnya dikaitkan dengan kewajiban pemerintah dan/atau pemerintah daerah versi Pasal 54 ayat (1), (2), (3) UU No.1 Tahun 2011. Norma Pasal 54 ayat (1) itu eksplisit menggunakan kata “wajib”.

Dan, kini dengan PP Tapera menitahkan kewajiban Simpanan Tapera menjadi total 3%.  Rinciannya, beban pekerja (2,5%), dan beban pemberi kerja (0,5%).

Ohya..,  jangan lupa pembahasan soal berapa angka Simpanan Tapera itu, dulu sempat menjadi perdebatan kencang di aras publik dan pembahasan di Senayan. Pasal soal angka itu, pun  ditunda. Diminta tak masuk sebagai norma. Seakan hendak menunda soalan,  yang bukan soal biasa dan mudah. Saat itu belum ada pendemi Covid-19. Situasi kini makin pelik bagi kantong rakyat.

Patut ditanya pada pembuat PP Tapera, apakah angka 3% sudah pernah mendengar masukan dan aspirasi publik, subsider pekerja dan pemberi kerja? Sudahkah ads pembahasan dan  mendapat persetujuan DPR RI dan demikian pula DPD RI?

Bukankah soal 3% ini pernah menjadi “pending isues” dan  hasil kompromi politik mengesahkan UU Tapera? Kalau saat di DPR isu 3% dibahas ketat,  apakah saat membuat PP Tapera, suara publik sudah didengar? Seingat saya The HUD Institute tidak diajak berbicara, baik dari Pemerintah maupun BP Tapera. Wajar saja jika  menjadi tanda tanya bagi publik,  termasuk pekerja, dunia usaha, dan asosiasi pelaku usaha properti.

Publik patut minta klarifikasi bahkan menguji perihal sahihnya angka 3% dalam PP Tapera.  Soal angka 3% itu pertanyaan ikhwal keadilan,  dan tingkat kesanggupan rakyat menjalankan Tapera yang justru berasaskan gotong royong. Asas yang diakui UU Tapera.

Soal angka 3% itu, sebuah pertanyaan penting, mendasar dan berskala besar. Bukankah kondisi saat ini dengan imbas pendemi Covid-19, “mesin” ekonomi rakyat dalam tekanan? Idemditto pelaku usaha swasta, BUMN, BUMD, pun demikian halnya pemerintah dan pemda?

Mustinya dan logis serta adil, jika angkanya ditimbang lagi bisa dibawah 3%. Ya…,  karena tekanan ekonomi setakat ini, dan tundalah pelaksanaannya menanti new normal sukses terlaksana.

FLPP  Ke Dana Tapera

Selain isu angka 3% yang diwajibkan sebagai Simpanan Tapera dalam PP Tapera,  FLPP dipindahkan ke Dana Tapera. Kita paham, Dana Tapera bukan dana APBN. Bukan pula Aset BP Tapera.

Apakah ini inovasi pembiayaan perumahan rakyat? Seakan hendak menjawab tantangan begawan manajemen:  ‘Inovate or Die’.

Sebelumnya, skim FLPP yang dikelola “mesin” badan layanan umum PPDPP itu telah berjalan ajeg. Ketika FLPP pindah ke Dana Tapera,  apa analisis dan implikasi manfaat yang diperoleh pasti?

Masuknya FLPP ke Dana Tapera bukan lepas dan “say good bye” begitu saja. Status hukumnya
sebagai Tabungan Pemerintah. Sifatnya dana likuid. Dana yang dapat ditarik sewaktu-waktu, seperti bunyi Pasal 64 PP Tapera.

Pindahnya dana alokasi khusus APBN itu maka postur Dana Tapera lebih berskala besar dari semula hanya FLPP.  Sebab itu, ada beberapa implikasi yang musti diketahui dan diemban BP Tapera,  yang mengelola dana amanat, baik dari FLPP  maupun setoran Simpanan pekerja dan pemberi kerja, yang nota bene bukan APBN.

Majelis pembaca, paragraf berikut ini ada beberapa analisa sementara.

Pertama; Kinerja pelayanan “mesin” BP Tapera dengan Dana Tapera itu,  dalam memenuhi kebutuhan perumahan  MBR musti lebih mencorong jika dibandingkan era FLPP.

Kebutuhan perumahan rakyat itu bukan hanya mengatasi angka defisit perumahan (backlog), namun mengatasi rumah tidak layak huni dan entaskan kawasan permukiman kumuh.  Di sanalah konsentrasi MBR informal diperkirakan berada.

Terkait itu, BP Tapera jangan berpikir hanya penyediaan perumahan belaka, namun berdimensi penataan permukiman dan pembangunan perkotaan. Setidaknya, penyediaan perumahan berskala besar.

Soal ini harus menjadi proyeksi pokok kebijakan dalam merancang Peraturan BP Tapera. Sebab itu, BP Tapera jangan hanya fokus kepada peserta Aparatur Sipil Negara (ASN) dan ASN baru pada agenda pelayanan perdana, seperti tersiar via siaran persnya.

Basis dalam bekerja untuk perumahan MBR yang amanat konstitusi dan kewajiban versi Pasal 54 UU No.1 Tahun 2011 itu, dengan kebijakan. Apakah fokus kepada ASN itu  sudah ditetapkan menjadi kebijakan dalam Peraturan Tapera? Sudahkah disetujui Komite Tapera dan Komisioner Tapera?   Tentu pula musti dibuat dengan kebijakan yang partisipatif, bukan self regulation. Disarankan, Komisioner, Komite Tapera dan BP Tapera lebih dulu menyerap pandangan pihak berkepentingan (stakeholder), termasuk pelaku pembangunan dan kaum MBR sendiri. Sebab, kebijakan ikhwal Tapera dan Dana Tapera itu public policy bukan business policy. Public policy itu “…another name for the fundamental, ethical, political, and social principles with guide legal evolution…”, ulas W.Friedmann dalam buku ‘Legal Theory’ (1953: 333).

