TRANSINDONESIA.CO – Mengkritik atau mengkritisi bagi yang sudah meninggal apa gunanya semua sudah berlalu. Belajar dari prestasi kebaikannya bahkan dari kekurangan dan kesalahannya itu bisa. Mengkritik tujuannya bukan kebencian melainkan kecintaan kasih sayang dan ada harapan untuk pencegahan perbaikan peningkatan bahkan pembangunan. Kritik itu bentuk refleksi cerminan menunjukkan secara fair apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan.
Kritik tanpa solusi itu bukan kritik itu iri dengki tanda tak mampu. Bisa jadi wujud kepengecutan lempar kritik minggat diri sembunyi di balik pembenaran pembenaran. Kritik bukan nyinyir menabur bau amis yang menjijikkan. Kritik bukan pamrih untuk kebagian. Pamrih juga bukan eceran jalanan ala preman agar dilihat dan dianggap ada. Kritik sekali kali bukan kebencian atau balas dendam. Kritik merupakan kecerdasan untuk menunjukkan bahkan membantu memberi solusi. Dengan demikian kritik itu juga mencerdaskan.
Nyinyir bukan sesuatu yang sehat. Itu iri dengki ingin kebagian atau cengeng minta diperhatikan. Karena nyinyir sarat kepentingan apalagi dengan atas nama. Jelas saja penyesatan dan menyesatkan. Bagaimana orang sesat diikuti tentu kalau tidak membodoh mbodohi ya menjerumuskan. Adakah kaum nyinyir cinta kemanusiaan dan peradaban. Tentu tidak. Karena akan berdamai dengan pembenaran. Dan gampang dikompori untuk merusak keteraturan menghancurkan peradaban bahkan kehidupan. Premanisme anarkisme yang menjadi unggulan. Jiwanya tidak mengenal patriotisme karena perjuangannya pamrih. Kedunguan yang disampaikan. Membodoh mbodohi. Rela meninggalkan nalar dan logika. Hati nurani sarat rasa iri dengki.
Kritik itu sesuatu yang fair melihat sesuatu karena adanya harapan. Kritik itu seperti membuka kotak pandora walau ada segudang kebusukkan namun ada secercah harapan. Harapan inilah yang ditunjukkan untuk kebaikan dan perbaikan. Kritik biasakan dengan keras atau sarkas? Bisa saja karena itu bukan celometan. Itu nalar logika dan demi kebenaran. Demi kemanusiaan dan peradaban. Bukan kekuasaan atau penguasaan atau demi kebagian.**
[Chryshnanda Dwilaksana]