Nero dan Model Desain Anarkis

TRANSINDONESIA.CO – Bagi orang yang lupa diri atau merasa jawara sikap jumawa itulah kebanggaannya. Marah melawan tidak taat aturan itu menjadi sesuatu yang berharga dan dipamerkan. Kita melihat banyak orang marah tatkala diminta untuk tertib tinggal di rumah, untuk tidak mudik, untuk menggunakan masker, untuk menggunakan helm, untuk tidak berboncengan, dan sebagainya.

Banyak pembenaran dilakukan. Berteriak bergerombol seolah olah yang bergerombol, keroyokkan sudah paling benar paling hebat bahkan merasa paling suci. Memaksakan kehendak, memancing emosi, menghasut untuk anarki banyak sekali gaya gaya preman yang menjadi pameran ketololan di masa pandemi Covid-19 ini.

Menyedihkan. Nampak bahwa refleksi peradaban menjadi sesuatu yang kontra produktif. Kalau patuh seolah olah lemah. Atau malah membuat skenario skenario melawan kebijakan dan aturan pemerintah. Jiwa sosial dan patriotisme luntur oleh gaya gaya preman. Apalagi dibumbuhi kata kata kasar, jorok tidak senonoh plus tindakan anarkis. Ini yang mengherankan mengapa bangga dan jumawa kalau bisa melawan? Inikah penyakit sosial yang juga melanda dan menghantui bangsa kita? Jawabannya iya. Ini yang merontokkan kedaulatan dsn ketahanan bangsa. Mati untuk salin bunuh diantara kita sendiri. Saling serang, demi kekuasaan yang tega memprovokasi dan mematikan sesama anak bangsa.

Jawarakah orang orang yang memprovokasi? Patriotkah orang orang yang melawan dengan anarkis? Beradabkah orang orang yang bersekongkol, bersekutu, membodoh bodohi rakyat? Jawaban semua itu jelas tidak. Itu pengecut. Terbukti tidak berani bertanggung jawab terang terangan. Tinggal glanggang colong playu. Ingin berkuasa dengan cara-cara inkonstitusional pun juga merusak peradaban. Menghancurkan kedaulatan. Dapat diduga gaya otoriter akan menjadi modelnya uang, bayar sana sini, suap sana sini fondasinya. Kompetensi karakter keunggulan diganti dengan tipu daya semu topeng topeng bayar.

Memang, orang orang yang mendesain berbagai pameran ketololan bukan orang sembarangan, orang orang yang punya kekuatan besar harta melimpah bahkan kepandaian namun hati dan niatnya jahat. Keahliannya dialihkan menjadi kelihaiannya untuk memutar balik. Menggembosi. Menjatuhkan wibawa. Menghantam sana sini memancing mancing keretakan solidaritas sosial. Bisa saja kerusakan kehancuran menjadi kebahagiaan atas jiwa gilanya. Bisa saja dianalogikan bagai Nero yang terbahak bahak membaca puisi dengan membakar Kota Roma.

Kejadian Nero membakar Roma sudah berlangsung ribuan tahun lalu namun di masa revolusi industri 4.0 masih menjadi model. Ditambah lagi dengan pemberdayaan primordialisme. Mengatasnamakan sesuatu untuk mendapatkan legitimasi dan solidaritas. Pembenaran pembenaran dikemas sedemikian rapih sehingga orang kebanyakkan bisa terbuai bujuk rayunya. Hembusan kebencian melabel, menghakimi, main hakim sendiri, ini semua dengan terbahak bahak bisa dilakukan. Belum lagi dibumbu bumbui, diplintir sana plintir sini. Era post truth menjadi ladang subur bagi mereka untuk menggerus logika dan membakar jiwa sehingga nalar memang bukan lagi yang utama.

Semua yang diinginkan, dipaksakan dengan kekerasan, rombongan dan gerombolan di jalan akan memamerkan kekuatan. Ini aku ada. Namun sayangnya tetap saja dalang ngumpet entah ke mana. Tangannya mulus putih bersih suci. Tutur katanya manis humanis walau hatinya busuk penuh dengan niat dan keinginan jahat. Mungkin ini gila bukan lagi kewarasan jiwa. Bisa dibayangkan orang gila berkuasa, akankah membakar bangsa ini seperti
Pemerintahan dan kekejamannya (54 – 68 M) Kaisar Nero membakar Kota Roma? Mungkin saja…..

Share