Kedua; oleh karena FLPP dan pelayanan PPDPP sudah berjalan ajeg, maka logis jika memasuki era Tapera, skala layanan dan frekuensinya tidak boleh kalah dari kinerja FLPP  dengan mesin PPDPP. Institusi BP Tapera harusnya berkinerja jauh lebih baik. Termasuk, visi, misi dan Peraturan BP Tapera sebagai public policy,  yang proaktif-affirmatif  menjangkau MBR informal. Kelompok MBR yang selama ini relatif tersisih dari sistem pembiayaan formal.

Ketiga; Tersebab itu era Tapera yang bertenaga UU Tapera itu (beda dengan FLPP dan PPDPP yang bukan dengan legalitas UU), maka patut  jika lebih menjangkau target group yang selama ini sepi advokasi, yakni saudara-saudara kita sebangsa: MBR Informal, yang juga sedang terimbas pendemi Covid-19.

Sahih  jika usulan kebijakan pro MBR informal itu diformalkan dalam Peraturan BP Tapera. Dengan watak kebijakan affirmatif. Kebijakan  pembiayaan inovatif yang budiman kepada MBR, yang kuat dalam basis etis dan basis kebijakan sosial.

Perubahan kebijakan yang dampaknya berskala besar itu, sangat penting  dan berpengaruh strategis dalam membangun benih Trust kepada BP Tapera. Juga, agar MBR informal segera bertukar nasib dalam akses kepada perumahan,  dengan “jasa baik” pembuat kebijakan dana amanat Tapera yang  musti kompak membela MBR informal, baik Komisioner Tapera, Komite Tapera, dan BP Tapera.

Keempat; Jangan salah sangka, MBR informal itu bukan beban. Tetapi potensi besar yang tersembunyi. Pak Zulfi Syarif Koto, Ketua Umum The HUD Institute menyebut potensinya bagaikan “raksasa tidur”.  Karena selama ini mereka belum dikapitalisasi, maka segmen MBR informal  ini masih misteri, seperti pendapat Hernando de Soto,  dalam ‘Mystery of Capital’. Sosok Hernando de Soto pernah Gubernur Bank Sentral Peru, dan dinobatkan The Economist sebagai pemikir terpenting kedua di dunia.

Lagi pula, mereka bagian dari mandat konstitusi, yang hak-haknya musti direalisasi. Jangan sampai terjadi seperti satir Ewa Latowska, jurist constitusionalis asal Polandia, yang menamsil konstitusi bukan menu restoran;  yang tertulis ada tetapi menu tak tersedia. Konstitusi moderen itu adalah konstitusi yang ditegakkan. Menjadikannya living constitution, adalah ikhtiar bersama.

Kelima; dana eks FLPP di Dana Tapera belum aman bagi BP Tapera? Ya, sebab, kua normatif Tabungan Pemerintah itu bisa ditarik kapan saja, seperti norma Pasal 64 PP Tapera. Untuk itu perlu dikunci dan dipastikan, dana itu jangan dialihkan ke sektor bukan perumahan dan permukiman.

Kalaupun Dana Tapera yang dikelola BP Tapera, bukan berarti hanya aman dan profitable tanpa batasan. Sebab ada aturan hukum yang menjadi rambu larangan. Periksalah  Pasal 143 dan sanksi pidana Pasal 160 UU No 1 Tahun 2011.  Larangan untuk menggunakan Dana Tapera pada investasi bukan sektor perumahan dan permukiman. Lha koq pakai UU No.1 Tahun 2011? Ya..iyalah. Sebab garis “nasab” UU Tapera dan mandat delegasi pembentukan UU Tapera adalah UU No.1 Tahun 2011.

Lazimnya watak dana amanat,  semustinya Dana Tapera bukan hanya demi akumulasi dana saja. Akan tetapi demi layanan manfaat yang lebih besar dan semakin. Baik ketika dibandingkan dengan FLPP maupun dari masa ke masa ketika dikelola BP Tapera. Yakni semakin tersedianya pembiayaan perumahan rakyat yang makin layak, terjangkau, untuk semua (LTUS). Termasuk pula menekan angka defisit perumahan (backlog), mengentaskan rumah tidak layak huni dan kawasan permukiman kumuh. Menfaat Dana Tapera musti berkembang luas dalam skala besar. Saat “take-off” kelola Dana Tapera paska PP Tapera, sangat krusial dan musti diperhitungkan matang, termasuk sensitifis publik.

Majelis Pembaca, sebagai epilog bahwa perumahan rakyat sebagai derivasi hak bertempat tinggal adalah amanat konstitusi yang musti diikhtiarkan. Dengan,  “soenggoeh-soenggoeh maoe dengan penoeh kepertjajaan, semoea pasti bisa…”, meminjam kalimat Bung Hatta pada pidato Kongres Perumahan 1950 di Bandung. Tugas generasi kini bekerja skala besar, agar konstitusi tak menjadi kata-kata dirundung sepi. Inovasi pembiayaan perumahan MBR itu, demi konstitusi, agar konstitusi tak menjadi kata-kata misteri. Selamat berkarya Tapera. Demi “merah putih”. Bahagia Indonesia raya.Tabik.

*) Muhammad Joni: Praktisi Hukum properti, Sekum The Housing and Urban Development (HUD) Institute, Ketua Masyarakat Konstutusi Indonesia (MKI)

Share