TRANSINDONESIA.CO – Jiwa yang merdeka bebas tanpa beban tanpa kepentingan tidak lagi ketakutan. Tidak juga berpura pura atau juga memakai topeng pamrihnya. Merdekanya jiwa itulah lahir karya jujur tidak hanyut disuka atau dipuja tak surut dicela dan tetap saja tekun menekuni panggilan jiwanya. Berkarya yang merdeka itu bertemu dengan jiwanya menemukan diri sejatinya. Mampu menghayati kalbu.
Absurd? Ya itu memang melayang menelusuri relung jiwa menangkap getar dawai suara hati.
Raga hanyalah pelaksana jiwa jembatan hati atas ruh yang membara agar nampak dan tertangkap indera. Merdekanya jiwa juga bermakna melepaskan diri dari belenggu. Bahkan etika norma bahkan yang umum dilakukan kalau perlu ditabraknya.
Jiwa merdeka merdeka jiwa gilakah ia? Dari sudut mana melihatnya? Kalau yang datar landai yang umum umum mungkin iya namun dari sisi jiwa merdeka dan merdekanya jiwa ia waras dan ia mampu berdialog dan menangkap ungkapan kata hati melepas belenggu pikiran dan jebakan jebakan yang ragawi duniawi bahkan.
Totalitas orang berjiwa merdeka mampu melepaskan rantai rantai pembeku pikiran hati jiwa memerdekakannya. Bagai melepas burung di angkasa melepas macan di hutan belantara melepas penyu di laut. Kembali liar menemukan habitatnya. Bagi yang setengah setengah maka kemerdekaan ini hanya menjadi pemanis atau pseudo yang sarat dengan kepentingan ini itu. Bahkan bisa saja menipu dirinya dan tega mematikan jiwanya demi disuka diterima ditepuk tangani dan demi candu candu duniawi lainnya.
Hidup merdeka egois bukan mahkluk sosial? Bisa saja benar bila empati dan pembelaannya pada hal duniawi. Sebaliknya bisa juga menjadi patriot sejati dalam karya jiwa merdeka terungkap rasa pembelaan dan keberpihakkannya pada manusia yang perlu dimanusiakan.
Karya jiwa merdeka mungkin aneh atau bisa saja seperti 3 non nya nashar (non teknis non estetis dan non konsep).
Lihat saja brut art karya Ni Tanjung, karya Basquiat, karya Affandi, karya S Sudjojono, karya Jackson Pollock, karya Van Gogh, karya Paul Gauiguin, karya Frida Kahlo, Edward Munch, karya Einselm Kiefer, karya Miwa Komatsu, dan lainnya.
Mungkin saja mereka berbeda satu sama lain namun mereka mampu memerdekakan jiwanya dalam berkarya. Ya menjaga kewarasan bisa saja dengan kegilaan yanw sebenarnya mengembalikan pada kejujuran dan Keberanian nyali untuk tidak kecanduan tepuk tangan.**
[Chryshnanda Dwilaksana]